Cerpen Gunawan Budi Susanto (Karas Nomor 1, Oktober 2020)
MEMBACA serupa kegiatan terlarang di keluargaku. Sejak kecil, jika kami diketahui membaca, selalu hardikan pula yang kami terima. Nenek, misalnya, akan berseru, “Apa pula yang kauimpikan? Jadi orang besar? Berkacalah!”
Aku mengeriut takut. Lalu mlipir, pergi, seraya menundukkan kepala.
Kali lain, ketika asyik membaca komik Djair, aku terkejut. Ibu menghardik, “Bocah kok angel men dikandhani! Maca terus, maca terus! Sana, sapu dulu pekarangan. Setelah itu, isi bak kamar mandi!”
Lagi-lagi aku merunduk, lari menyembunyikan komik itu. Lalu bersicepat pula lari ke pekarangan: menyapu. Namun, sungguh, hatiku perih. Betapa kegembiraan kecil saat membaca—bisa bertualang ke berbagai negeri dan keadaan, masuk merasuk dalam cerita—melenyap setiap kali Nenek atau Ibu memergoki. Dan, aku mesti bersicepat pula mengerjakan apa saja yang mereka perintahkan. Menyapu pekarangan, mencabuti rumput, memanen kucai, mengambil daun pisang dan melipat rapi untuk esok hari mesti kutukar dengan sayuran di pasar, serta berbagai pekerjaan lain. Jika tidak, cubitan di pantat yang amat menyakitkan bakal aku alami. Atau, telingaku terasa menebal dan memanjang setiap kali tangan mereka menjewerku.
Aku membenci mereka. Ya, aku membenci Nenek dan Ibu yang selalu menghardik setiap kali aku membaca. Kalian tahu bukan, membaca adalah sebagian dari pelarianku dari ketidaknyamanan dalam pergaulan. Kawan-kawan sepantaran tak begitu suka aku bergabung bermain bersama mereka. Anak-anak yang lebih besar, huh! Mereka lebih sering menjadikan aku sasaran kejengkelan, kemarahan, atau bahkan sekadar keisengan. Acap kali mereka menjenggung kepalaku sambil memaki. Makian yang menyakitkan, makian yang memerihkan. “Anak PKI! Anak Gerwani! Minggir sana!” Begitulah ujar mereka setiap kali kehadiranku mereka rasakan mengganggu. Dan, agaknya, setiap kali mereka selalu merasa terganggu oleh kehadiranku.
Aku tak mengerti apa PKI, aku tak paham apa Gerwani. Namun, aku merasakan betul betapa ketika mereka mengucapkan kata-kata itu, itulah hinaan, itulah ejekan amat memerihkan. Dan, sungguh, aku tak tahu kenapa mereka bersikap seperti itu. Setiap kali, setiap saat.
Kau tahu, setiap kali sehabis dijenggung dan dimaki, dengan perasaan ngilu, aku pulang. Sepanjang jalan, terkadang, aku menangis tanpa sedan. Cuma air mataku terus bercucuran. Tiba di rumah, jika tak ada orang lantaran Nenek dan Ibu belum pulang dari berjualan di pasar, aku naik ke lonteng: membaca buku atau apa pun yang bisa kubaca. Aku menghabiskan waktu seharian, sampai Nenek atau Ibu berteriak-teriak menyuruhku turun dan sesegera mungkin menunaikan segala apa yang mereka perintahkan. Lagi-lagi, aku mesti menyapu pekarangan, mengisi bak kamar mandi, atau mencuci peralatan dapur.
Suatu kali, sesaat setelah menerima perlakuan menyakitkan dari anak-anak yang lebih besar, aku pulang. Celaka, tak ada bacaan. Aku belingsatan, tak tahu mesti berbuat apa. Menyapu jelas bukan pilihan. Apalagi mencabuti rumput di pekarangan.
Aku duduk di emperan rumah. Menahan rasa sakit. Mataku jelalatan. Tak ada buah bisa kupetik untuk kumakan. Tak ada sesuatu pun bisa mengisi perutku. Bahkan lemari makan pun kosong! Sial!
Beberapa saat aku masih terduduk di emperan. Tiba-tiba ada buah kelapa jatuh di pojok pekarangan. Entah kenapa aku pun menuju ke pohon kelapa itu, lalu sebisa-bisa memanjat. Tak gampang, tentu saja tak gampang. Kau tahu, saat itu aku baru kelas V sekolah dasar.
Namun aku nekat. Setapak demi setapak, dengan berpegangan kuat pada batang kelapa aku terus naik, naik, naik. Akhirnya, entah setelah berapa lama, aku bisa mencapai puncak pohon. Lalu, aku duduk menyilangkan kaki, melekatkan pantat ke pangkal pelepah, dan menyandarkan punggung dan kepala ke pelepah daun.
Di sana, di ketinggian delapan atau sepuluh meter di atas tanah, aku menyaksikan pemandangan yang belum pernah kusaksikan. Aku merasakan sensasi luar biasa.
Tampak di kejauhan Gunung Botak. Itulah salah satu puncak bukit di gugusan Pegunungan Kendeng Utara. Konon, di puncak bukit itu ada setumpak tanah yang tak ditumbuhi rumput atau ilalang. Padahal, di sekelilingnya segala apa tumbuh meliar. Orang-orang bilang, dulu, itulah tempat Sunan Bonang bersembahyang setiap kali naik ke puncak bukit. Dan, lantaran sedemikian kerap dijadikan tempat bersembahyang, rumput pun enggan tumbuh di setumpak tanah itu. Aku bertekad, suatu saat kelak mesti membuktikan omongan itu. Ya, aku membayangkan, suatu saat kelak sampai ke puncak bukit itu. Apalagi, kata orang pula, di puncak bukit itulah kita bisa melihat keluasan laut di utara Pulau Jawa. Ohoi, laut! Laut tempat segala apa bermuara. Laut adalah keluasan mahaluas.
