Cerpen, Kompas, Seno Gumira Ajidarma

Kriiiingngng!!!

Kriiiingngng!!! - Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Kriiiingngng!!! ilustrasi Ipong Purnama Shidi/Kompas

4.7
(13)

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 11 Maret 1990)

KRIIIINGNGNG!

Sudah lebih dari lima menit telepon itu berbunyi. Tidak ada yang mengangkatnya. Orang yang mestinya duduk di sana mungkin tidak masuk. Tak ada seorang pun yang mau mengangkatnya. Setiap orang mempunyai pesawat telepon di mejanya. Setiap orang tenggelam dalam kesibukannya sendiri.

Kriiiingngng!

Sudah lebih dari lima belas menit telepon itu berbunyi. Belum ada seorang pun yang mengangkatnya. Seseorang yang agak jauh dari telepon itu mengangkat wajahnya dari timbunan kertas, melirik dari balik kacamatanya yang melorot ke bawah.

“Heh, buat siapa tuh? Angkat dong!”

Di kiri kanan meja yang teleponnya masih berdering itu juga ada orang. Mereka saling berpandangan. Namun tak ada seorang pun yang beranjak. Yang satu sedang memijit-mijit kalkulator. Yang satu lagi sedang menuliskan rekaman percakapan. Di meja depannya juga ada orang lain lagi, sedang menelepon dengan serius.

Kriiiingngng!

Sudah setengah jam telepon itu berbunyi. Ia bagaikan makhluk bernyawa yang menjerit-jerit. Orang-orang di kiri, kanan, belakang, maupun depannya cuma kadang-kadang saja melirik, tetapi segera ditelan pekerjaan masing-masing. Orang-orang yang kebetulan lewat juga cuma menoleh, sekadar ingin tahu apa yang didengar oleh telinga. Seseorang yang agak jauh tadi membuka kacamatanya.

“Eh, Mas, angkat dong! Sudah dari tadi tuh! Siapa tahu penting!”

“Enak saja kamu main perintah! Angkat sendiri kalau mau!”

“Aku baru tanggung, tinggal sedikit lagi, ini mesti cepat!”

“Aku juga mesti cepat, ini penting, sudah ditunggu dari kemarin.”

“Kalau begitu kamu saja yang lagi nganggur. Tolong dong Mbak, diterima dulu. Sudah dari tadi, siapa tau ada apa-apa!”

Nganggur? Saya sedang berpikir, sedang menyusun strategi marketing, sebentar lagi ada meeting.”

“Kamu Dik, tolong….”

Namun yang ditanya cuma mengangkat bahu dengan kedua tangan penuh kertas, sedangkan mulutnya menjepit spidol.

“Semuanya sibuk? Ya, sudahlah, aku juga baru sibuk,” gumamnya sendiri.

Dering telepon juga terdengar di sudut-sudut lain, tetapi selalu ada yang mengangkat, karena ada orangnya.

***

Kriiiingngng!

Sudah lima jam telepon itu berbunyi terus-menerus. Seperti makhluk bernyawa yang ingin diperhatikan, ia bahkan sudah meloncat-loncat di atas meja itu. Orang-orang tetap tidak peduli. Pernah sekali waktu telepon itu jatuh ke bawah, sehingga gagangnya lepas. Pesuruh yang lewat memang segera mengembalikannya ke atas meja. Ketika gagangnya terpasang telepon itu langsung berbunyi. Namun pesuruh itu pun tidak mengangkatnya, ia meminta tanda tangan kepada seseorang, lantas segera bergegas ke luar ruangan.

Kriiiingngng!

“Gila! Diangkat dong! Kelihatannya gawat tuh!”

“Angkat sendiri! Aku juga baru gawat!”

Cuma sebentar.”

Baca juga  Daun Jendela yang Menghadap ke Utara

“Cuma sebentar? Kamu tahu pasti akan sebentar?”

Lho, bilang saja orangnya tidak ada, supaya berhenti. Kasihan. Sudah beberapa jam ini?”

“Kalau dia tanya kenapa orangnya tidak ada? Kalau dia tanya di mana rumahnya? Kalau dia tanya kemarin pergi dengan siapa? Kalau dia tanya macam-macam lagi dan titip pesan? Kalau pesanya panjang, menulisnya sulit, atau susah diingat-ingat, bagaimana? Aku sibuk. Aku ada urusan penting!”

“Jangan begitu, paling-paling cuma sebentar.”

“Kenapa tidak kamu saja sih, daripada nyuruh-nyuruh orang?”

“Kamu, kan, lebih dekat.”

“Bukan cuma aku yang lebih dekat, kenapa harus aku?”

Kantor itu jadi ribut. Setiap orang mengemukakan alasannya. Tak ada seorang pun yang mengangkat telepon itu.

