Bhirawa, Cerpen, Riki Utomi

Laki-Laki yang Menggigil

Laki-Laki yang Menggigil - Cerpen Riki Utomi

Laki-Laki yang Menggigil ilustrasi Bhirawa

0
(0)

Cerpen Riki Utomi (Bhirawa, 09 September 2022)

SEPERTI petir di siang bolong! Laki-laki itu terkejut ketika di dalam laci meja kerjanya terdapat sebuah amplop berwarna cokelat, tampak gemuk dan berat. Dia memandang lekat-lekat amplop itu. Membuat dadanya bergemuruh dengan tubuh yang berkeringat dingin. Pikirannya langsung meraba-raba ke segala arah; tentang segala hal kerja. Namun ia masih belum dapat berkesimpulan pada dermaga apakah amplop ini tiba dalam lacinya?

Perlahan laki-laki itu menggeser kembali laci tersebut hingga tertutup. Ditariknya napas dalam-dalam. Dadanya bergemuruh hebat. Pikirannya tak henti berputar, sekali lagi sekadar mengingat-ingat tentang segala sesuatu yang mungkin saja dapat disimpulkannya dengan cepat. Namun ia masih juga gagal. Ia menyandar di kursi seperti batang pohon rapuh. Memejam sejenak menghilangkan debar yang belum mereda.

Sepengetahuannya segala sidang diikutinya dengan baik. Tidak ada yang mengganjal pada setiap keputusan. Seperti yang selalu disampaikannya dengan lantang dan tegas, bahwa ia benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Banyak hal di lapangan yang memang harus dipenuhi masyarakat untuk segera diwujudkan, karena memang masyarakat membutuhkan. Orang-orang tahu ia selalu melaksanakan segala keputusan dengan baik.

Orang-orang yang duduk di sekitarnya ketika sidang tampak tersenyum. Di antara semua wakil rakyat, memang hanya dia yang benar-benar vokal membela apapun atas nama rakyat. Ketulusannya—seperti yang diakui mereka semua—memang membuat salut. Mereka bertepuk tangan, sebagian juga tertawa. Namun setidaknya baru ia sadari setelah mencermati sedemikian lama bahwa sikap-sikap mereka memiliki keganjalan. Tawa mereka, senyum mereka, dan segala sikap itu seperti mengejeknya. Mengejek? Cepat-cepat ia membuka mata, sejuk pendingin ruangan begitu ketara, menjadikannya menggigil antara sejuk dan kalut. Kantornya telah sepi sejak Ashar telah pergi. Memang ia selalu pulang terakhir setiap hari.

Tidak seperti biasanya kali ini begitu berat ia bangkit dari kursi. Ia tertawa sendiri di tengah kesunyian ruangan. Sekadar berpikir bodoh bahwa ia tidak membawa beban apa-apa di pundak atau di punggung, bukan seperti kebanyakan buruh yang selalu memanggul beban tak terkira demi memenuhi kebutuhan hidup setiap hari. Lalu mengapa ia kini merasa lebih terbeban berat daripada buruh-buruh itu?

Hidungnya mendengus kuat. Di tariknya tirai jendela seraya menguap berkali-kali.

***

“Bisa saja itu isinya bukan uang?”

Laki-laki itu memandang istrinya dengan wajah kusut. Tidak seperti biasanya makan malam yang selalu berselera kini lenyap terbawa beban akibat ingatannya masih tertuju pada amplop itu. Ia menggeleng pelan dengan pandangan kosong. Hal itu menjadikan istrinya cemberut. Ia mendengus sambil meraih sesuatu untuk diiminum, seketika mulutnya terbatuk dengan lidah menjulur-julur menahan rasa yang aneh.

Baca juga  Pelahap Kenangan

Istrinya tertawa lepas ketika membiarkannya terminum kuah sayur. Sebab yang diambilnya tadi bukan gelas berisi air, melainkan mangkuk sayur yang tinggal berisi kuahnya.

“Urusan kerja jangan dibawa pulang. Ini akibatnya!”

Ia tidak menggubris kata istrinya. Pikirannya tambah semrawut.

“Bagaimana bisa hilang! Sebab bagiku itu teror!”

“Apa!?”

“Pasti ada yang sengaja meletakkannya di laci mejaku.”

“Siapa?”

Laki-laki itu mendengus kesal. Menyudahi makan malam yang tidak seberapa kenyang. Gegas ia menuju ruang depan dan menghempaskan diri di sofa. Kepalanya berdenyut-denyut. Badannya menjadi panas-dingin; barangkali akan demam. Sungguh bayangan amplop itu masih lekat membayang.