Ketika berada di atas pelepah pohon kelapa itulah, aku merasa sepenuh-penuh bebas dari gangguan. Baik gangguan dari kawan sebaya maupun terlebih-lebih dari hardikan Nenek dan Ibu. Sejak saat itu aku menemu tempat paling mengasyikkan, tanpa gangguan, untuk membaca: di puncak pohon kelapa!
Kini, setiap kali mengingat sepotong masa kanak-kanak itu, aku merasa konyol. Betapa bisa membaca di puncak pohon kelapa? Ya, kini, tak mungkin lagi aku melakukan itu. Tak mungkin! Naik ke atas genting untuk mengganti genting pecah saja kakiku sudah gemetaran, apalagi naik ke puncak pohon kelapa.
Kau tahu, saat itu, ketika sudah berada di atas pelepah pohon kelapa, aku bisa menikmati sepenuhnya bacaan yang makin lama kian beragam. Dari komik Djair, Teguh Santosa, Man, kemudian beralih ke karya-karya Kho Ping Hoo dan Gan K.L. Ah, kau tahu, betapa jago Pendekar Super Sakti. Betapa menyenangkan jika aku jadi Suma Kian Bu. Bukan Suma Kian Le, sang kakak, yang lebih taat aturan. Kau tahu bukan, dalam salah satu adegan digambarkan Suma Kian Bu asyik berpacaran di atas atap kereta kuda, tanpa diketahui sang penumpang resmi. Betapa asyik, betapa menyenangkan!
Ya, ya, di puncak pohon kelapalah aku menemu kebebasan: membaca sepuas hati, menikmati keluasan pemandangan, terninabobokan kesiur angin, tanpa khawatir jatuh dan kelengar. Di atas pohon kepala, aku bisa berpetualang ke mana pun aku suka, sesuai dengan kisah yang aku baca. Di atas pohon kelapa, aku terbebas dari segala kesakitan dan keperihan hidup sehari-hari—dalam kemiskinan, dalam segala keterbatasan, dalam pandangan jijik dan menghinakan dari siapa pun yang menganggap kami sekeluarga adalah penderita kusta yang patut diasingkan, entah di mana. Ya, seperti para penderita kusta beneran yang “dikandangkan”: di sebuah kawasan di tepian hutan, jauh dari keramaian kota Blora, kota asalku. Mereka seperti tak layak hidup di tengah-tengah masyarakat. Mereka seperti tak berhak hidup di tengah sesama manusia.
Ya, saat itu, di atas pohon kelapalah aku menemu kebebasan. Bahkan ketika Nenek atau Ibu akhirnya tahu di mana dan untuk apa aku bersembunyi, mereka cuma bisa berteriak-teriak menyuruh aku turun. Namun, biasanya, aku diam saja. Aku berlaku seolah-olah tak mendengar. Atau, sesungguhnya aku memang tak mendengar teriakan mereka. Ya, di atas pelepah pohon kelapa acap kali aku tertidur dalam buaian angin yang melenakan.
Ingatan tentang perkara ini pula yang pernah menggerakkan tanganku untuk menulis sebuah puisi. Tak bagus-bagus amat. Namun, itulah puisi yang melukiskan betapa di atas ketinggian pula dalam kediaman yang menggigilkan aku menyaksikan sesuatu yang menggetarkan hati.
Maukah kau dengar puisi itu?
.
Di atas Pohon Kelapa
.
akulah bocah itu
yang suka manjat pohon kelapa
lalu tidur
di atas pelepah daunnya
.
akulah dia
yang suka menatap hujan
sambil berharap air bengawan tak meluap
.
tinggi pohon kelapa
dan bengawan di bawahnya
hujan
banjir
dan mayat-mayat
aku menjublak
hilang daya
hilang rasa.
.
Kini, aku bermimpi, bisa kembali naik ke puncak pelepah kelapa: menikmati kesiur angin dalam gemulai tarian pohon yang lentur itu. Amboi! Betapa menyenangkan. ***
.
.
Kedai Kopi ABG, Minggu, 10 April 2016 pukul 22.52
.
Catatan:
Mlipir: pergi (melalui tepian jalan atau ruangan).
Bocah kok angel men dikandhani! Maca terus, maca terus!:
Anak kok begitu sulit diberi tahu. Membaca terus, membaca terus!
.
.
Gunawan Budi Susanto, pengampu Kelas Menulis Cerpen Kang Putu. Buku cerpennya Nyanyian Penggali Kubur (2011 & 2016), Penjagal Itu Telah Mati (2015), dan Cik Hwa (bahasa Jawa dialek Blora, 2018), serta novel Dendam (2019).
.
.
Karas merupakan majalah yang memuat karya dan esai sastra Indonesia serta karya sastra terjemahan dalam bahasa Indonesia. Karas diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah dan terbit dua kali dalam satu tahun: Juni dan Desember.
Suatu Masa di Atas Pohon Kelapa. Suatu Masa di Atas Pohon Kelapa. Suatu Masa di Atas Pohon Kelapa.
Leave a Reply