Budi Darma, Cerpen, Majas

Dujail

Dujail - Cerpen Budi Darma

Dujail ilustrasi Bambang Prasadhi/Majas

4.2
(5)

Cerpen Budi Darma (Majas No 1 Vol 1 / November 2018)

LIHATLAH, betapa sengsaranya orang bernama Dujail ini. Mata kanannya terletak di kening bagian atas dan mata kirinya sejajar dengan hidung bagian bawah. Ujung kedua kupingnya runcing; pipinya kasar, gembur, penuh jerawat, dipenuhi lipatan-lipatan daging bergelambir; dua giginya menyodok ke luar sebagaimana gigi binatang pengerat; suaranya seperti bunyi radio bobrok; dan bau mulutnya—amit-amit—mirip bau setumpuk bangkai tikus got yang buntu sehingga airnya tidak bisa mengalir. Memang patut dikasihani. Tapi, begitu melihat tingkah lakunya, siapa pun yang melihat, pasti hilang rasa kasihannya, berganti dengan perasaan jijik dan benci berkepanjangan.

Menjelang pukul setengah sebelas malam dia menggedor-gedor pintu, dan setelah pintu saya buka dia langsung duduk. Kedua kakinya, tanpa basa-basi, dinaikkan ke permukaan meja.

“Nama kamu Hilbram, kan? Sudah lama saya mengawasi kamu. Jangan salahkan saya kalau saya datang larut malam. Slogan yang kamu banggakan itu kan curian dari kata-kata bijak Naguib Mahfudz, penerima Hadiah Nobel Sastra dari Mesir itu, kan? ‘Siang bekerja, malam menulis’ itulah slogan curian yang kamu bangga-banggakan. Naguib Mahfudz itu kan pengarang besar, lha kamu ini siapa? Kamu kan pengarang comberan.”

Dengan gaya serampangan dia mengeluarkan beberapa novel dan kumpulan cerita pendek dari tasnya. Tas itu kumuh, warnanya luntur, beberapa bagiannya sudah jebol. Mungkin bukan jebol karena tas itu buruk, tapi karena apa pun yang dia pegang, pasti berantakan. Juga dengan gaya serampangan dia mengeluarkan ballpoint warna-warni, lalu mencoret-coret beberapa bagian buku dengan warna hijau.

“Tanda kelemahan-kelemahan kamu yang masih bisa diperbaiki,” katanya dengan angkuh.

Lalu dia mencoret-coret dengan warna kuning:

“Tanda bahwa kamu kebingungan. Menulis kok bingung, ya begini ini jadinya.”

Dia berhenti sebentar, lalu menyorotkan dua matanya ke arah saya. Karena mata kanannya dekat ujung kening, “tinggi nun jauh di sana”, sedangkan mata kirinya terletak dekat hidung bagian bawah, caranya memandang memancing rasa kasihan. Tapi karena cara memandangnya benar-benar kurang ajar, rasa jijik meluap-luap dalam semua bagian tubuh saya.

Lalu dia membuka beberapa halaman novel dan kumpulan cerita pendek saya, mencoret-coret dengan warna merah.

“Ini tanda bahwa kamu goblog pol. Tahu, kan, maksud saya? Ada dosa tanpa ampun, dan ada pula goblok tanpa ampun.”

Berhenti sebentar, kemudian disambung:

“Saya heran, mengapa orang-orang menganggap kamu sastrawan besar. Kritikus besar pula. Gelar hebat, isi kosong!”

Betul-betul kurang ajar orang ini, pikir saya, tapi, hati nurani saya tidak pernah lepas dari kata-kata ibu saya, beberapa saat sebelum meninggal.

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya.”

Dan Dujail adalah tamu saya.

Dia tahu bahwa saya pernah bekerja di kedai kopi Aruman, milik orang Kirgistan, tapi akhirnya ditutup karena izin perpanjangannya tidak pernah dikabulkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia. Letak kedai kopi itu tidak jauh dari dua rumah sakit besar yang pasiennya datang dari berbagai kota, berbagai pulau, dan juga berbagai negara di luar sana. Jangan heran, manakala sebagian tamu kedai kopi Aruman adalah mereka yang menjenguk keluarga yang sedang sakit.