Wangi kopi yang sedang dibuatkan istrinya dari dapur tidak lagi membuatnya bahagia menikmati malam. Ia berbaring lunglai di sofa dengan pikiran merayap ke segala penjuru. Sungguh ia merasa yakin segala apa yang diperbuatnya telah memenuhi kriteria sesuai yang menjadi dasar kebijakan daerah.

Jalan-jalan desa, ia tahu persis banyak yang berlubang hingga menyebabkan tidak lancarnya aktivitas masyarakat. Seorang warga terjatuh dua tahun lalu, terperosok masuk lubang yang tergenang air hujan hingga sepeda motornya terjungkal. Warga itu terpental ke depan dengan kepala terlebih dahulu mendarat di aspal, mengerang dengan sekujur wajah luka, dan lehernya patah.

Segala percepatan pembangunan bagi warga desa tersebut kini—atas aspirasi dan perjuangannya di pusat—telah dapat dinikmati. Jalan desa itu akhirnya menjadi mulus dengan aspal tebal yang saban sore warga selalu tampak asyik menikmatinya dengan joging dan bersepeda.

“Kurasa tidak ada yang salah atas segala apa yang kulakukan.”

Istrinya meletakkan cangkir berisi kopi panas di meja tamu.

“Jelas tidak ada yang salah. Segala harapan warga selalu Mas penuhi, bukan?”

Laki-laki itu tertawa asing, “Tetapi, mengapa harus ada amplop di laci mejaku?”

“Barangkali ucapan terima kasih? Atau apalah begitu?” balas istrinya.

Ia menggeleng, “Tidak! Tidak perlu hal itu.”

“Lantas?”

“Apakah kamu pernah didatangi seseorang?” tanya laki-laki itu penuh selidik.

“Tidak pernah. Tetapi, kemarin Bulik Jiyah berkata jembatan yang akan dibangun di atas sungai desa kita memiliki dana yang sangat besar. Aku lupa berapa jumlahnya. Pokoknya sampai tujuh keturunan tidak habis-habis!” kata istrinya sambil tertawa.

Ia ikut tertawa meski dengan menahan sakit kepala.

“Memang sangat besar. Rencana akan dibangun dalam waktu dekat. Suami Bulik Jiyah adalah kepala dinas di instansi terkait. Tentu perempuan itu tahu segala perencanaannya.”

“Kapan?”

“Akan dirapatkan dulu.”

Baca juga  Retorika Atlantis

***

Pagi ini jantungnya kembali berdetak kencang ketika memandang meja itu. Laci itu masih tertutup rapat. Ia sangat merasa amplop semalam yang dilihatnya berisi segepok uang. Kalau tidak itu, apakah berisi cokelat atau permen? Untuk apa? Ia tersenyum sinis dan tertawa sendiri mengingat istrinya berkata kalau yang dilihatnya itu sebuah amplop berisi cokelat dan permen.

Ia merenggangkan dasinya. Aneh, mengapa ia menjadi takut untuk duduk di kursi kerjanya sendiri? Tiba-tiba sesuatu menjalar meremaskan hatinya hingga membuat ngilu pikirannya. Segera ia memijit kening. Buru-buru membuka tas—ia tahu selalu menyediakan balsem—mengambil benda itu lalu cepat mengoleskannya di kening. Seketika aroma khas balsem menyeruak hidungnya.

Seketika gawainya berdering. Sebuah nomor asing menghubungi. Segera diangkatnya tetapi langsung mati. Tetapi beberapa menit kemudian sebuah pesan suara masuk, menggodanya untuk mendengar.

“Silakan buka laci Anda kembali.”

Ia terdiam. Matanya menatap tajam laci meja itu.

“Silakan nikmati semuanya,” pesan suara kedua masuk.

Laki-laki itu gelisah. Sungguh suara itu benar-benar tidak dikenalinya. Pelan-pelan ia mendekat ke meja. Badannya menggigil dan tangannya gemetar membuka. Pelan-pelan ia tarik gagang laci meja itu dan kembali jantungnya berdetak kencang! Amplop itu bertambah satu dengan bentuk yang sarat berisi yang dipastikannya berjumlah lebih banyak.

Seketika dibuangnya rasa takut. Ia raih kedua amplop itu dengan tangan gemetar. Meletakkan di meja. Memandangnya saksama dengan sekujur tubuh panas-dingin; seperti menghadap sebuah bom. Dibukanya ujung amplop—oh, ternyata tidak di lem—untuk melihat dengan pasti. Badannya masih gemetar. Ternyata benar-benar berisi uang! Dibukanya amplop yang satu lagi. Keringat dingin telah membasahi bajunya. Masih berisi uang dengan jumlah berkali-kali lipat!