“Kamu kenal siapa orangnya yang duduk di situ?”

“Tidak.”

Lho, dia, kan, sudah lama?”

“Tidak, aku tidak tahu siapa dia, meskipun dia sudah lama. Aku juga tidak tahu siapa kamu. Kamu juga tidak tahu siapa aku. Pekerjaanku selalu beres tanpa harus mengenal siapa dia atau kamu. Buat apa aku tahu siapa dia?”

“Dia, kan, di sebelah kamu!”

“Dia juga di depan kamu!”

***

Kriiiingngng!

Sampai kantor kosong, tutup, dan semua lampu dimatikan, telepon itu masih berdering. Tak ada seorang pun dari seratus orang di ruangan itu mengangkatnya. Dalam kegelapan ruangan yang sunyi telepon itu bagai memanggil-manggil dari dunia yang jauh. Namun siapa yang akan mengangkatnya? Di dalam ruangan hanya tikus-tikus berlarian kian ke mari. Mereka naik kursi, naik meja, ke luar masuk laci-laci yang lupa dikunci. Mereka menelusup di antara kertas, membaca surat-surat penting, menciumi foto-foto, dan melahap makanan kecil yang lupa disembunyikan. Sebagian dari mereka malah menyalakan komputer lantas menancap video-game. Tikus-tikus itu main sambil mencericit-cericit kegirangan.

Kriiiingngng!

Ah, siapa sih yang menelepon terus-terusan dari tadi? Kalau dia di telepon umum, sudah berapa koin dia habiskan? Kalau teleponnya pinjam, apa tidak malu? Kalau teleponnya sendiri, apa tidak bosan? Ada apa sih? Tikus-tikus mencericit, sesekali mereka mengendus-endus telepon yang berbunyi terus itu, berdering nyaring di kegelapan malam. Satpam yang lewat juga tidak peduli. Pasti orang gila, pikirnya, pasti bukan untuk aku.

Telepon itu terletak di sebuah ruangan di lantai 20. Gedung ini tingginya 30 tingkat. Di lantai teratas ada restoran, di atapnya ada kolam renang, kalau malam dari bawah orang masih melihat tanda-tanda kehidupan. Belum ada yang pernah bunuh diri dari atas sana. Namun di lantai-lantai lampu ruangannya padam. Kalau ada yang bekerja lembur, satu lantai menyala semua, itulah bagian-bagian yang terang. Selalu ada yang terang di gedung-gedung bertingkat. Apa sih yang ingin dicapai orang-orang yang kerja lembur?

Baca juga  Istri Sempurna

Kriiiingngng!

Keesokan harinya, ketika orang-orang masuk dengan perasaan takut terlambat, telepon itu masih berbunyi. Yang menempati meja itu juga belum kelihatan. Para pegawai yang tidak saling kenal tentu tak tahu menahu ia sakit, cuti, atau keluar. Kepala mereka penuh rencana.

Waktu adalah uang. Jangan melakukan tindakan yang sudah pasti sia-sia. Hidup adalah memburu nasib baik. Keberuntungan adalah segala-galanya.

Kriiiingngng!

“Diangkat dong, sudah dari kemarin.”

Ngapain? Angkat saja sendiri, pasti bukan buat aku.”

“Pasti tidak ada urusannya denganku. Aku punya pesawat sendiri.”

“Bilang sama operator, tidak usah disambungkan pesawat ini.”

“Tidak bisa, sudah diatur komputer.”

“Kan, bisa disetel lagi?”

“Tidak adil dong, itu bukan urusan kita. Biarkan saja. Nanti kalau orangnya datang paling-paling juga diangkat.”

“Tapi kita tidak pernah tahu dia akan datang atau tidak. Mungkin ia sudah keluar.”

“Itu pun bukan urusan kita, setidaknya bukan urusanku.”

Kriiiingngng!

Demikianlah sepanjang hari itu telepon terus-menerus berbunyi. Setiap kali selalu ada yang menganjurkan supaya telepon itu diangkat, tetapi tidak ada yang bersedia mengangkatnya. Setiap orang yang punya pikiran untuk mengangkat telepon itu pun ragu-ragu, takut mencampuri urusan orang lain, takut urusannya jadi berkepanjangan, apalagi dirinya selalu punya urusan yang mendesak dan harus diselesaikan segera.

***

Kriiiingngng!

Setelah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, telepon itu masih berdering nyaring. Para pegawai kantoran itu ada yang sudah keluar, pindah ke tempat lain, termasuk yang ada di dekat-dekat telepon. Pegawai yang baru masuk, dan mendapat tempat di dekat telepon, lebih tak tahu-menahu dan tak mau tahu. Setiap orang hanya berpikir menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya dan jangan membuat kesalahan yang paling kecil sekali pun.

