A Muttaqin, Cerpen, Koran Tempo

Makam Mbah Penceng

Makam Mbah Penceng - Cerpen A Muttaqin

Makam Mbah Penceng ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

3.7
(3)

Cerpen A Muttaqin (Koran Tempo, 11 September 2022)

SIANG itu, di ruang makan yang nyaris sempurna, menghadap nasi, daging, ikan, dan buah-buahan, ditemani istri yang sopan dan cekatan, Kiai Kurdi hampir menyelesaikan suapan terakhir tatkala gatal gaib tiba-tiba masuk ke pangkal hidungnya.

Spontan Kiai Kurdi mendongak dan memejamkan mata.

Sang istri yang tahu akan hal ini, seperti biasa, tak langsung menyela. Namun, tatkala mendapati Kiai Kurdi tetap pada posisi semula dalam waktu lumayan lama, ia jadi cemas juga. Istrinya mengira si kiai tengah memikirkan sesuatu yang berat. Mungkin nasib umat. Mungkin tabiat santri-santrinya yang kian gawat. Mungkin jumlah anggota jemaah yang kian merosot. Pamornya sebagai kiai sepuh luruh sejak calon bupati yang ia sokong ternyata jeblok. Lantaran hal inilah banyak orang yakin karamah dan kesaktian Kiai Kurdi telah rontok.

Tahu sesuatu yang serius tengah menimpa Kiai Kurdi, sang istri memberanikan bicara: “Tak baik membawa beban ke meja makan, Abah.”

Tentu saja Kiai Kurdi takjub atas tuturan istrinya itu. Selama ini, ia tahu sang istri wanita yang lugas saja, tak tertarik pada sanepan dan peribahasa. Tapi siang itu sungguh menjadi hari yang paling ganjil bagi mereka.

Huajjuikh…. Alhamdulillah,” ucap Kiai Kurdi.

Kiai Kurdi membuka mata. Hidung dan rongga dadanya lega. Namun kelegaan itu sekejap saja. Sebab, sebentar kemudian, hidung si kiai kembali gatal dan ledakan kecil kembali bergema. Kiai Kurdi memegang hidungnya. Terasa ada sesuatu yang tak beres, entah apa. Ia mencoba menduga-duga. Namun belum ada satu pun dugaan yang diyakini sebagai penyebab bersin bertubi-tubi itu. Kiai Kurdi bersin lagi, lagi, dan lagi.

Mendapati hal ini, sang istri menawarkan memanggil cah ndalem untuk mengantarkan ke dokter terdekat. Tapi Kiai Kurdi menggeleng. Ia tahu, memang ada yang tak beres dengan hidungnya, namun ia yakin itu bukan semata-mata perkara medis. Selama ini, Kiai Kurdi sungguh jeli dan tahu bila ada gejala tak wajar. Yang tidak diketahui si kiai adalah, tepat ketika gatal gaib itu menyusup ke hidungnya, di ujung kampung sana, orang-orang tengah menggali makam Mbah Penceng. Ketahuilah, makam itu memang sudah tidak lazim sejak semula. Tidak seperti umumnya, makam ini tidak menghadap ke utara, melainkan menceng ke barat. Mungkin karena itulah sejak dulu orang-orang di sana dengan gampang menyebutnya sebagai makam Mbah Penceng.

Belum jelas betul siapa sesungguhnya yang mendekam di makam itu. Dari tuturan turun-temurun, orang-orang percaya bahwa itu makam tiban. Selain tak bernama, umur makam itu sukar diterka. Melihat jenis batu nisannya, makam itu tampaknya dari zaman kuno. Atau paling tidak dari abad tatkala candi-candi dibangun dan gunung-gunung ditunggu para petapa. Namun semua sepakat makam itu memang keramat. Oleh sebab itu, sejak makam tersebut diketahui keberadaannya, warga mengubur orang-orang yang mati di sisi makam penceng ini sehingga tempat itu berkembang menjadi kuburan umum.

Baca juga  Cerita Penari untuk Kekasih

Siang itu, makam Mbah Penceng terpaksa dibongkar karena akhir-akhir ini kerap membuat gempar. Entah mengapa, seperti hidup saja, makam Mbah Penceng seolah-olah selalu resah. Makam itu kini tidak hanya miring, tapi kadang juga bergeser menghadap tepat ke barat, kadang menghadap ke timur, dan sesekali menghadap selatan. Pernah—kendati aku sungguh ragu akan ini—Warsiani dan Samsuni bahkan hampir mati berdiri karena melihat makam Mbah Penceng terbang seperti sepotong brownie raksasa dan menghadang mereka saat pulang dari pasar.

“Jangan teruskan, Cak Man. Nanti kualat,” kata Majeri.

“Kita tidak bisa terus-terusan dibikin penasaran,” jawab Mandoka.

“Dia orang suci. Tiap Jumat, kuburannya madep kiblat,” sela Majeri.

“Dia gentho, tiap Rabo menghadap ke Laut Kidul,” bantah Markakim.

