Cerpen, Kompas, Seno Gumira Ajidarma

Bulan di Atas Kampung

Bulan di Atas Kampung - Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Bulan di Atas Kampung ilustrasi Ipong Purnama Shidi/Kompas

1.8
(4)

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 18 September 1994)

TERANG bulan. Listrik mati. Seperti biasa Naro melangkah pulang menjelang dini hari, menyusuri gang-gang kumuh yang kosong dan sepi, tapi yang kini tembok-tembok lumutannya memancar keperakan karena cahaya rembulan. Tembok-tembok masih ingar-bingar dengan grafiti warna-warni, nama-nama gang yang ganjil, dan kata-kata jorok, tak senonoh, kampungan, yang memang hanya cocok dituliskan di tembok sebuah kampung yang kumuh dengan comberan hitam kotor menggenang dan berbau petai seperti itu.

Mengapa pikiran bisa begitu kotor? Namun pikiran Naro tidak kotor. Ia hanya mabuk. Tepatnya setengah mabuk. Ia setengah mabuk dan lelah setelah sepanjang malam bermain kartu, bermain gitar, dan minum-minum sekadar supaya kehidupan yang kelam terasa agak lebih nyaman.

“Sudah mau pulang Naro?” Terdengar teriakan dari ujung gang.

“Ya, aku ngantuk.”

“Alaaahh, masih pagi.”

Naro tidak menjawab dan melangkah terus. Bukan masih pagi, melainkan sudah pagi. Embun membasahi atap-atap seng. Seekor anjing berjingkat melintas dengan ringan, bayang-bayangnya jelas memanjang dalam cahaya bulan. Naro meludah. Mulutnya pahit karena rokok dan minuman keras murahan.

Diseretnya ia punya kaki perlahan-lahan. Langkahnya agak terhuyung, tetapi ia masih tahu jalan. Terang bulan masih membuatnya mengenal tiap lekuk dan sudut yang sangat dikenalnya. Bangku-bangku warung Juminten yang sudah tutup. Rumah Pak RT. Pos hansip yang kosong. Meja karambol yang terjungkir. Pot-pot bunga ala kadarnya. Kandang ayam. Jemuran yang lupa dimasukkan. Rumah-rumah sepanjang gang yang hanya bisa sepi menjelang dini hari waktu listrik mati seperti itu. Kalau tidak, tentu masih terdengar entakan dangdut dari salah satu jendela, menjeritkan syair-syair patah hati.

Dalam pandangan Naro yang setengah mabuk, cahaya bulan purnama membuat segala-galanya tampak memesona. Kawat ram yang berkarat pun jadi keperakan. Gang yang basah entah kenapa jadi berkilat-kilat. Pagar-pagar, kaca jendela, genting rumah, antena televisi, pot-pot tergantung yang masih saja menetes-neteskan air, kandang burung, kotak pos, semuanya tampak berkilat-kilat dengan cahaya yang memancarkan kelembutan sebagai sesuatu yang bagi Naro terasa asing. Naro mengusap matanya karena gelisah dengan perasaan yang menyergap dadanya, tapi rembulan itu tetap saja di sana, cahayanya menyepuh mega-mega yang berarak seperti pesta karnaval.

Lantas ia teringat bapaknya.

“Bapak…,” Naro mendesis pelan.

Mega-mega yang berarak seperti karnaval itu mengingatkan Naro kepada bapaknya.

“Lihat Naro, lihat! Itu Ibu!”

Bapaknya mengangkat Naro ke bahunya. Naro melambai-lambai ibunya.

Baca juga  Mengenang Kematian

“Ibu! Ibu!”

Di atas truk yang sudah disulap menjadi sebuah panggung terbuka, Naro melihat ibunya menari dengan seekor ular sawah yang besar membelit tubuhnya. Genderang dan terompet saling bersahutan dan penonton menjerit-jerit.

“Ular! Ular! Penari ular!”

Lampu-lampu dari menara menyorot ibunya, sehingga pernik-pernik gemerlapan yang dijahit ibunya malam-malam pada celana pendek ketat, kutang berjurai-jurai, dan disematkan pula pada sepatu larsnya yang gemerincing dengan genta-genta kecil itu jadi berkilatan.

Lidah ular itu menjulur-julur, menciumi pipi ibunya. Terdengar teriakan-teriakan ketakutan. Namun Naro tertawa-tawa geli.

“Ibu! Ibu!” Naro melonjak-lonjak di gendongan bapaknya.

