Esai, Pos Bali, Setyaningsih

Kasta Berbahasa

Kasta Berbahasa - Oleh Setyaningsih
5
(3)

Oleh Setyaningsih (Pos Bali, 06 Agustus 2022)

ADA dua kasus bahasa yang cukup menarik datang dari dua selebritas. Harian Suara Merdeka, 4 Juli 2019, mewartakan kebanggaan penyanyi Indonesia yang bermukim di Prancis sekaligus seorang ibu, Anggun C. Sasmi, karena putrinya, Kirana Cipta Montana Sasmi, bisa berbahasa Indonesia. Anggun mengatakan, “Anakku pintar lo (bicara bahasa Indonesia) dan itu bikin bangga banget.” Anggun membiasakan Kirana menggunakan bahasa Indonesia di rumah. Seperti saat meminta sesuatu, Kirana harus mengajukan dengan bahasa Indonesia.

Kasus kedua datang dari penyanyi dan aktris Maudy Ayunda yang tengah menikmati citra positif di dunia akademik. Harian Kompas, 24 April 2019, mengungkap bahwa Maudy tidak pandai menulis dalam bahasa Indonesia karena sejak kecil belajar di sekolah berpengantar bahasa Inggris. Menulis dalam bahasa Inggris sangat jauh lebih mudah. Katanya, “Kalau saya menulis dalam bahasa Indonesia, sepertinya kalimatnya berantakan parah.” Meski kabar lebih menekankan dalam bahasa tulis, sangat mungkin dan wajar kalau dalam bahasa tutur Maudy juga lebih bebas hambatan menggunakan bahasa Inggris.

Dalam kasus Anggun, ada kebanggaan bawaan sebagai seorang berdarah Indonesia meski kewarganegaraan berubah. Bahasa Indonesia ada sebagai pengingat, sekalipun bukan penghubung. Menghilangkan keniscayaan batas kuasa geografis dan mendekatkan akal kultural yang sangat disimbolkan dengan bahasa. Di sini, penggunakan bahasa tetap terbatas karena tidak ada ekologi bahasa yang menunjukkan kekerabatan sesama penutur bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sangat mungkin hanya dituturkan Kirana kepada Anggun di rumah (saja). Meski tidak akan menyokong keterhubungan secara internasional, Anggun merasa memiliki beban moral mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak.

Meski lebih fasih berbahasa Inggris, Maudy masih tetap warga negara Indonesia, muda serta berprestasi di dunia akademik yang sangat diartikan membanggakan Indonesia, menerbitkan buku anak (berbahasa Inggris) demi misi moral-literasi-pendidikan anak-anak Indonesia, dan tetap menjadikan Indonesia sebagai panggung utama bermusik. Bahasa asing justru telah membentuk mentalitas dari warga negara Dunia Ketiga menjadi bagian dari semangat keterhubungan global. Kurang nasionalis apa dia!

Baca juga  Sumur: Kisah di Sekitar Air

Kaum muda seperti Maudy tentu sudah sangat berjarak dari narasi nasionalisme bahasa di masa-masa menggeliatnya pergerakan nasional melawan pemerintah kolonial. Soedjatmoko (1996) mengatakan bahasa Indonesia terbukti menggalang perjuangan dan kekuatan antikolonialisme, menjadi bahasa politik sebagai pernyataan sikap merdeka, menjadi bahasa nasional untuk keperluan kehidupan bernegara, dan memperantarai pergaulan antarsuku. Terutama di masa 70-an, Soedjatmoko mengajukan suatu kondisi bahwa kemajuan dan pembangunan membutuhkan wadah informasi, bahasa Indonesia. Namun meski bahasa Indonesia telah memasuki wilayah-wilayah pedesaan lewat perantara sekolah, bahasa ibu tetap yang dituturkan di luar sekolah. Tantangannya apakah bahasa Indonesia atau bahasa daerah mampu menjawab tantangan perubahan sosial dan pemekaran potensi manusia-manusianya. Padahal, bahasa Indonesia masih perlu dialihkan, “dari bahasa kota menjadi bahasa rakyat desa, sesuai dengan tingkat kecendekiaan dan orientasi kebudayaan daerah pedesaan.”

Sekarang, bisa dianggap bahasa Indonesia tidak terlalu elitis lagi sebagai bahasa kota tapi juga bahasa desa. Namun, ada tantangan lain yang belum selesai. Bahasa Indonesia masih kalah dengan dominasi bahasa Inggris dalam penguasaan ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Bahasa Inggris sangat menempatkan para penutur (Indonesia) di posisi elite dengan perbincangan-perbincangan berkelas dan bertaraf internasional. Paling buruk, Indonesia sepertinya masih belum pulih dari hierarki bahasa masa kolonial ketika bahasa daerah menduduki strata paling rendah karena fungsinya lebih untuk perhubungan kultural-kekerabatan.

Bahasa bagi setiap orang secara personal, selalu menciptakan pergulatan dari dalam. Kita mengingat perempuan bernama Siti Sundari, nantinya menjadi istri M. Yamin, saat terlibat dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928. Siti Sundari mewakili Keputrian Indonesia Muda dan menandai komitmen penggunaan bahasa Indonesia menginduk pada bahasa Melayu. Di Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928, Siti Sundari melanjutkan propaganda penggunaan bahasa Melayu sebagai persatuan. Sundari yang biasanya menggunakan bahasa Belanda dan Jawa inggil berkeras penuh tekad berbicara dengan bahasa Melayu. Sundari melepas bahasa ibu sebagai bahasa asali sekaligus bahasa Belanda sebagai simbol intelektualitas (Tempo, 16-24 Agustus 2014).

Baca juga  Mikropolitik Kuntowijoyo

Bahasa benar-benar memiliki kasta penutur. Seperti kondisi saat ini, tidak bisa bahasa Inggris terutama, sangat memalukan dibandingkan tidak bisa bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Tuntutan ekonomi, pendidikan, pergaulan, politik, dan bahkan kemanusiaan mengharuskan lebih menguasai bahasa Inggris.

Jika kita mengakui posisi pemangku kebijakan bahasa negara, mereka mengajukan jargon yang dilematis juga: Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing. “Utamakan” dan “Bahasa Indonesia” ada di urutan pertama, tapi justru karena kebutuhan pendidikan, administrasi, dan juga teknologi, jargon “Kuasai” dan “Bahasa Asing” yang terkesan paling digdaya. Bahasa daerah yang dilestarikan tentu mengemban kekhawatiran terancam punah, layaknya flora atau fauna.

Propaganda berbahasa Indonesia sebagai gaya hidup justru diajukan oleh orang-orang terdidik yang telah tertungkus lumus dengan bahasa Inggris. Barangkali menjadi sebentuk nostalgia atau keisengan menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang menarik atau eksotis. Mereka secara tidak langsung mengajak orang-orang merenungkan kembali asyik berbahasa Indonesia, sementara bahasa Inggris tetap menduduki strata tertinggi sebagai bahasa pendidikan, diplomasi, hiburan, dan teknologi—berpotensi membawa penuturnya melanglang ke pelbagai tempat serta kepentingan. ***

.

Kasta Berbahasa. Kasta Berbahasa . Kasta Berbahasa .

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!