Pemilik kedai, pendatang dari Kirgistan itu, mendidik semua pegawainya dengan baik: semua tamu harus diamati dengan cermat. Tamu yang tampak gelisah harus didekati, diajak mengobrol. Ada tamu mengaku uangnya hampir habis untuk merawat ibunya di rumah sakit; ada tamu yang terang-terangan tidak sampai hati melihat anaknya cacat sepanjang hayat masih dikandung badan gara-gara kecelakaan dan biang kecelakaan itu bukanlah anaknya; ada tamu yang takut rahasianya terbongkar karena istrinya kebetulan dirawat dalam satu kamar bersama selingkuhannya. Tamu yang sedih dan bisa dipercaya diberi potongan harga, bahkan kadang-kadang diberi kue dan makanan, dan tamu yang pura-pura sedih harus diusir dengan halus.

Apa boleh buat? Kendati semua pegawai senang, mau tidak mau mereka harus mencari pekerjaan lain.

Untung, belum ada satu minggu setelah saya mengundurkan diri, saya mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai hotel kumuh yang, kalau tidak dipertahankan dengan sungguh-sungguh, pasti akan bangkrut. Hotel itu terletak di pinggir jalan yang lumayan besar, tapi hampir selamanya sepi. Di bagian belakang hotel ada pula sebuah jalan, agak kecil tapi dapat dilalui dua mobil besar yang sedang berpapasan, dan juga sepi, lebih sepi dari jalan di bagian depan.

Oleh pemilik hotel saya diberi izin untuk tinggal di paviliun di bagian belakang hotel, menghadap ke jalan kecil. Tepat di pinggir jalan di depan paviliun ada sebuah rumah kecil bertingkat yang dilengkapi sebuah balkon menghadap ke paviliun saya. Rumah ini dihuni seorang Indo Belanda, tampaknya sendirian, dan kesukaannya adalah kencing dari balkon pada waktu malam. Kencing bukan sekadar kencing, tapi selalu didahului dan diakhiri dengan batuk-betuk keras untuk menggelontor dahak. Tidak jarang, sehabis kencing dan membuang dahak dengan suara keras, dia tertawa-tawa senang, bangga atas perbuatannya. Air kencingnya jatuh di pekarangan, dan karena—sepanjang pengetahuan saya—tidak pernah ada satu orang pun yang membersihkan pekarangannya, bau kencing mau tidak mau merembet sampai ke dalam paviliun, lebih-lebih kalau angin menderu ke arah paviliun. Dalam keadaan pintu dan jendala saya tutup pun, bau kencing masih tetap merajalela menerobos ke dalam paviliun.

Baca juga  Merdeka

Itulah pekerjaannya setiap malam, dan setiap pagi, dia pasti meludah-ludah dari balkon. Tentu saja bukan ludah biasa, tapi ludah kental bercampur dahak. Saya tidak tahu mengapa dia mempunyai dahak begitu banyak dan begitu bangga akan dahaknya.

Indo Belanda ini juga memiliki teropong dan dengan cara sangat gegabah dia sering menggunakan teropongnya ke segala arah. Dia juga suka meneropong paviliun saya, apalagi waktu pintu paviliun saya buka.

Bukan hanya itu. Kalau kebetulan saya sedang di luar, dia meneropong bagian tubuh saya inci demi inci, seolah-olah saya hanyalah barang mainan untuk ditertawakan. Dan memang, dia suka menertawakan saya. Kadang-kadang dia mengacungkan tinjunya ke arah saya. Kadang-kadang dengan cara yang sangat merendahkan, dia membokongi saya.

Kalau mau, sebetulnya saya bisa membeli ketapel, mengumpulkan beberapa kerikil tajam, dan menghajar dia. Tetapi saya justru kasihan, karena itu, apa pun yang dilakukannya, saya pura-pura tidak tahu.

Di depan paviliun ada pula beberapa jengkal pekarangan, dan, seperti halnya pekarangan orang Indo Belanda di depan, tampak sama sekali tidak pernah dirawat. Rumput liar dan tanaman-tanaman liar lainnya beranak-pinak dengan bebas, dan akibatnya: kecoa, ulat, dan kadang-kadang ular datang berkunjung.

