Atta Verin, Cerpen, Kompas

Pilihan Bapak

Pilihan Bapak - Cerpen Atta Verin

Pilihan Bapak ilustrasi Thomas Ari Kristianto/Kompas

4.6
(19)

Cerpen Atta Verin (Kompas, 04 September 2022)

KAMU punya pilihan untuk membenciku seumur hidupmu atau tetap mencintaiku seperti saat kamu kecil dulu. Pesan singkat itu menjadi alasan aku memutuskan untuk mengunjunginya di penjara dua hari menjelang dia dieksekusi. Sebelumnya, aku tak mau bertemu dengannya meskipun dia mengiba-iba ingin memandangi wajah cucu-cucunya untuk terakhir kali.

Aku tak bisa memaafkan malam terkutuk ketika Bapak membiarkan Ibu merangkak ke dapur. Ibu sakit parah sehingga tak mampu berjalan sendiri dan waktu itu di rumah hanya ada Bapak. Rekaman CCTV rumah memperlihatkan Ibu yang memanggil-manggil Bapak di kamarnya—mungkin berteriak, tapi tentu saja CCTV tidak memunculkan suara apa pun—dan Bapak tak juga keluar. Ibu lalu merangkak sendiri dari ranjangnya menuju dapur, mungkin untuk mengambil air minum. Sebelum sampai ke dapur, salah satu kakinya menabrak kaki penyangga pelantang suara TV di ruang tengah. Kotak pelantang yang besar dan berat itu jatuh tepat di kepala Ibu.

Di ruang gawat darurat Bapak menghampiri Ibu untuk membacakan Surat Yasin, tetapi Ibu hanya menatap wajah Bapak dengan sorot mata penuh kebencian lalu memalingkan wajah. Sampai akhir hayatnya, Ibu tak pernah memaafkan Bapak.

Tiga bulan setelah kami menguburkan Ibu, Bapak ditangkap polisi karena membunuh seorang janda kaya. Berita di media massa menyebut Bapak sebagai pembunuh keji berdarah dingin. Bapak kemudian dijatuhi hukuman mati.

***

Tanpa membawa Nala dan Kiki, kedua buah hatiku, aku mendatangi Bapak mewakili dua abangku dan adikku pada Jumat terakhir sebelum hari eksekusi.

Di pintu lapas Mas Paskal menelepon. “Kamu jadi ketemu Bapak?”

“Ya, Mas.”

“Kamu buang-buang waktu saja, Wid!” Suaranya ketus.

Abang sulungku itu yang paling memusuhi Bapak setelah Ibu wafat. Dia berpikir Bapak sengaja tidak keluar kamar sehingga Ibu terpaksa merangkak dan kejatuhan pelantang suara yang menyebabkan kematiannya. Di antara kami berempat hanya Mas Paskal yang secara frontal menunjukkan kemarahannya.

“Bapak mau ditembak mati, Mas…” ucapku.

“Semoga tidak langsung mati. Kuharap dia merasakan dulu kesakitan yang lebih sakit dari rasa sakit yang diderita Ibu!” sahut Mas Paskal. Kemarahannya merambat bersama gelombang elektromagnetik berjarak tujuh ratus delapan puluh tiga kilometer. Tubuhku ikut bergetar mendengar suaranya yang nyaris berujung tangis.

“Kamu tidak bisa menyalahkan Mas Paskal, Wid,” ujar Mas Sidik sebulan lalu ketika aku mengajak semua saudaraku untuk menemui Bapak setelah aku mendapatkan pesan singkat yang dikirim Bapak menggunakan ponsel sipir lapas.

Mas Sidik lalu bercerita tentang kebiasaan Bapak yang mendidik Mas Paskal dan dirinya dengan keras, seperti tentara. Bapak sering berkata, “Kalian anak lelaki, jangan lembek!” kepada kedua abangku.

Baca juga  Hikayat Emak Pepot yang Berjalan Kaki Puluhan Kilometer untuk Menunaikan Sebuah Janji

Tetapi, masa kecilku sebagai anak perempuan justru sebaliknya. Bapak memanjakan aku dan Jenar. Kami lalu sepakat bahwa Bapak keras terhadap anak laki-lakinya dan memanjakan anak-anak perempuannya. Mas Sidik tak pernah mendendam dengan cara Bapak mendidik mereka. Tetapi, Mas Paskal tak pernah bisa tersenyum kepada Bapak, apalagi tertawa lepas dengannya.

“Bapak sudah lama tidak cinta lagi sama Ibu, Wid. Bapak pasti punya simpanan. Gelagatnya jelas begitu. Bapak pasti sengaja membiarkan ibu merangkak sendiri saat sakit. Dasar pengkhianat dan pembunuh!” rutuk Mas Paskal.

