Cerpen Wayan Sunarta (Kompas, 14 Desember 2003)
(Kisah Lima Penjelmaan)
AKU lahir. Gajahmada melepas jangkar. Melabuhkan armada tempur di pantai leluhurku. Malam biru. Seperti jubah laut masa lalu.
Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk, dan perahu. Ibuku dayang istana, perayu ulung, penakluk muasal kata, penadah titah yang patah. Suatu malam raja melepas lelah dalam rahim ibu. Aku terjaga. Aku benih, gabungan sudra dan ksatria, hanyut menggenangi gema genta pendeta. Aku putra jadah. Rasi bintang yang sendiri. Terbuang, tak diakui. Meski raja mencintaiku, namun takhta adalah utama, setelah titah. Ibu mengeluh. Aku pasrah. Maka, nelayan tua bermata ungu itu, kupanggil ayah.
Aku belia dalam kubangan janji-janji Gajahmada, sang penakluk terkutuk. Aku belajar memanah tangis. Menebas air mata. Raja merestuiku jadi laskar. Di garis depan aku bertempur. Demi leluhur, istana, dan raja—ayah yang dulu tak menghendakiku. Namun lacur, aku gugur. Seperti pokok jati yang rubuh di musim kering. Lambungku lebih mencintai tombak ketimbang ombak.
Ruh berputar. Cakra punarbhawa. Ratusan tahun kemudian, kembali aku menitis. Ibuku pelacur terhormat bagi serdadu bermata biru. Dipuja dan dimuliakan, lantaran pinggul bulat, payudara kelapa gading, dan suara merdu merayu. Bertahun kemudian ibu digilir lelaki kuning bermata sipit. Tak tahu aku, siapa sesungguhnya yang pantas kusebut ayah? Apa mungkin langit kupanggil ayah? Dalam tubuhku mengalir darah serakah penjajah. Akhirnya, ibu mati gantung diri, setelah lelah meladeni serdadu ke seribu, yang haus, ganas dan beringas.
Aku tumbuh menjadi penjudi, centeng pelabuhan, pemain perempuan, sekaligus mucikari bagi priayi. Hingga tiba suatu waktu, aku tersihir api revolusi yang menyembur dari mulut Soekarno. Seakan mengenang masa silam, kembali aku mengasah naluri tempur. Pin merah-putih di peci, sesuatu yang kubanggakan sebagai harga diri. Revolver di pinggang dan senapan di tangan. Aku memimpin pasukan menyerbu tangsi dan gudang senjata. Namun, seperti telah dinujumkan, aku gugur berselempang peluru musuh.
Ketika musim pembantaian tiba, aku mekar kembali dalam keluarga buruh tani. Usiaku sepuluh tahun saat ayah digorok dan dikuliti, persis di depan ibu. Darah ayah menghiasi wajah ngeri ibu. Aku tumbuh seperti pohon tanpa daun. Ibu gila dan menghuni rumah sakit jiwa, lalu mati dengan batin luka parah.
Aku menjadi juru warta, mengabarkan sengkarut negeri. Aku menjadi musuh tirani. Suatu malam, kelam gemetar di udara. Suara parau burung hantu membawa derap langkah sepatu lars. Kepalaku dibungkus kain hitam, dipaksa masuk kendaraan yang melaju entah ke mana.
Koran mengabarkan aku lenyap, tanpa jejak. Mereka tak tahu aku dipaksa menjadi penghuni liar kerajaan bawah laut. Aku belajar menyukai aroma garam yang menggelembungkan perut dan jiwaku. Menari bersama ubur-ubur, menyanyi bersama penyu hijau yang terusir, hiu kelabu, ganggang dan kerang. Dari suram bawah laut, ruhku berputar tak tahu arah.
Aku lahir kembali di lorong kumuh sebuah perkampungan kaum lanun, bromocorah, paria, begundal, sundal dan bajingan. Ayahku turunan perompak. Kakekku sahabat ombak. Suka mabuk. Pernah memerkosa perempuan bisu di geladak. Lalu lahirlah ayahku, pohon palam yang mencintai malam.
Ayahku raja pasar gelap. Penyelundup kayu. Juragan candu. Ketika aku bocah, ayah menguap. Jadi buron polisi dan preman. Ada kabar ia mati di comberan. Tubuh bugil, putih-pucat, dan penuh rajah. Ada tujuh lubang luka yang membiru di tubuh.