Paviliun saya terdiri atas tiga bagian, semua kecil, yaitu ruang tamu paling depan, di belakangnya ada ruang tidur dan almari pakaian berukuran tinggi, dan di belakangnya lagi ada dapur, lalu, paling belakang adalah kamar mandi. Kalau mau mencuci ya bisa di kamar mandi, lalu menjemur pakaian basah di pekarangan depan.

Untuk masuk ke hotel, saya bisa lewat pekarangan di belakang paviliun, dan saya mempunyai kunci khusus untuk membuka pintu belakang. Pekarangan ini agak luas, dan jauh lebih tidak terawat dibanding dengan pekarangan di depan paviliun. Karena itu jangan heran, manakala pekarangan di belakang paviliun rimbun oleh tanaman liar, dan menjadi sarang berbagai binatang, termasuk ular.

Di hotel tempat saya bekerja sekarang juga banyak keluhan: semua pegawai takut dipecat, maka agar selamat, para pegawai yang berhati iblis mencari-cari kesalahan teman-temannya supaya mereka kena pecat. Salah satu tugas saya adalah menenteramkan mereka, dan, dengan diam-diam menghajar pegawai-pegawai yang berhati iblis, tentu saja dengan cara yang sangat halus. Inilah modal besar pemberian orang Kirgistan mengenai bagaimana mengusir orang-orang jahat.

Tampaknya Dujail tahu semuanya, karena itu, dengan nada serampangan dia berujar: “Waktu kamu kerja di kedai kopi, kamu kumpulkan keluhan orang-orang untuk kamu jadikan bahan tulisan kamu. Idem ditto ketika kamu bekerja di hotel berengsek ini.”

Dujail terus menyerocos, menyemprotkan butiran-butiran ludah serta bau bangkai tikus selokan. Makin banyak dia berbicara, makin banyak butir-butir ludahnya menyemprot, dan makin banyaklah ludah kental berkumpul di kedua sudut mulutnya.

“Dari mana kamu bisa menulis mengenai perempuan gantung diri di rumah sakit? Jawab, heh!” Saya diam, dan dengan lantang dia melanjutkan: “Dari pembeli kedai kopi itu, kan?”

Diam sebentar, lalu disambung:

“Apa kamu tidak kasihan sama perempuan itu? Perempuan baik hati kamu gambarkan sebagai hantu perempuan berjiwa iblis. Kurang ajar kamu.”

Kakinya tetap di meja, dan ketika kakinya dengan kasar menendang asbak, untuk sekilas saya lupa pesan almarhumah Ibu.

“Dujail! Kamu jangan kurang ajar!”

Karena dengan mendadak saya teringat pesan almarhumah ibu saya, maka setelah menegur, saya tidak bertindak apa-apa.

Selama satu minggu penuh Dujail datang, waktunya selalu hampir sama, sekitar jam setengah sebelas malam.

“Kamu ingat, ya, Hilbram, bahwa kamu tidak lain adalah pencuri. Saya ke sini malam-malam untuk menyaksikan kamu menulis. Kan kamu mencuri slogan Naguib Mahfudz: ‘pagi bekerja, malam menulis.’ Saya ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri cara kamu menulis.”

“Dujail, kawal mulut kamu, ya! Kamu ingin menyaksikan dengan mata kepala kamu bagaimana saya menulis? Mata kamu yang mana? Semua mata kamu sangat lucu. Sangat menyedihkan!”

Seharusnya saya diam, tapi apa boleh buat. Dan begitu selesai mengucapkan kata-kata yang seharusnya saya pendam itu, saya diam, sambil memandang Dujail dengan rasa iba.

Dujail diam, menunduk, kemudian terdengar dia sesenggukan. “Kamu kurang ajar, Hilbram. Mengapa kamu menghina saya?”

Dia berdiri, dan setelah meludahi meja, dinding, dan pintu berkali-kali, dia pergi, dengan meninggalkan ancaman, “Awas kamu!”

Hari demi hari berlalu. Karena merasa jenuh, pada suatu sore saya berjalan-jalan ke Plaza Marakesh, melihat-lihat pameran lukisan, lomba berpakaian buruk, pentas tarian zaman sekarang, makan, dan entah apa lagi, sampai akhirnya saya masuk ke toko buku. Saya merasa dikuntit, entah oleh siapa, dan entah mengapa. Kalau saya berjalan lambat, dia ikut berjalan lambat, kalau saya berjalan cepat dia ikut berjalan cepat, dan setiap kali saya berusaha menengok ke belakang, saya tidak bisa menemukan siapa sebenarnya yang mengikuti saya.