Jenar lain lagi. Ia tidak berbicara sepatah kata pun, hanya menangis. Ia menuliskan kegusarannya di media sosialnya, menyesali kenyataan bahwa ibunya meninggal dunia karena kelalaian bapaknya. Situasi itu menurutnya musibah besar dalam hidupnya, sekaligus menajamkan tuduhannya bahwa bapak dan ibu tidak saling mencintai.

“Mbak tahu apa artinya lahir dari dua orang yang tak saling mencintai? Artinya kita lahir hanya karena nafsu kebinatangan!” kata adikku itu, lalu merobek foto Bapak dan Ibu yang disimpan di dalam dompetnya. Dia lalu memasukkan potongan foto Ibu kembali ke dalam dompetnya. “Aku tak akan pernah memaafkan Bapak!” katanya lagi.

“Kamu tidak mau ketemu Bapak untuk terakhir kalinya, Dik?” tanyaku kepadaJenar.

“Nggak! Itu karma dari Tuhan. Bapak memang layak dihukum mati!” Kekejian kalimat itu membuatku bergidik.

Jenar bisa dibilang dimanja oleh Bapak dan Ibu. Tetapi, karena Bapak menentang keputusannya menjadi pramugari, ia memusuhi Bapak. Ketika pacarnya datang untuk meminangnya, Bapak juga bersikap tidak bersahabat. Bapak tidak merestui Jenar menikah dengan seorang ajudan polisi. Tetapi, insiden yang dialami Ibu itu menjadi puncak permusuhannya dengan Bapak.

“Kamu mau bilang apa sama Bapak?” tanya Mas Sidik ketika kusampaikan keinginanku menjenguk Bapak.

“Aku hanya ingin bertanya apakah benar Bapak sengaja mengabaikan teriakan ibu. Aku tak percaya Bapak sengaja melakukannya,” jawabku.

Alasanku bukan karena Bapak memanjakanku. Bapak memiliki banyak sikap dan perilaku yang tidak kusukai. Misalnya, kebiasaannya merokok dan menonton film porno. Tidak seperti Ibu yang menyembunyikan kebiasaan buruknya dari anak-anaknya, Bapak tak pernah berusaha menutupinya. Bapak bahkan membiarkan anak-anaknya mendebat dan mengkritiknya. Bapak tidak takut berkonflik dengan siapa pun.

Ibu sebaliknya. Ibu menyembunyikan kesenangannya mengoleksi pakaian dalam seksi berwarna merah muda. Aku dan Jenar baru mengetahui hobi Ibu itu setelah beliau wafat. Begitupun soal surat cinta Ibu kepada mantan pacarnya yang ditulis pada malam pernikahannya dengan Bapak. Surat yang tak pernah dikirimkan itu disembunyikan di dalam kotak perhiasannya.

Baca juga  Resital Malka

“Mas, apakah menurutmu Bapak dan Ibu saling berkhianat?” tanyaku kepada Mas Sidik.

Dia membantahku. Menurutnya, Bapak dan Ibu hanya seperti pasangan lain yang sudah tua dan malas bermesraan. Mereka saling menghindari karena jengah terlihat saling menunjukkan kasih sayang. Kalau soal pisah kamar, Mas Sidik merasa bahwa itu karena keduanya saling tidak nyaman. Bapak tidak nyaman tidur di kamar yang dekat dengan gerbang masuk yang menurutnya berisik. Sementara, Ibu tak nyaman tidur di kamar yang gelap dan sunyi.

“Kamu mencari motif kenapa Bapak mengabaikan Ibu? Kamu yakin dia sengaja melakukannya?” dia balik bertanya.

***

Dengan gelisah aku menunggu Bapak muncul dari pintu ruang tahanan.

Lelaki tua itu berjalan perlahan ke arahku, kedua tangannya terentang ingin memelukku. Aku menolaknya. Dia menunduk. Kami duduk berhadapan di depan meja. Kusorongkan parsel berisi kue dan minuman jahe bersoda kesukaannya. Bapak mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.

“Ada yang ingin Bapak sampaikan. Tapi sebelumnya Bapak ingin bertanya apakah kamu pernah Bapak perlakukan tidak baik?” tanyanya.

Aku tak pernah dikasari Bapak, apalagi diperlakukan buruk. Aku tak punya kenangan pahit bersama Bapak. Kami bahkan menyukai grup musik yang sama, Return to Forever. Hanya kami berdua yang suka jazz fusion di keluarga kami. Aku ragu menjawab pertanyaan Bapak. Bayangan Ibu yang merangkak begitu mengganggu.