“Ayo, kita keduk. Jika mayitnya utuh, dia wali. Jika tidak, boleh gentho, boleh maling, atau boleh apa saja,” kata Soman.

Merasa mendapat kebenaran dari mulut Soman, Mandoka kembali mengayunkan ganconya kuat-kuat. Disusul Soman yang juga mengangkat pacul penuh semangat. Mereka sungguh ingin membuktikan apa betul jenazah Mbah Penceng masih utuh, atau menjadi debu, atau menjelma menjadi sesuatu yang bisa memberi jawaban.

“Ambil linggis,” kata Soman. “Kita akan kerja lebih berat karena batu ini tak mungkin remuk dengan ganco.”

“Aneh. Kenapa ada batu sebesar ini? Padahal kita hanya mengeduk ulang,” kata Mandoka terheran-heran.

“Ambil linggis dan betel. Matahari mau slurup. Tak ada waktu berdebat,” ucap Markakim ketus.

Mutasam, yang sejak tadi duduk-duduk di ujung makam sambil merokok dan mengarang-ngarang cerita tentang Mbah Penceng untuk menarik perhatian, mendekat membawa linggis. Ia memamerkan linggisnya yang besar dan panjang seraya berkelakar: “Segini nih punya Markakim. Makanya dia jadi idola janda-janda.”

Hussst. Sini linggisnya sebelum kupacul mulutmu,” kata Markakim.

Markakim lalu mengancang linggis di atas batu besar itu dan mulai memukulnya dengan betel. Seperti tengah terjadi perang besar, bunyi besi beradu besi itu menimbulkan suara gaduh, mengusik ketenteraman jin dan codot yang bergelantungan di pohon jangkang di pojok makam. Tak hanya codot dan jin, bunyi besi itu juga membuat seekor gemek yang bersarang dekat makam Mbah Penceng terbang dan sekonyong-konyong hinggap di atas caping Markakim.

“Malaikat datang. Berhenti, Cak Kim!” kata Majeri.

Soman, yang berada tepat di sisi Markakim, langsung menyambar gemek itu dan melemparnya ke mulut Majeri.

Cangkem-mu. Mana ada malaikat berwujud gemek begini? Ha-ha-ha,” kata Soman yang kemudian disusul tawa semua hadirin di kuburan.

Kendati demikian, Markakim terus bekerja dan tampaknya tak terpengaruh oleh gemek itu. Ia tetap memukulkan betel ke linggis tanpa henti dan ingin segera menyudahi teka-teki. Berkat pukulannya yang kuat dan jitu, batu yang menghalangi pengedukan itu runtuh. Markakim lega. Ia berdoa agar tak ada lagi yang merintangi pengedukan ini. Tanpa banyak cingcong, Markakim langsung mengambil sekop dan menyingkirkan batu-batu itu ke tepi. Bergantian dengan Mandoka, ia mengeduk makam itu sampai paculnya menghantam papan pembatas antara tanah dan jenazah.

Baca juga  Mata yang Menusuk

“Papannya masih utuh, Cak Kim,” kata Mandoka seraya meletakkan paculnya.

Markakim tak bersuara. Ia langsung membersihkan tanah yang menempel di papan itu dan menariknya satu per satu. Dengan hati-hati, Mandoka dan Majeri membantu membawa papan-papan itu ke tepi. Sementara itu, Markakim menyibak tanah di dekat papan itu dengan waspada. Sebab, ia tahu jenazah Mbah Penceng telah dekat dengan tangannya.

“Itu kafannya,” tunjuk Mandoka setelah melihat kain putih tersangkut tangan Markakim. Bau wangi mulai menyeruak ke sekitar makam.

“Gusti, kenanga, mawar, dan melatinya masih segar dan wangi,” ucap Soman.

“Lihat, kafannya juga tetap bersih,” tambah Mandoka.

“Ayo, angkat jenazahnya,” kata Markakim.

Mencium wangi segar menyeruak ke sekitar, orang-orang yang sejak tadi duduk-duduk dan merokok bersama Mutasam ikut mendekat. Dengan ketakjuban yang sukar diucapkan, mereka semua melongo melihat jenazah Mbah Penceng tetap utuh. Saat mengangkat jenazah itu, Markakim dan Soman juga tak mengerti mengapa jenazah Mbah Penceng sangat ringan seolah-olah mereka mengangkat kafan kosong. Jenazah itu kemudian mereka letakkan di atas rumput yang rata di sebelah sana.

Orang-orang yang mengelilingi jenazah itu pun mulai gremanggremeng.”

“Betul-betul keramat. Semuanya masih utuh,” kata Mutasam.

“Buka kafannya!” seru Mandoka.

“Jangan. Wajahnya telah terbuka dan kita sama tahu, Mbah Penceng tetap utuh. Lihat, cahaya seperti memancar dari wajahnya,” tegas Majeri.

“Lalu bagaimana? Apa kita kubur lagi?” tanya Soman.