Badannya bertambah menggigil. Mulutnya spontan mengucap-ucap istighfar. Sungguh sejauh ini yang selalu diingatnya adalah kehalalan segala bentuk rupa yang masuk ke dalam perut anak-anaknya, istrinya, dan ia sendiri. Sungguh! Ia tidak ingin menelan bara api di akhirat kelak. Ia pandangi kembali uang-uang bernilai tinggi itu. Dimasukkannya kembali dengan tangan gemetar uang itu dalam amplop. Meletakkan lagi ke dalam laci dan menutupkan laci itu pelan-pelan.

***

Tiang-tiang pancang untuk pondasi jembatan telah tampak. Warga desa tersenyum dengan harapan besar. Ketuk palu mengesahkan pembangunan tersebut, disambut baik oleh seluruh wakil rakyat dalam sidang paripurna itu. Termasuk dirinya yang selalu berpihak pada rakyat yang selalu berada di garis depan membela segala hak masyarakat.

Namun seiring waktu berjalan dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, pembangunan jembatan itu masih jauh panggang dari api. Tiang-tiang pancang sebagai pondasi itu tampak membisu terbengkalai, bahkan area hutan yang telah dibuka untuk menegakkan seluruh pondasi pancang jembatan itu pun kini telah kembali diserbu semak belukar yang semakin lama tambah rimbun dan nyaris menjadi hutan kembali. Warga desa dihinggap rasa kecewa dan ia sendiri terpuruk oleh keadaan yang mana kini tidak lagi duduk sebagai wakil rakyat di gedung itu.

Baca juga  Kata Tak Sampai

“Ya. Saya sudah mengundurkan diri,” katanya lirih ketika setiap kali ditanya warga.

Di halaman belakang rumahnya, ia tampak asyik menaburkan makanan ikan ke kolam sederhana yang dibuatnya. Setidaknya, beternak lele kecil-kecilan lebih afdol daripada harus menanggung sakit saat duduk di kursi gedung itu.

“Setidaknya Mas jangan undur diri, tho? Bukannya dulu mati-matian untuk bisa duduk di kursi legislatif!?” celetuk istrinya ketika tiba di mulut pintu sambil membawa kopi.

Ia menarik napas panjang, “Aku tidak pernah menyesal hal ini.”

“Tapi orang-orang tampak senang, bukan?”

“Karena aku masih memiliki hati nurani.”

Istrinya cemberut.

“Sayang jembatan itu tidak jadi. Padahal asyik kalau jadi,” timpal istrinya lagi.

“Aku juga tidak paham mengapa.”

“Apakah akan dilanjutkan lagi?”

Ia mengangkat bahu, “Hanya Tuhan yang tahu.”

“Apakah mereka senang dengan kemunduran Mas?”

“Mungkin senang.”

“Tapi Mas telah melawan!” tukas istrinya seketika, yang sungguh membuatnya terkejut. Di tatapnya wajah belahan jiwanya itu yang masih tampak cantik. Ia tahu perempuan ini bukanlah seorang yang bersekolah tinggi, namun sungguh ia merasa lapang ketika istrinya telah mengerti tentang keputusan yang telah diambilnya.

Kini seluruh bebannya pelan-pelan hilang. Tidak lagi hatinya seremuk kertas dan kepala yang berdenyut-denyut. Sungguh ia benar-benar tidak tahan terhadap amplop yang-selalu ia ceritakan kepada istrinya—semakin hari kian bertambah, hingga ada juga di dalam laci bagian bawah. ***

.

.

Selatpanjang, Juli 2022.

Riki Utomi. Kelahiran Pekanbaru 1984. Karya-karya pernah tersiar di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Indo Pos, Lampung Post, Banjarmasin Post, Serambi Indonesia, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Nusa Bali, Riau Pos, Batam Pos, Haluan Riau, Haluan Kepri, Tanjungpinang Pos, Metro Riau, Harian Vokal, Majalah Sabili, Majalah Sagang, Apajake, Elipsis, Inilah Koran, Radar Banyuwangi, Suarakrajan, Ngewiyak. Kini bermukim di Selatpanjang, Riau.

.

Laki-Laki yang Menggigil. Laki-Laki yang Menggigil. Laki-Laki yang Menggigil. Laki-Laki yang Menggigil. Laki-Laki yang Menggigil.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!