Aku dipelihara ibu, penari telanjang termasyhur. Paha bercahaya, payudara berkilau. Ibu mengajariku menenggak anggur bercampur abu ganja dan sedikit pil tidur. Ibu melatihku bercinta. Ketika mabuk aku diperkosa. Aku meronta, aku berontak. Ibu menjerit: “aku dahaga!” Ibuku itu bukanlah ibuku. Dia mengaku ibu tiri. Sebab dahaga purba, sukarela aku menjalin asmara dengan ibu tiriku.
O, di mana rahim hangat ibu yang melahirkanku?
Aku mengadu pada senja. O, Pantai Kuta, ke mana kau usir jukung-jukung nelayan? Mataku silau lampu-lampu hotel dan restoran. Seperti tukik, lahir dari kandungan pasir, aku merayap pada hamparan pasir. Ibuku pasir Pantai Kuta. Pada dadanya yang putih bersih aku menyusu. Belajar mencicipi air laut. Mencecap asin garam untuk kali pertama.
Di Pantai Kuta aku menjelma gigolo belia. Usiaku tujuh belas tahun ketika mereguk cinta pertama, seakan menyentuh batu mulia, pada mata jelita negeri salju. Rambut yang separuh pirang, menyisakan gerak bayang pada siang. Mata seteduh lautan, biru yang kurindu, yang memeram kelam topan.
Maka, cerita baru pun kubuka:
Di pantai aku merayu, seakan alpa akan duka masa lalu. Kubah langit jadi jingga. Biru laut mengental pada kerling matamu. Perahuku oleng, arus mabuk. Pasir masih sisakan lokan, bercampur uang kepeng bekas upacara dan tutup botol Coca Cola. Kau berlari kecil dan tertawa renyah ke arah senja yang melindap harap. Buih putih meraba mulus betismu yang ranum tangkai bunga leli. Seperti ibu yang setia, aku menunggu di rindang pohon ketapang. Memandangmu memainkan senja yang ragu dan gemetar meniti ombak liar. Seorang nenek renta bertopi caping memilin helai-helai rambut kusutku jadi beribu warna pelangi, yang melulu sepi.
Agak ragu kau membujuk, mengajakku menyulam malam dalam selimut kusam. Kau ingin aku bernalam, beralaskan tilam, berkisah perihal silsilah masa silam leluhurku, kawanan lanun yang kalah.
Malam melata. Dinding kamar samar. Lampu biru. Cahaya gagu. Kau menawariku anggur. Kita bersulang, untuk sesuatu yang mungkin hilang. Meski getir dan letih, aku telah berkisah. Kini, izinkan aku membajak lekuk tubuh pualammu, hingga baris-baris sajak lumer seperti roti kering tercelup cappucino hangat.
Upacara dimulai. Gaun kau simpan. Kita berdansa perlahan. Irama sunyi nyanyi serangga menghiasi malam. Setengah mabuk kita rebah di atas springbed, hamparan surga kelabu. Beringas kau menyerbu, melumatku tanpa sisa. Ada hangat yang leleh di pangkal paha. Cangkang kerang mengerang. Seribu pesona menganga. Kulit lembut teratai merah muda. Di muka gapura permata camar-camar memekik lirih, meluncur dari nganga bibirmu. Menghambur tak tentu arah. Sesat dalam lebat rimba bakau. Lalu bau kambium melunak. Aroma ganggang meregang, setelah getar terakhir pinggulmu, penakluk pertapa bisu yang menyepi di tengah teluk. Ada sedu sedan tertahan. Dan pantai pun menjerit manja saat ombak pasang menyatukan dua benua.
Lalu, igaumu menyusur malam, menjalar di atas kasur dingin. Uap garam pada kulit tembaga. Getar anggur di pangkal lidah. Sebutir pasir di ujung puting. Lekukmu seindah teluk yang selalu kelabu.
Usai upacara kecil itu, kau memaksaku keluyuran. Seperti pejalan-tidur, mengukur Jalan Legian yang bising, berisik, sesak, pikuk dan sibuk. Padahal aku telah nyaman melipat tubuh dalam selimut. Seperti janin dalam rahim hangat ibu.
“Come on, honey! The night is very nice!”
Setengah memaksa, setengah dipaksa, bagai bocah dungu aku mengikutimu. Sambil menyambar syal, selinting mariyuana kau nyalakan. Aku meraba bungkus kretek di saku jaket. Kau tertawa jenaka. Mata birumu menuju bintang, yang bingung berebut cahaya dengan kerlap-kerlip lampu pub.
Agak mengerak dalam benakku, waktu itu puncak malam Sabtu. Udara dingin Oktober, merembes membasahi arus darah. Namun, dalam pub itu, panas tubuh berbagi panas tubuh, tawa menyilang tawa. Piringan hitam melantunkan I Started A Joke, lagu terakhir yang kau pesan dari DJ berambuk ombak.