“Kita buang saja ke laut,” usul Markakim.

Semprul. Jangan sembrono!” seru Majeri.

“Jika kita kubur lagi, orang-orang makin yakin Mbah Penceng ini wali. Bisa jadi bid’ah nanti,” bantah Markakim.

“Malah bagus. Kampung kita akan terkenal. Bila perlu, kita umumkan ke mana-mana. Ini bisa jadi berkah. Kampung kita akan didatangi ribuan peziarah,” tutur Kandam, si lurah yang baru datang bersama Bayan, Modin, dan tokoh lainnya.

“Ya, kubur lagi. Jangan membuat fitnah, jang,” kata Kiai Kurdi, terpotong bersin yang tak tertahan lagi.

Rupanya, Kiai Kurdi juga telah datang beserta rombongan Pak Lurah, Bayan dan Modin. Saat mendengar warga nekat mengeduk makam Mbah Penceng, Pak Lurah langsung mengutus Modin ke kediaman kiai ini. Kendati tak sekarismatik dulu lagi, Pak Lurah yakin, hanya Kiai Kurdi yang bisa menyelesaikan perihal makam yang pelik ini.

Melihat wajah Mbah Penceng yang terang dan bersih, Kiai Kurdi seolah-olah tengah menyaksikan mukjizat akhir zaman. Ia sempat berdecak kecil, namun decaknya tercekat oleh bersin yang sungguh tak terampuni. Di depan jenazah Mbah Penceng, Kiai Kurdi mengusap hidungnya dan bersin lagi, mengusap hidungnya dan bersin lagi. Meski demikian, tak ada yang berani bertanya, mengapa si kiai bersin terus-terusan. Hanya Mutasam, si tengil yang lidahnya tetap usil: “Lihat, bersin itu pelan-pelan telah mengeluarkan seluruh kesaktian Kiai Kurdi,” bisiknya kepada Markakim.

Baca juga  Pembunuhan

Tak menggubris mulut Mutasam, Markakim, Soman, dan Mandoka langsung mengangkat jenazah Mbah Penceng dan mengembalikan ke liangnya semula.

“Apa betul kita kubur lagi, Yai?” tanya Soman.

“Kubur!” jawab Kiai Kurdi.

Apa yang terjadi selanjutnya sungguh ajaib. Soman bahkan hampir pingsan setelah melepas tanah dari sekopnya. Sebab, sekonyong-konyong makam Mbah Penceng melengos ke timur. Di sisi Soman, Markakim, yang juga terkejut, langsung melompat dan menoleh ke arah Kiai Kurdi, seperti hendak meminta penjelasan. Tapi Kiai Kurdi hanya bersin dan berseru singkat sekali:

“Kubur!”

Markakim langsung mengayunkan sekop dan mengeruk tanah di bawah kakinya. Sekali lagi, saat tanah itu tengah dilempar ke liang makam Mbah Penceng, liang itu dengan cepat mengelak ke selatan. Tak mengerti dengan ini, Markakim menatap Kiai Kurdi sekali lagi. Mencoba tetap tenang, si kiai kembali mengulang seruannya:

“Kubur!”

Mutasam dan Majeri kemudian mendekat membawa sekop untuk membantu Markakim. Namun keduanya hanya plonga-plongo saat sekop melempar tanah dan liang makam itu kembali mengelak dengan sempurna.

Mendapati hal ini, bulu-bulu kuduk Kiai Kurdi berdiri.

“Sungguh makammu menjadi bukti maqom-mu. Sebab, para wali sebetulnya tak pernah mati,” terdengar Kiai Kurdi gremang-gremeng sendiri.

Sekali lagi, Markakim dan Majeri mencoba menutup makam itu dengan tanah, namun selalu meleset dan salah arah. Ingin mengatasi hal ini, Kiai Kurdi pun mendekati jenazah Mbah Penceng. Di hadapan jenazah Mbah Penceng, Kiai Kurdi mengucap sabda Nabi yang seolah-olah digumamkan ke telinganya sendiri: “Ketika hidup, manusia tidur. Ketika mati, manusia bangun.”

Melihat Kiai Kurdi bergumam sendiri, orang-orang pun mendekati.

“Dia gentho apa wali, Yai?” tanya Markakim dan Soman hampir bersamaan.

“Betul, Yai. Beri fatwa, supaya…. Supaya kami….” kata Modin, tak tahu harus berkata apa lagi.

Ragu-ragu namun pasti, Kiai Kurdi menjawab: “Gentho!”

Sejenak hening. Lalu, terdengar bersin Kiai Kurdi, keras sekali. ***

.

.

Perajurit Kulon, 2022

A Muttaqin menulis puisi dan cerita pendek. Buku puisinya yang telah terbit adalah Pembuangan Phoenix (2010) dan Tetralogi Kerucut (2014). Ia menggunakan sebagian waktunya di Surabaya dan sebagian lain di Mojokerto, Jawa Timur.

.

.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!