Bumi terus berputar. Telepon itu juga terus berdering. Matahari dan rembulan silih berganti menyinari gedung itu, sampai bertahun-tahun kemudian, ketika kantor itu pindah dan ruangannya disewa perusahaan baru, telepon itu masih saja berdering.

“Bagaimana Pak? Diputuskan saja kabelnya?”

“Jangan, ini pasti penting, biarkan saja sampai berhenti sendiri, siapa tahu orang yang harus menerimanya teringat ia harus mengangkat telepon ini di sini.”

“Meja ini, Pak?”

“Meja itu boleh dipakai, taruh saja teleponnya di lantai.”

Dan hari-hari terus berlalu. Perusahaan satu berganti perusahaan lain, tapi tak ada seorang pun yang berusaha mengangkat telepon itu. Gedung itu telah mengalami renovasi, restorannya telah berganti nama dan di kiri-kanannya tumbuh gedung-gedung lain. Di dalam gedung-gedung itu berjibunlah manusia-manusia pekerja yang ingin hidup sebaik-baiknya, jangan sampai merugikan orang lain, apalagi dirinya sendiri.

Kriiiingngng!

Tiga generasi telah berlalu semenjak telepon itu berdering terus-menerus tanpa seorang pun yang mengangkatnya. Bumi sudah bertambah tua. Ruangan kantor itu sudah aus, tak ada lagi perusahaan yang mau menyewa. Lantainya berdebu, penuh sarang laba-laba. Dari eternit air menetes-netes, WC-nya luber, kecoak beterbangan, dan baunya sungguh celaka.

Baca juga  Insiden Patok Kayu

Di lantai, telepon itu masih menjerit-jerit, setiap kali berdering debu di sekitarnya beterbangan. Gedung tua itu sudah lumutan dan diselimuti akar-akaran. Tumbuh-tumbuhan yang menjalar menebus lantai, jendela, maupun pintu-pintu. Tiang-tiang menjadi hijau, debu menumpuk di atap dan kiri kanan gedung.

Akhirnya gedung itu pun menjadi sebuah gunung. Lantai-lantainya bagaikan lorong-lorong gua yang gelap, penuh dengan ular berbisa.

Kriiiingngng!

***

Zaman telah berubah. Suatu ketika sejumlah orang menyuruk-nyuruk masuk ke gua itu. Pada topi mereka ada lampu sorot, dan punggung mereka dibebani ransel penuh dengan alat-alat penelitian. Mereka anak-anak muda yang bersemangat dan tampak besar keinginannya untuk menikmati hidup. Mereka merayap-rayap sambil bercakap-cakap dan hampir selalu tertawa-tawa, suara mereka berpantulan di dinding-dinding gua yang masih juga menetes-neteskan air.

Kriiiingngng!

“Apa itu?”

Kriiiingngng!

“Telepon!”

Kriiiingngng!

Mereka telah berkerumun di sekeliling telepon itu. Bunyinya sudah parau dan agak serak, bagaikan bunyi-bunyi dari zaman purbakala.

“Ayo angkat!”

“Ah, ini pasti bukan untuk kita.”

“Alaaahh, cuek saja, angkat!”

“Apa kita tidak perlu lapor dulu?”

“Sudahlah, angkat!”

“Ya, angkat!”

“Angkat!”

Salah seseorang mengangkat telepon itu.

“Hallo?”

“Hallo! Bagaimana sih ini? Kenapa baru diangkat sekarang? Sudah dua ratus tahun kami menelepon! Tidak diangkat-angkat juga! Bagaimana sih? Katanya mau membela rakyat kecil! Kami ini buta hukum, kami tidak tahu prosedur, makanya kami menelepon! Dulu mula-mula kakek buyut saya yang menelepon, tidak diangkat-angkat sampai beliau meninggal. Lantas dilanjutkan kakek saya, begitu juga tidak ada yang mengangkat, padahal nadanya bisa menerima lho! Setelah kakek saya meninggal, dilanjutkan ayah saya. Sama saja. Sampai ayah saya meninggal tidak ada yang mengangkat. Nomornya sudah betul lho, cocok, seperti di buku telepon. Kami tidak tahu cara lain, kami cuma rakyat kecil, kami ingin bertanya, kami merasa diperlakukan tidak adil. Kenapa baru sekarang telepon ini diangkat, ketika saya sudah hampir mati? Kami tidak minta apa-apa, kami hanya minta keadilan, kami….”

Klak!

Telepon itu ditutup kembali oleh yang mengangkat tadi.

Kok ditutup?”

“Ah, orang gila, iseng, kurang kerjaan. Tinggal saja.”

Setelah mereka pergi, telepon itu berbunyi lagi.

Kriiingngng!!!

Apakah Tuhan mendengarnya? ***

.

.

Jakarta 1990

.

.

Loading

Average rating 4.7 / 5. Vote count: 13

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!