Baca juga  Dua Belas Jam dalam Ingatan

Tiga hari kemudian saya menerima SMS gelap dari seseorang yang tidak saya kenal. Dia mengajak saya bertemu di toko buku di Plaza Marakesh. Begitu tiba di Plaza Marakesh saya langsung menuju ke toko buku, dan hampir saja saya tertabrak oleh sebuah tubuh gembrot. Tentu saja saya kaget bukan kepalang, tapi, bukan hanya itu: tubuh gembrot itu menebarkan bau amis, luar biasa amis. Ternyata tubuh itu tidak lain adalah Dujail, dikejar oleh dua atau tiga penjaga tuku buku dan dua orang satpam plaza. Dujail lari secepat kilat sambil terkencing-kencing, tapi saya tidak tertarik lagi, dan langsung masuk ke toko buku.

Di dalam toko buku beberapa orang masih membicarakan “kedatangan orang gila” sambil bergidik ketakutan, campur rasa heran, dan inilah yang paling kentara, rasa muak dan jijik.

Orang gila ini membentak-bentak, mengancam, mengobrak-abrik buku, diusir tidak mau, sampai akhirnya dipukul pegawai toko buku, terus lari. Ternyata saya dikuntit lagi, entah oleh siapa, tapi mungkin oleh orang yang sama. Lagi, saya berjalan cepat dia ikut berjalan cepat, saya berjalan lambat dia ikut berjalan lambat, dan begitu saya melihat ke belakang dengan sangat mendadak, orang itu tidak ada. Yang ada hanyalah orang-orang yang berdiri di depan rak buku, melihat-lihat buku, menyimak ilustrasi kulit buku, dan membaca-baca endorsement.

Kebetulan di toko buku itu ada juga gerai permainan anak-anak, termasuk di antaranya kelereng. Saya pun membeli satu lusin kelereng, dan setelah saya bayar harganya, saya buka bungkusnya, lalu kelerengnya saya masukkan saku.

Saya tetap dikuntit. Ketika saya menggelindingkan kelereng, ternyata dari arah berlawanan sebuah kelereng menggelinding. Dia memberi tanda, apa pun yang saya lakukan, dia tahu. Saya gelindingkan lagi sebuah kelereng dari arah sini, dia menggelindingkan kelereng dari arah lain. Dua kelereng saling mendekat, kemudian saling membentur.

Beberapa hari kemudian Dujail datang lagi, pada waktu yang sama lagi. Seperti biasa, dengan cara menggedor-gedor pintu. Dan seperti biasa pula, begitu pintu saya buka dia langsung masuk tanpa saya persilakan.

Dia mengambil sebuah buku dari dalam tasnya, kemudian dengan garang berkata: “Hilbram, mengapa novel kurang ajar ini kamu puji-punji dalam endorsement kamu? Jawab! Mengapa?”

“Sabar, Dujail, sabar. Jangan main bentak seperti orang gila.”

“Hilbram, kamu menganggap saya gila, ya. Kurang ajar.”

“Saya bilang seperti orang gila. Artinya, bukan gila. Hanya seperti.”

Dia agak tenang. Dengan setengah merendah dan setengah membentak, saya berkata: “Saya tidak tahu siapa pengarang bernama Pao Pao ini. Tapi saya tahu, novel ini bagus. Saya puji di koran. Tanpa saya ketahui, pujian saya dikutip pada edisi cetak ulang.”

Saya agak heran, mengapa dia tetap tenang, dan karena dia tetap tenang, saya lanjutkan: “Pao Pao pengarang hebat. Dia mengolok-olok iblis yang gagal masuk ke tubuh manusia. Wajahnya menakutkan. Pipinya gembur. Ujung kupingnya lancip bagaikan kuping binatang entah apa namanya. Matanya satu melesat terlalu tinggi, satunya melorot terlalu rendah. Kesukaannya mengejar-ngejar perempuan. Untuk disiksa, bukan untuk diperkosa. Mana mungkin memperkosa, kan iblis ini impoten. Cara menundukkan iblis ini mudah. Dan hanya satu cara: telanjanglah. Telanjang bulat. Iblis ini tidak akan berani mendekat.” Hebat betul Pao Pao ini, pikir saya. Telanjang bulat menghadapi laki-laki adalah semacam motto Aristophanes, penulis drama Lysistrata, ratusan tahun sebelum Masehi. Iblis akan lari, dan tidak akan datang lagi.

