Puisi, Ratna Ning, Republika

HOMPIMPAH ALAIHUM GAMBRENG

HOMPIMPAH ALAIHUM GAMBRENG - Puisi-Puisi Ratna Ning

HOMPIMPAH ALAIHUM GAMBRENG ilustrasi Rendra Purnama/Republika

0
(0)

Puisi-Puisi Ratna Ning (Republika, 28 Agustus 2022)

HOMPIMPAH ALAIHUM GAMBRENG

.

Aku menapak di ranah-Mu

Dengan mata pena

Mengeja kata per kata

Mengantar keinginan pada Lauh Mahfudz

,

Aku menapaki altar-Mu

Dengan sederhananya sebuah niat Bismillah

Dan kita adalah anak-anak kecil yang berlari

Riang menapaki hari hujan

Senda gurau kita adalah cara landai untuk sampai di tujuan

.

Di tengah arena

Kita menonton, orang tua yang berebut pepesan di pasar

Berlari saling kejar

Dengan tangan-tangan yang mengepal remah-remah ambisi

.

Hompimpah Alaihum Gambreng

 .

Ketika permainan ini hanya jadi arena laga

Maka ia kembali ke hakikat-Nya

Dari asal kembali ke asal

Lalu kita melenggang dan kembali pada titik kosong

Seperti kanak-kanak yang lelah setelah usai bermain

 .

Subang, Juni 2022

 .

 .

 .

UNTUK GENI I

.

Berulang kali aku ingin berjingkat, sayang

Dari hatimu yang lindap

Setiap kata yang kau eja

Ternakwilkan bukan dalam mimpi

Tapi dengan analisis-analisis logika

.

Di beranda ini

Ketika hujan membasuh luka-luka

Pun aku telah nyaman berteduh di bawah rindang tatapmu

Meski kau memberikan cinta yang kabut

.

Dengan remahan dan recehan

Hati terbeli oleh kalimat-kalimat azam

Lalu kita harus sepakat pada pemahaman

Dan bukan perjalanan

 .

Subang, Februari 2022

 .

 .

 .

UNTUK GENI 2

.

Karena kau adalah api

Dari perjuangan yang kau kobarkan

Di sini, kau telah berlari ke sebuah arena

Merebut kemenangan-kemenangan menggandeng Sang

Penguasa

.

Aku mengagumi saat kau kepalkan tangan

Dengan senyum yang samar

Pekik teriak keluar dari mulutmu yang jarang berkata-kata

Serapah

.

“Lurus berjalan atau tumbang! Tak ada tawar-menawar!”

Matamu seperti larik tajam tatap macan

Baca juga  Apa yang Paul McCartney Bisikkan di Telinga Janitra?

Kuku wibawa menancap dengan cakar-cakarnya di langit

kelam

.

Ketika ada kompromi dalam wacana akbar

Maka pilihanmu adalah bertahan, pulang, dan menang

Aku menontonmu di bawah mimbar suram ini kekasih

Menikmati setiap inci siluet tubuhmu

Dengan rindu yang menggumpal di beranda ini

Dan seperti biasa, mendengarkan cerita yang terkadang

tak pernah selesai kau tuturkan

.

Lalu aku, selalu tak pernah bisa menamatkan dengan hatam

Tajam mata dan lembut kata yang bisa menaklukan aku…

dan dunia

/

Subang, Februari 2022

 .

 .

 .

YANG BERTERIAK DI ATAS MIMBAR

.

Di atas mimbar saat drama satu babak digelar

Di bawah langit hitam dari pantulan uniform

Wajahnya juga hitam dan mata-mata itu adalah matahari

yang garang

.

Di bawah mimbar pada gedung kehormatan

Keintiman suatu parodi satir dimainkan

Wajah-wajah senyum yang manggut-manggut mendengar

nama-nama disebut

.

Di dalam, meja dan kursi carut marut

Laci-laci menyimpan data dan cerita yang pantang

dijabarkan

Sepertinya gedung ini adalah sebuah pintu masuk dan

keluar

.

Di antara kebebasan dan kerangkeng yang menyimpan

tawarannya pada sebuah koin recehan

Usia tergantung pada perpanjangan kuota dari tawar

menawar yang kemudian terjadi di belakang tembok atau

di tempat-tempat biasa

.

Di dalamnya ada lubang-lubang tikus yang kerap keluar

menggerogoti pundi-pundi

Di sana, sebuah lingkaran terus berputar dan kembali ke

Semula

.

Seperti judi angka yang diputar lewat mesin spin dan

berakhir pada “damai atau binasa!

 .

Subang, Februari 2022

 .

 .

Ratna Ning lahir tanggal 19 September 45 tahun lalu di Subang. Menulis puisi dan cerpen sejak 1995. Aktif menulis, menerbitkan buku, menjadi PJ di penerbitan Rumah Belajar Kreatif, bergiat di komunitas budaya dan sastra, JEJAK, dan Komunitas Pelestari Sejarah Subang (KOMPPAS).

.

.

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!