Di atas jembatan kecil aku berdiri, setengah bersandar ke pagarnya yang rendah, diam memandang aliran lemah Cikapundung. Apa yang dia katakan? Tidak ada. Aku malah melihat sesobek hatiku melayang ke permukaannya. Cabikan yang meninggalkan luka sayatan merah dan segaris darah. Terapung merah di atas hitam.
Orang-orang lalu-lalang tanpa melirik sungai yang malas dan mesum. Dulu kukenal ia cantik memikat, meliuk-liuk genit bagai gadis remaja. Pada pagi hari ketika bola emas memanjat langit dengan cahaya pertama yang paling bening, ia memantulkan triliunan tembakan sinarnya sehingga jutaan berlian berpendaran di permukaannya.
Sekarang apa? Bagai naga setengah lumpuh, dia hanya dapat merayap seraya meratap, sedang kota terus tumbuh, dipadati manusia. Dia kehilangan rumpun bambu dan anak-anak, celoteh perawan dan ibu-ibu yang mandi atau mencuci baju.
Sebagian kisah cintaku terekam di sini. Mungkin dia mengulum senyum maklum saat menyaksikan aku untuk pertama kalinya merayu seorang gadis teman sekolah dengan sikap waspada karena khawatir tertangkap basah orang-orang yang berjalan ke sawah.
Cinta monyet memang aneh. Tidak lebih lama daripada gerimis sesaat, yang rela sirna jejaknya dihapus terik matahari. Setelah girang sejenak mengecap cinta yang naif, aku termangu murung di batu kali, mengenal rasa kesepian buat pertama kali. Sesudah itu, banyaklah nama yang datang dan pergi.
Keremajaanku tergerus dengan lekas oleh dunia nyata yang tak kenal ampun. Setamat sekolah menengah aku merambah Ibu Kota. Aku bahkan sempat lupa kepada sebatang sungai yang pernah kuakrabi. Mungkin karena yang kulihat tiap hari di Ibu Kota cuma kali-kali berlumpur dan berbau busuk.
Dulu aku suka berlama-lama memandang Cikapundung sambil duduk di batu, sedang Ibu tak jemu-jemu mengingatkan aku supaya tidak sembrono berenang. ”Awas, kamu jangan nyemplung sendirian!” kata beliau dalam Sunda yang mengalun merdu. Tidak pernah Ibu membentak, sekalipun tengah marah.
Kelembutan kasih sayang Ibu kemudian tergantikan dengan ekspresi dingin sekaligus temperamental kota-kota pada masa dewasaku. Tidak pernah aku tinggal lama di satu kota. Ibu Kota merupakan tempat aku menumpang hidup paling lama hingga akhirnya pulang ke tepi Cikapundung.
Waktu memiliki otoritas tak terbendung untuk mengubah segala hal, termasuk sungai kecintaanku. Ketika pertama kali memandang dia kembali, bermunculan potret-potret lama dari laci ingatan; wajah-wajah yang pernah kutaksir dan kucium dengan gugup di sini dan nama-nama yang kuukir di salah satu batang bambunya.
Sungai ini tampak asing sekarang. Aku tak menuntut dia sebening dulu, tetapi bahkan cokelat pun tidak! Hitam. Hitam pekat. Tak bisa lagi aku becermin di permukaannya: kesempatan untuk memain-mainkan mimik muka dan mengacak-acak rambut meniru rocker yang diam-diam kugandrungi. Di rumah aku tak berani, sebab Bapak mendidik aku dengan keras.
Dengarlah, wahai sungaiku. Bukan hanya engkau. Aku pun telah berubah. Setidaknya, aku bukan lagi kanak-kanak yang pernah kaukenal. Bukan pula remaja tanggung yang canggung dalam gelora hasrat membuncah. Aku datang dengan punggung yang mulai bungkuk. Apa yang kubawa? Setumpuk cerita.
Lama menempuh jalan kehidupan, aku berhasil mengumpulkan tawa dan tangis dalam satu paket. Apa boleh buat, anak-anakku adalah anak-anak panah yang tidak sabaran, ingin buru-buru melesat dari busur. Seperti dulu kutinggalkan Ibu untuk mengembara, mereka pergi dan mengembalikan kesunyian ke ruang batinku secepat mereka tumbuh dewasa.
Si sulung dan si bungsu terbang ke negeri-negeri jauh. Kepergian ibu mereka tak lama kemudian menyempurnakan kesendirianku. Sejenak terbaring di ranjang rumah sakit, hidupnya pun rampung. Parasnya yang beku menyembulkan kekosongan yang aneh di dalam ruangan sehingga aku beringsut ke teras, memandang taman. Kemudian kulihat kupu-kupu kuning terbang sendirian menyinggahi tiga kuntum mawar. Mataku panas dan melembab. Setelah itu tidak pernah lagi aku menangisi kehilangan-kehilanganku, yang terdahulu dan yang kemudian.
Sehabis pukulan bertubi-tubi, kutengok dunia masa kecilku. Sungguh, aku tak terkejut mendapati sungaiku merana. Bukan hanya dia yang habis-habisan diperkosa manusia. Ciliwung, Cisadane, Citarum, serta seribu sungai lain hanya bisa melata lungkrah. Air jernih dibalas dengan limbah.
Wahai Cikapundung, inilah aku. Masih ingatkah engkau pada si ujang yang berlomba berenang dengan kawan-kawannya? Si ujang yang duduk seharian di bebatuan setelah cintanya ditolak si Euis yang punya lesung pipi? Dulu aku pergi tanpa pamit; kini aku datang menuntut penyambutan. Maafkan aku. Bisakah kita bersahabat kembali?