Dengan sabar Dujail mendengarkan kata-kata saya. Napasnya ngos-ngosan, tapi, tidak lama kemudian, dia berdiri. Dia merobek-robek buku Pao Pao, menginjak-injaknya, lalu dengan suara jengkel dan agak putus asa dia berkata:

“Saya sudah datang ke penerbit gadungan ini. Penerbit gadungan yang menerbitkan novel gadungan. Saya yakin Pao Pao hanyalah nama samaran. Ketika saya bertanya siapa Pao Pao, mereka diam. Saya bilang, kalau penerbit ini tidak bisa menangkap pengarang gadungan ini dan mempersembahkannya kepada saya, saya kutuk. Mereka semua beserta anak keturunan mereka akan masuk neraka.”

Mungkin karena sangat bernafsu, keesokan malamnya Dujail datang lagi, waktunya sama lagi.

“Wahai, Hilbram, apakah kamu sudah menangkap anjing buduk bernama Pao Pao?”

“Sabar, Dujail, sabar.”

“Harus kamu tangkap secepatnya.”

Lalu, dari tas kumuhnya dia mengeluarkan bergulung-gulung kertas.

“Dengar perintah saya, wahai, Hilbram. Orang bilang kamu pengarang jagoan. Dan orang juga bilang kamu kritikus hebat tanpa tanding. Itu kata orang, lho, Hilbram, bukan kata saya. Karena orang-orang sudah terlanjur memandang kamu sebagai jagoan, apa pun yang kamu katakan pasti dianggap benar. Kamu bilang lima tambah lima adalah dua belas, satu tambah seratus jadi seribu, satu juta dikurangi satu juta ditambah satu juta jadi lima belas juta, tidak akan ada yang berani membantah kamu. Dan ini perintah saya, carilah penerbit yang paling hebat. Betapa pun goblognya otak kamu, semua orang menganggap kamu benar. Nah, Hilbram, inilah naskah novel saya. Novel filosofis, bukan novel kacangan seperti novel kamu. Tentu saja, bukan pula novel sinting seperti setan hutan yang mengaku bernama Pao Pao itu. Kalau kamu mengatakan kepada penerbit paling hebat bahwa novel saya hebat, pasti novel saya bisa terbit. Katakan novel saya bagus, dan pasti semua makhluk di muka bumi ini akan menyetujui kamu. Itulah perintah saya kepada kamu, wahai Hilbram. Laksanakan perintah saya. Kalau kamu gagal, kamu dan seluruh anak keturunan kamu akan menjadi makanan api neraka.”

Baca juga  Seorang Wanita Bernama Wilma

Dujail langsung pergi, dan tidak pernah kembali lagi.

Terceritalah, pada suatu senja, seorang perempuan datang, dan dengan sikap malu-malu tapi sangat berani memperkenalkan diri, namanya Koltum Masrifah. Tubuhnya tidak pendek, tidak pula tinggi, dan matanya menunjukkan bahwa otaknya bukanlah otak sembarangan. Barang siapa pernah memperhatikan mata burung elang ketika berputar-putar di angkasa sebagai persiapan untuk terjun ke bumi atau laut untuk menangkap mangsa, begitulah kira-kira gambaran mata perempuan ini. Apa yang dia incar, pasti tidak mungkin lepas.

Dia mengaku, dialah yang beberapa waktu lalu mengirim SMS gelap, dan dia juga mengaku, bahwa dialah beberapa waktu lalu yang menguntit saya di toko buku.

Suara Koltum Masrifah sangat halus, sangat merdu, dan cara berbicaranya mirip-mirip dengan cara menyanyikan lagu.

Saya bisa langsung menduga, bahwa Koltum Masrifah tidak lain adalah pengarang hebat dengan nama samaran Pao Pao. Dia menjawab, sudah lama sebetulnya dia ingin menemui saya, tapi malu dan takut, jangan-jangan saya menganggap dia pengarang comberan. Tapi, pikir punya pikir untuk apa malu, dan karena itulah dia memberanikan diri untuk bertandang ke paviliun saya.