“Bapak akan mati dua hari lagi. Ini kesempatan terakhir Bapak untuk berbicara kepadamu. Sampaikan apa yang Bapak katakan ini kepada saudara-saudaramu, Nak…”

Lelaki tua itu meneteskan air mata, tapi tak terdengar isakan.

“Ketika Paskal berusia tiga tahun, Bapak dan Ibu sempat berpisah. Kami tinggal di dua kota yang berbeda. Ibumu meninggalkan Bapak karena bapak tidak mau menjadi pegawai negeri seperti yang dia inginkan. Bapak malah ikut pertunjukan keliling, menikmati kehidupan sebagai pemain kendang. Bapak menyukainya meskipun uangnya sedikit. Ibumu bertemu mantan kekasihnya, lalu mengandung Sidik. Tetapi tiga bulan setelah kelahiran Sidik, mantan pacar ibumu itu meninggal karena kecelakaan …”

Aku tercekat. Ternyata Mas Sidik dan Mas Paskal berbeda bapak. Tak ada yang mengetahuinya selama ini. Tiada satu gunjingan pun.

“Ibumu kembali kepadaku, lalu aku bekerja di pabrik dan mewarisi kebun jeruk dari kakekmu. Tetapi, aku sulit memaafkan pengkhianatannya. Aku jadi sering bertengkar dengan ibumu. Kami berusaha memperbaiki keadaan. Kami berpikir mengadopsimu sejak bayi dari panti asuhan adalah salah satu cara untuk memperbaiki hubungan kami. Aku selalu menginginkan anak perempuan.”

Baca juga  Truk Merah Darah di Kaki Bukit

Kini aku merasa dunia di sekitarku runtuh. Aku tak mampu mencerna semuanya dengan baik selain menelan kenyataan bahwa aku sesungguhnya anak pungut di keluarga ini.

“Namun, Tuhan Mahabaik, Widi. Setelah kamu berumur dua tahun, ibumu mengandung adikmu. Aku mulai memaafkan ibumu dan merasa bahagia dengan keempat anakku. Tetapi, ibumu berpikir lain. Dia mengira aku tak setia dan mencurigai perubahan sikapku. Dia pikir aku mesra lagi karena aku telah membalas dendam dengan berselingkuh. Kami jadi sering bertengkar lagi. Ibumu disandera perasaan bersalahnya sendiri. Itu tak saja menghukum dirinya sendiri, tapi juga menghukumku…”

“Jadi Bapak betul-betul telah membunuh Ibu?” tanyaku dengan suara bergetar.

“Ya,” jawabnya terisak. “Bapak memilih untuk mengakuinya. Bapak memang telah membunuh ibumu ketika memutuskan untuk tinggal di kamar yang berbeda dengannya…”

Aku terlonjak berdiri dan tak mampu menahan jeritan, “Pembunuh!”

Bagai orang gila, aku berteriak kalap. Kumaki lelaki itu. Namun, dia hanya diam menatapku dengan sorot mata kalah sampai aku diseret keluar oleh sipir.

Mas Paskal, Mas Sidik, dan Dik Jenar tak mau mengurus pemakaman Bapak sebagai pembalasan atas kematian Ibu. Terpaksa aku yang mengurus pemakaman lelaki yang telah menjadi bapakku selama dua puluh delapan tahun itu.

Petugas lapas menyerahkan barang-barang pribadi Bapak di dalam kantong plastik hitam. Di dalamnya ada headphone putih besar kado ulang tahun dariku sembilan tahun lalu. Aku memberi Bapak benda itu agar dia bisa mendengarkan musik kesukaannya tanpa membuat orang-orang di sekitarnya terganggu. Ibu tak menyukai musik jazz.

Di bagian dalam lengkungan putih headphone itu terbaca tulisan, “Bapak sedang mendengarkan Chick Corea waktu ibumu memanggilku pada hari nahas itu. Maafkan Bapak karena tak mendengar teriakan ibumu.” ***

.

.

Atta Verin menulis cerpen, novel, dan puisi. Pernah bekerja sebagai jurnalis di Bandung, dan menjadi sukarelawan pramuka sejak 2012. Karena senang memeluk pohon, kini ia tinggal di Desa Ponggok, Klaten.

Thomas Ari Kristianto, sekolah S-1 Desain di Institut Teknologi Bandung ITB, selanjutnya S-2 di Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), lalu S-3 arsitektur di kampus yang sama, tetapi belum lulus. Sekarang mengajar desain di ITS, menjalankan firma arsitektur interior, serta mengoleksi dan menaruh perhatian pada dunia seni rupa.

.

Pilihan Bapak. Pilihan Bapak. Pilihan Bapak. Pilihan Bapak. Pilihan Bapak. Pilihan Bapak.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 19

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!