Mataku perih. Asap tembakau berbaur bau tubuh bule, mariyuana dan uap alkohol. Tiba-tiba saja aku terkenang aroma karbol. Di sudut remang, bibirmu meraba bibirku. Lidahmu yang panas—meski kau dari negeri salju—memberangus lidahku yang bau hujan tropis.
Sedetik kemudian, waktu tiba-tiba padam. Malam mendadak membara. Panas mengelupas mulus tubuhmu. Bagian tubuhku seperti memasuki liang tanpa cahaya, lubang penuh lendir. Aku gugup. Kau gemetar. Urat-urat darahmu coba meraba geletar asing yang mendedah ruh dan tubuh di ruang pengap kamar yang terbakar.
Terasa ringan, aku kapas diempas angin. Dari dalam udara, aku melihat tubuh-tubuh menyerpih. Ada bau daging gosong. Orang-orang bingung. Sirine ambulance ngeri, meraung tak henti.
Duhai, Ilahi, rahasia cakrawala terbuka sebelum waktu. Seperti lokan buta yang meraba dengan sungut, ruhku tertatih meraba kegelapan jalan terakhirku. Aku perlu peta, menyibak rute pelayaran, menyusuri gelombang pinggul yang bagai badai. Napasku tercekik belelai gurita raksasa, tepat saat jari-jari tanganmu ingin raih bulan di atas samudra.
Pada parak pagi, kutemukan tubuhku remuk di antara tumpukan puing dan abu. Bibirmu yang ranum menganga, menadah derita di atas basah aspal jalan. Seribu camar tak henti memekik dan berhamburan tak tahu arah.
Kemudian, hari, minggu, dan bulan. Sesuatu yang disebut waktu, bergelantungan di pucuk-pucuk pohon waru. Seorang gelandangan lusuh menyusur Jalan Legian. Aku terkesima! Gelandangan lusuh itu, aku sendiri!
Hanya baju-baju kaus pengabar duka, pamflet setengah hangus, seikat bunga layu, potret kekasih dan orang tercinta berjajar pada pagar seng kusam. Saling berebut perhatian, tertuju pada semua penjuru mata.
Mungkin pernah seorang relawan menemukan biji mata biru pada sisa abu. Pinggul setengah matang. Atau mungkin gema tangis dari sisa puing. Mengambang dalam malam bergerimis. Uap alkohol bercampur sisa embun.
Kukenang bayangmu. Sebentuk bibir yang sia-sia menempel di kaca jendela diskotek. Ada bekas ganggang biru dan sedikit sengat ubur-ubur pada gambar naga di lengan kanan. Sisa garam pada rambut yang separuh hangus. Betis mulus yang terkelupas seperti mangga matang, yang pernah memukau lanun, membajak gelinjang yang terus meradang, mengerang, menggasing dalam putaran sembilan bulan. Seperti kekunang tersihir cahaya gemintang.
Tak ada lagi mantra penolak bala atau sesaji penenang ruh. Pun karangan bunga muram. Mungkin hanya sebutir aspirin, jarum suntik dan lima linting mariyuana, teronggok di sudut kamar kusam.
Kaukah ruh, asal segala keluh dan jenuh? Atau aku noktah yang akan terhapus dari kenangan. Atau aku ruh, yang berkisah perihal waktu, yang menumbukku jadi debu?
Kau beri aku kembara tanpa dangau kekal. Aku ulang-alik, berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh. Seperti burung-burung yang diusir musim dingin. Pintu rahim siapa mesti kuketuk lagi, demi ruh yang tak henti mengembara. Aku letih menyusuri garis edarku sendiri. Aku bukan matahari, bukan bulan, bukan bumi. Aku noktah pada hamparan semesta-Mu. Bila aku mengakui adaMu, apa harus aku mempercayai-Mu?
Bila Kau titiskan aku lagi, beri aku sebilah kelewang berkilau dan kuda putih. Aku hanya sudi menjelma ketika usia bumi merapat tua. Itulah akhir titah-Mu, akhir kembaraku. Itulah saat aku mengukur umurku sendiri, mengumpulkan remah-remah karma.
Atau titiskan aku lagi 666 tahun kemudian, ketika bumi menjadi lapisan es. Aku akan menjelma ikan-ikan cahaya, yang menghuni lubuk paling kelam dari samudra membeku, dari jiwa paling kelabu. Dan Kau? Kau membeku dalam istana-Mu! ***
.
.
Kuta-Denpasar, 2003
.
Cakra Punarbhawa. Cakra Punarbhawa. Cakra Punarbhawa. Cakra Punarbhawa. Cakra Punarbhawa.
Leave a Reply