***

Panggung berjalan itu melayang dalam kenangan Naro. Dalam cahaya bulan ia melihat karnaval itu bergerak selambat mega-mega yang berarak di langit malam. Ia melihat ibunya menari di antara mega-mega. Tubuhnya dibelit ular sawah dan Naro melihat taburan kristal berhamburan sepanjang karnaval.

“Ibu…,” Naro mendesis tanpa sadar.

“Bapak…” Ia mendesis lagi.

Dua ekor tikus berkejaran lantas menghilang di saluran air pada comberan. Naro mendongak ke langit. Hanya bulan dengan lingkaran cahayanya yang menyapu langit. Tiada lagi mega-mega itu di sana, tiada lagi karnaval, meski Naro sudah memaksakan diri mengingat-ingatnya. Banyak hal yang telah berlalu tidak bisa kembali. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat, tapi mengapa semua seperti berlalu begitu cepat?

Angin malam bertiup, menggesekkan dahan dan daun pada talang yang bocor. Naro melangkah melewati kenyataan yang kelam, bau bacin perkampungan, menuju ke rumahnya dan ketika teringat rumahnya itu Naro tiba-tiba merasakan sesuatu bergerak di dadanya yang kosong.

“Bapakmu itu bangsat!” Ibunya pernah berkata begitu.

Bangsat, pikirnya, apakah bangsat itu? Naro tidak pernah tahu betul apa yang dimaksud ibunya jika sudah bicara dengan mulut berbau minuman, mata setengah tertutup seperti mata ular, susah payah mencoba menghapus make up dalam keadaan teler ketika pulang malam-malam.

“Aku kerja banting tulang dan dia hilang entah ke mana. Dasar bajingan!”

Bajingan, pikirnya, apakah bajingan itu? Begitu banyak kata-kata seperti itu dikenalnya dari sang Ibu.

“Bapak…,” Naro berbisik dalam hati. Tiada satu pun teman laki-laki ibunya, yang selalu datang berganti-ganti, bisa begitu menyenangkan seperti bapaknya. Tiada seorang pun dari mereka bisa bermain gitar dan menyanyi bersama dengan penuh kegembiraan. Tiada seorang pun dari mereka punya permainan sulap yang bagi Naro bisa begitu mengesankan. Kartu menjadi sapu tangan. Sapu tangan jadi burung dara. Burung dara hilang di balik topi jadi bakmi goreng hangat berkepul-kepul yang bisa dimakan bertiga. Naro teringat, ular sawah itu juga kadang-kadang mau ikut makan, tapi segera mundur kembali jika ibunya mendesis dengan mata nyalang.

Baca juga  Suatu Ketika di Ruang Gawat Darurat

“Ibu, Bapak ke mana?”

Dan Naro tak pernah melupakan betapa sebuah jawaban bisa menyakitkan. Ibu tak pernah berbohong, Ibu begitu jujur, tapi mengapa kenyataan mesti melukai perasaan? Ibunya tidak seperti ibu teman-temannya sekampung, yang bisa bilang, “Bapak pergi berlayar,” atau “Bapak ke luar negeri,” atau “Bapak kawin lagi,” atau “Bapak sudah mati,” sekadar supaya anaknya berhenti bertanya, mendapat jawaban agak bodoh, tapi bisa diterima, pokoknya asal menjawab supaya anaknya tahu sendiri. Tak apa kalau nanti bingung sendiri. Anak-anak di perkampungan kumuh di pinggir rel kereta api yang setiap saat bisa terbakar habis—siapakah yang harus memedulikan kebahagiaan mereka?

***

Dulu Naro punya sahabat bernama Isti [1]. Waktu masih kanak-kanak mereka sering pergi bersama seusai sekolah. Pergi ke pelabuhan, berbincang-bincang di sebuah dermaga tua yang sepi, mendengarkan suara-suara burung camar yang bersahutan maupun kecipak ombak yang membuat perahu-perahu sampan yang ditambatkan berbunyi lembut karena saling bersentuhan.

“Ibumu cantik sekali Naro.”

“Begitu?”

“Kata ibuku, ibumu kalau menari tidak pakai baju.”

“Ah! Ibumu tidak pernah menonton ibuku menari.”

“Kata ibuku orang-orang bilang begitu.”

“Orang-orang itu bohong. Mereka tidak punya uang untuk melihat ibuku menari.”