Mungkin persahabatan kita tidak bakal semesra dulu. Tidak bisa lagi aku berendam di dalam sejuk-jernih airmu. Bahkan kini aku menjaga jarak sebab engkau jorok dan bau bacin. Aku sendiri tak setangkas dan seceria dulu. Siapa engkau, siapa aku: satu sama lain telah menjadi asing.
Ah, tahukah engkau apa yang kuraih selama memintal benang kehidupanku? Kudapati cinta yang hebat, sekaligus rapuh; dan kini aku kembali sebagaimana aku didatangkan ke dunia. Semua yang ada pada diriku dilucuti kembali. Orang-orang tercinta terbang menjangkau takdir masing-masing. Selanjutnya, hanya surat-surat yang mengabarkan penghidupan mereka.
Tak pernah kuturuti permintaan mereka agar aku membeli telepon seluler atau belajar menggunakan internet. Untuk apa mengetik pada komputer? Sekadar surat-menyurat dapat kulakukan dengan pena dan kertas. Mereka bercerita tentang sistem komunikasi bernama Skype. Kata mereka, itu cara paling murah bagi komunikasi jarak jauh. Aku membalas surat-surat mereka sesekali saja. Kupikir, mereka bisa menelepon ke rumah kapan saja, asal tahu waktu supaya hemat.
Pukulan kedua datang segera setelah ingatanku pada kupu-kupu di taman rumah sakit memudar: dari Boston, tanggal 13 September 2001. Di ujung telepon kudengar suara putriku emosional. Dia katakan, suaminya sedang berada di salah satu menara kembar World Trade Center saat pesawat-pesawat gila itu menabrak sepasang gedung tersebut satu demi satu dua hari sebelumnya.
Anehnya, dia menolak pulang ketika kuminta. Aku sedih, lalu marah, namun perasaan itu tidak berguna. Maka aku pasrah dengan pilihan hidupnya dan mungkin pula situasi yang tidak bisa kupahami seutuhnya.
Sedangkan si bungsu jarang berkabar. Dia rupanya mewarisi jenis kehidupanku: tidak pernah menetap lama di satu tempat. Seperti juga aku, dia malas menulis surat. Hanya kartu-kartu bergambar yang dikirimkan. Dia tidak segigih kakaknya meminta aku agar menggunakan Skype. Terakhir ia menelepon dari India. ”Mohon restu Papa, saya mau ke Tibet,” katanya. Aneh, tidak biasanya ia meminta restu segala. Suaranya berat tiada nada riangnya. Ada apa?
”Tidak ada apa-apa. Cuma minta doa restu, besok saya berangkat ke Potala.”
Aku tidak bertanya apa yang dia cari di kota seperti itu. Apakah gerangan yang dicari seorang petualang? Dapatkah dirumuskan? Aku juga dulu begitu.
”Baiklah.”
Aku tidak bertanya kapankah dia akan pulang. Kukira, seorang pengembara baru akan pulang kalau dia merasa sudah waktunya pulang. Aku tak pernah bertanya bagaimana dia memenuhi kebutuhan pribadinya. Aku yakin dia dapat melakukan apa saja dengan keprigelan tangannya. Sejak kecil ia terampil melukis batik pada permukaan apa saja: kertas, kain, batu, kayu. Dia pernah mengirimkan foto dirinya diapit sepasang suami-istri Belgia di depan Angkor Wat. Dia bilang, mereka adalah pembeli scarf buatannya.
Saat gagang telepon kuletakkan, aku belum menyadari gaung yang lebih panjang dari sekadar permohonan restu. Hal itu baru terasa mendera batin setelah tahun demi tahun berlalu dan tak pernah ada kartu bergambar atau telepon lagi. Sekali waktu, ketika aku merindukan dia, emosiku meronta. Apa yang menelan dia? Apakah yang menimpa dia di negeri yang aneh itu? Apakah dia bertapa untuk menggapai moksa? Atau… ah, aku tidak berani meneruskan dugaan ke titik ekstrem. Dia masih muda. Akulah yang lebih pantas rampung lebih dulu—namun, mengapa sampai tak ada waktu untuk menelepon ayahnya?
Aku hanya bisa memasuki dunia kosong tanpa tangis yang sangat dalam sehingga diri hilang lenyap dari dunia artikulasi verbal. Aku baru tersadar ketika pundakku ditepuk-tepuk Ni Paimah si tukang masak. Dia bilang makan malam sudah siap. Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, dia sudah terseok-seok kembali ke dapur.
Sebelum Desember berlalu, Ni Paimah dan suaminya kuberhentikan dan kujual rumah besar di Ibu Kota.
Rumah Ibu di tepi Cikapundung tak berkutik dijepit rumah-rumah yang semakin rapat mendesak memaksa. Gang menyempit. Tiada lagi tanah lapang dan rumpun bambu di bantaran sungai yang selalu mendesis jika angin membelai dedaunannya yang rimbun.
Di sinilah kini aku berdiri, di jembatan tua yang kikuk menanggapi perubahan zaman. Kurenungi permukaan gelap wajah yang lesu pada saat gerimis akhir bulan Desember menciumi tanpa suara.
Di sini akan kuhabiskan sisa usia sebab di sini ada sahabat setia yang kupercaya untuk menitipkan cerita-cerita. Seperti juga aku, dia sudah tua, tidak segemilang dulu. Tidak terdengar lagi gemercik arus yang riang spontan atau air yang jernih. Limbah manusia telah menodai kemurniannya yang naif. Cikapundung sungai yang dirundung murung. (*)
Leave a Reply