Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 09 Februari 1992)
ALINA tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan sepotong senja—dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap? Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu per satu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan kepadamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu, akan kuceritakan bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kususupkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat kepadamu. “Barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya kepadamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena aku tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai tempat kita akan bercakap-cakap memberi memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi.
Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua ini telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap celah dalam mobilku, sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko, dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempat jalan. “Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”
***
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota. Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A harap berhenti. Ini polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada peraturan yang melarangnya, tapi berdasarkan….”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kulibas dia sampai terpental keluar pagar di tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru. Namun aku lebih tahu seluk beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bermain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan-layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar [1]. Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak mengempas ke pantai. Hanya kepadamulah senja ini kuserahkan Alina.
Namun Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kota mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu ke setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua, tiang serta temali [2]. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,” katanya tenang, “di situ kamu aman.”
Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Baunya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu. Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.
“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong, tapi tak cukup untuk melihatku. Kuraba senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibakkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, tetapi makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagiaan. Aku berjalan terus melangkahi mereka dan mencoba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada aku harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung gorong-gorong, di tempat cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat yang persis sama dengan tempat aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus: ombak, angin, dan kepak burung—tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama, tapi pasti bukan tempat yang sama. Tempatnya saja di dalam gorong-gorong [3].
Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasar lautan yang bening dengan lidah ombak yang mendesis-desis. Tak ada cottage, tak ada barbeque, tak ada marina —semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?
Sambil duduk di tepi pantai, aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang berkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya berkepak dan berkepak terus di sana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untuk apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? [4] Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih [5].
Sampai di atas, setelah melewati kelelawar bergelantungan, anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi berhelikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di pasar swalayan. Tampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju ke pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari, laut, pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilahi. Sepanjang jalan-layang, sepanjang jalan tol kutancap gas dengan kecepatan penuh….
***
ALINA kekasihku, pacarku, wanitaku,
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang “asli” ini untukmu, lewat pos. Aku ingin kamu mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya—bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita kepada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap. Mereka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, tetapi semua itu tiada lagi karena seseorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis.
Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas, hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari suatu tempat yang paling sunyi di dunia. ***
.
.
Karangbolong-Jakarta, 1991
.
Catatan:
[1] Adegan yang selalu terdapat dalam film-film action Hollywood. Kadar oktan bensin sebetulnya tidak memungkinkannya terbakar kalau hanya terguling-guling.
[2] Dari bait-bait sajak Chairil Anwar, “Senja di Pelabuhan Kecil”: Ini kali tidak ada yang mencari cinta/di antara gudang, rumah tua, pada cerita/tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut (1946).
[3] Dalam cerpen Danarto, Paris Nostradamus (1988), ada kota yang persis Paris di bawah tanah kota Paris di Prancis.
[4] Untuk siapakah bunga itu mekar di hutan ini kalau tak ada seorang pun yang melihatnya? Kalimat Sardono W. Kusumo di tengah hutan Apo Kayan, Kalimantan Timur, 1981.
[5] Dari baris sajak Subagio Sastrowardoyo, “Manusia Pertama di Angkasa Luar”: Berilah aku satu kata puisi/daripada seribu rumus ilmu penuh janji/yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi/yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi/Tetapi aku telah sampai pada tepi/Dari mana aku tak mungkin kembali (1957).
.
.
“Sepotong Senja untuk Pacarku” diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Michael H Bodden sebagai “A Slice of Sunset for My Sweetheart” dalam Seno Gumira Ajidarma, Jakarta at A Certain Point in Time: Fiction, Essays and a Play from the Post-Suharto Era in Indonesia (2002).
.
Sepotong Senja untuk Pacarku. Sepotong Senja untuk Pacarku. Sepotong Senja untuk Pacarku. Sepotong Senja untuk Pacarku. Sepotong Senja untuk Pacarku. Sepotong Senja untuk Pacarku.
P. P. Pamungkas
Menurutku cerpen ini indah sekali saat dibaca. Harusnya banyak orang di masa sekarang yang membacanya.