“Kata orang-orang kepada ibuku, ibumu kalau menari hanya ditutupi ular.”

“Ibuku menjahit sendiri baju untuk menari itu Isti. Bermalam-malam ia tidak tidur hanya untuk menyematkan pernik-pernik itu satu per satu, di celana, di kutang, dan di sepatu. Tidak mungkin ia melakukan itu semua hanya untuk dicopot, kan?”

“Orang-orang bilang begitu.”

“Kamu percaya orang-orang atau percaya aku?”

“Kamu pernah nonton ibumu menari?”

“Pernah.”

“Di mana?”

“Di karnaval.”

Karnaval, karnaval, karnaval itu lagi—selalu mengingatkannya kembali betapa segala sesuatu telah berubah. Waktu bagai menyulap kehidupan. Bapaknya lenyap entah ke mana, entah kenapa, dan entah untuk apa. Isti sudah lama pindah karena ibunya kawin lagi, entah pula ke mana. Seperti sulapan, segalanya bagai berubah seketika. Debur ombak menjadi deru jalanan. Angin pantai menjadi asap knalpot yang hitam. Burung camar menjadi tikus comberan. Keceriaan kanak-kanak menjadi kedewasaan yang penuh kekecewaan.

Naro merasa dunia melayang-layang ketika tiba di depan rumahnya. Pintu pagar terbuka. Semak-semak di halaman yang tak terurus berkilat keperakan. Naro melangkah masuk. Pintu rumah terbuka. Lantai ruang depan juga keperakan dalam cahaya lembut rembulan yang terang. Jendela terbuka. Jalusi mencetak bayang-bayang. Pintu ke ruang tengah terbuka. Seekor kucing melejit mengejar tikus dari ruang belakang. Kamar tidur ibunya terbuka. Jendela kamar ibunya juga terbuka. Gorden bergerak pelahan ditiup angin malam.

Baca juga  Sepatu (2)

Di depan kamar ibunya, Naro tertegun. Cahaya bulan yang menerobos dengan leluasa dari jendela membuat kamar itu menjadi terang lembut keperak-perakan. Cahaya itulah yang membuat Naro melihat kaki ibunya, menyembul keluar dari balik kain yang ditutupkan ke tubuh secara asal-asalan. Dalam cahaya bulan Naro melihat betis ibunya yang padat, putih, mulus, dan berbulu halus. Di luar, angin bertiup keras, dan daun-daun berguguran. Ibunya tidur terlentang, ditutupi kain, tapi bahunya terbuka dan keringatnya berkilatan. Naro melihat ibunya tidur dengan mulut terbuka. Di sebelahnya seorang lelaki yang tak dikenalnya tertidur tengkurap di bagian yang gelap.

Naro meneruskan langkahnya ke dapur. Di sana ia melihat sebuah pisau yang rupa-rupanya baru saja digunakan untuk mengiris semangka. Kulit semangka dan piring kotor berserakan.

Diambilnya pisau itu, lantas kembali ke depan kamar ibunya. Ia memasuki kamar ibunya dengan tenang sambil menggenggam pisau itu erat-erat, seperti siap untuk menikam. Sekali lagi ditatapnya ibunya yang tidur terlentang dalam cahaya rembulan. Saat itu ia seolah merasa baru mengerti apa artinya keindahan. Di bagian yang gelap karena bayang-bayang dinding di sisi jendela, Naro membungkuk memperhatikan lelaki yang tidur tengkurap di samping ibunya. Ia sama sekali tidak mengenalnya. Tubuhnya juga berkeringat dan juga ditutupi kain. Di lengan kirinya yang kekar terdapat tato bergambar wanita telanjang.

Naro mendenguskan napas, dan mengangkat pisau dapur yang baru saja digunakan untuk mengiris semangka itu tinggi-tinggi.

Terang bulan. Listrik mati. Sampai detik itu Naro belum bisa melupakan jawaban ibunya.

“Bapak, Bapak, Bapak! Dia bukan bapakmu, goblok!”

Alangkah sunyinya malam. Seekor ular sawah tidur melingkar di atas meja rias. ***

.

.

Jakarta, 1994

.

.

Catatan:

[1] Tentang masa lalu Naro dan Isti, bisa diketahui dari cerpen Dua Anak Kecil (Kompas, 21 September 1986)

.

Bulan di Atas Kampung. Bulan di Atas Kampung. Bulan di Atas Kampung. Bulan di Atas Kampung.

Loading

Average rating 1.8 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!