“Ada alasan lain?” tanya saya.

“Pasti ada. Saya mempunyai dugaan kuat, Dujail malam ini akan datang ke sini.”

Lalu, setelah saya pancing-pancing, dengan nada bagaikan bernyanyi, Koltum Masrifah mengaku bahwa dia tamatan S2 Ilmu Pertahanan Negara, dengan kekhususan Ilmu Inteligen. Tiga bulan dia memperoleh beasiswa untuk belajar di FBI, Amerika; tiga bulan mendapat undangan ke Scotland Yard di Inggris; dan empat bulan di negara bagian Kerala, India; untuk bersama-sama dengan polisi India mengejar dua belas orang pemerkosa seorang gadis berumur sepuluh tahun. Bukan sekadar memerkosa, mereka juga membunuh gadis itu, lalu menggantung mayatnya dengan posisi terbalik di sebuah desa terpencil.

Waktu berjalan terus, lalu, tiba-tiba Indo Belanda di depan rumah berteriak-teriak dahsyat, minta tolong, dan juga memaki-maki. Terpaksalah saya lari meninggalkan Koltum Masrifah, langsung menuju ke pekarangan rumah Indo Belanda, lalu menggedor-gedor pintunya. Suara jerit-jerit pemilik rumah makin dahsyat dan makin mengerikan.

Setelah pintunya saya tendang dua atau tiga kali, terbukalah pintu itu, dan tahulah saya, ada sepasang ular mengacung-ngacungkan kepalanya ke arah Indo Belanda. Dia, Indo Belanda itu bukan hanya berteriak-teriak, tapi juga terkencing-kencing dan terberak-berak.

Untung, saya sudah biasa menangkap ular, maka dua ular itu pun saya tangkap, saya bawa ke pekarangan di belakang paviliun, kemudian saya lepaskan.

Saya kembali ke paviliun, ternyata tamu perempuan saya masih menunggu. Dengan malu-malu disertai dengan tekad baja, Koltum Masrifah menyerahkan sebuah naskah novel. Dalam naskah novel terseliplah sebuah kisah mengenai dua sahabat, Markonah dan Robiah. Mereka sama-sama memimpikan kehidupan yang lebih baik, pergi ke kota bersama-sama, berbagi kamar, berbagi pakaian, berbagi sepatu, dan berbagi makanan. Markonah sering berdoa dengan suara menggeletar agar mendapat kehidupan yang lebih baik, sedangkan Robiah diam saja, tidak pernah berdoa. Setelah mendapat kehidupan yang lebih baik, Markonah meninggalkan Robiah tanpa pamit.

Tidak lama kemudian Robiah meninggal dan masuk sorga, dan Markonah juga meninggal, langsung masuk neraka. Markonah memaki-maki, tetapi semakin dahsyat makiannya, malaikat membenamkan Markonah ke bagian neraka yang lebih dalam.

Tanpa terasa, waktu berjalan terus, dan setelah mengambil napas dalam-dalam beberapa kali, Koltum Masrifah berkata: “Dujail sedang menuju ke sini.”

Betul, Dujail datang, menggebrak-gebrak meja menuduh saya menyembunyikan perempuan busuk bernama Pao Pao.

“Kalau Pao Pao memang ada di sini, kamu mau apa, wahai, Dujail?”

Dujail tampak ragu-ragu.

“Silakan geledah semua sudut dalam paviliun ini, Dujail.”

Dujail tambah ragu-ragu.

“Tengok! Di belakang gorden ada ruang tidur. Di belakang ruang tidur ada dapur. Di belakang paling ujung ada kamar mandi. Ayolah, Dujail, jangan ragu-ragu. Silakan geledah! Temukan Pao Pao!”

Dujail tetap ragu-ragu. Lalu, dengan berbisik dan menebarkan bau busuk serta butiran-butiran ludah dia berkata: “Kamu manusia jahanam!”

Lalu cepat-cepat Dujail pergi dengan meninggalkan sumpah serapah.

Sepi. Di ruang tidur pengarang Pao Pao tidak ada. Idem ditto di dapur. Dan di kamar mandi dia juga tidak ada.

Lysistrata, pikir saya.

Saya hampiri almari pakaian. Pengarang Pao Pao sembunyi di dalamnya. Telanjang bulat. ***

.

.

Loading

Average rating 4.2 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!