Cerpen Saras Dewi (Kompas, 18 September 2022)
TAHUN 2521 adalah tahun yang melelahkan bagi Kinnari, ia menduduki jabatan baru di lembaga penelitian tersohor di Asia Terintegrasi, lalu juga karyanya tentang exoplanet Proxima B memenangkan beberapa penghargaan yang membuatnya semakin sibuk. Terlepas segala kepadatan itu, Kinnari mustahil melewatkan acara pada malam hari ini.
Mobil levitasi berdaya magnet itu bergulir dengan halus, ia bersandar mencemaskan keterlambatannya. Sesaat setelah tiba, Kinnari merapihkan gaunnya yang berwarna hijau, gaun itu menampilkan pundak dan lehernya, dengan kain organza yang sedikit menjuntai pada bagian belakang. Akhirnya, ia sampai di ruang peluncuran, dari langit-langit tergelar melayang-layang tulisan besar menyala, “Menyongsong masa depan bersama Yayasan Tunas Robotik Asia Terintegrasi”.
Dua robot menyambut kedatangan Kinnari, mereka memiliki fitur standar, dengan kerangka metalik merah dan kuning.
“Selamat datang, Profesor Kinnari Azura, peneliti Teknokosmologi, dan salah satu anggota dewan penasehat Yayasan TRAT,” ucap robot tersebut.
Kinnari memasuki ruangan, aula megah itu dihias dengan simulasi taman Zen. Orang-orang telah menyebar dan ramai dalam percakapan mereka. Ia telah tertinggal acara utama, padahal ia amat berharap menyaksikan demonstrasi robotik mereka. Agak kecewa Kinnari berusaha mencari tahu apa yang baru saja berlangsung. Saat hendak memutar ulang memori acara melalui mikrokepingan yang tertanam di lengannya, ia dikejutkan dengan sapaan dari arah belakang.
“Selamat malam Profesor, selamat datang di acara kami.” Berdiri di depan Kinnari seorang lelaki muda bertubuh tinggi dengan atasan putih berbahan parasut yang ia selipkan ke dalam celana panjang putih juga. Kaki lelaki itu begitu jenjang, hingga Kinnari merasa tenggelam dari pertemuan mata mereka. Matanya sedikit sayu, tetapi senyumnya menutupi itu. Kinnari berusaha mengingat di mana ia pernah bertemu dengan lelaki itu, tetapi tidak juga berhasil.
“Maaf saya terlambat, benar-benar mohon maaf.” Kinnari mengulurkan tangannya, lalu lelaki itu menjabat tangannya tanpa melepaskan pandangan dari Kinnari.
“Segala kemajuan ini berkat kerja keras Prof juga.” Lelaki itu memuji dengan tulus. Kinnari selalu canggung menghadapi pujian, ia menanggapinya dengan senyuman kikuk.
“Penelitian Prof tentang emosi dalam kecerdasan buatan mengubah cara pandang masyarakat tentang robot.”
Kinnari berdecak, sambil menggelengkan kepala, “Penelitian yang membuat gaduh saja itu, meski masyarakat kita telah melalui banyak hal semenjak kebencanaan iklim di tahun 2050-an, ternyata, mengatakan robot juga bisa punya perasaan adalah hal yang tabu.”
Mereka menyusuri taman, menjauh dari keramaian. Lelaki itu menerawang ke atas, Kinnari pun mengikutinya. Meski Kinnari tahu bahwa langit-langit gedung yang mementaskan milyaran bintang itu tidak lebih dari proyeksi hologram, keindahan itu tetap menyenangkan untuk dilihat. Mereka berdiri memandang Gunung Fuji dengan bimasakti yang terlihat seperti tumpahan cahaya di kejauhan, dekorasi itu juga dilengkapi bunyi percikan halus permukaan danau Tanuki yang tertiup angin.
“Apakah seperti aslinya Prof?” Lelaki itu bertanya sambil menunjuk ke arah pemandangan itu.
Kinnari tersenyum, mengingat kapan terakhir kalinya berada di Gunung Fuji. Aroma wangi kopi panas yang ia hirup di kaki gunung itu membekas di pikirannya, “Fuji san selalu ramah, ia akan menyambut dengan tarian hutannya jika bertemu langsung.”
Mereka terdiam sejenak masih menatap kawah gunung Fuji yang tampak berwarna putih keperakan.
“Pasti lebih indah dan nyata daripada simulasi ini.” Lelaki itu bergumam.
“Bukankah robot juga tidak sungguh-sungguh nyata, ya?”
Kinnari menoleh menatap wajah lelaki itu, ucapan itu disampaikan halus, tidak terdengar seperti sindiran dari seorang fanatik. Hanya terdengar murung, bahwa robot tidak nyata dan seolah-olah hanya manusia yang sejati ada.
“Tidak benar itu, robot senyata kau dan aku, pengalaman mereka riil, begitu pula kesadaran mereka.”
Kinnari berharap mereka beralih topik percakapan, tetapi lelaki itu melontarkan lagi pertanyaan.
“Prof juga pernah menulis bahwa robot pun dapat mencapai Nirvana, apakah ada tempat untuk membahas pandangan seperti itu dalam ilmu terapan robotika?” Pertanyaan itu bernada serius.
“Jika segalanya berasal dari elemen-elemen yang sama, karbon di dalam tubuh saya, sama juga dengan yang ada pada robot, atau makhluk hidup lainnya. Mengapa tidak? Ilmu robotika bukan area yang kering, semua kemanusiaan kita tertuang pada sisi robotika sebagai penciptaan karya seni, robotika juga penelusuran eksistensial kita….”
Kinnari memandang mata lelaki itu.
“Tetapi bagaimana dengan jiwa, Prof? Tidakkah hanya manusia yang memiliki jiwa? Apakah mungkin mesin memiliki jiwa?”
Kinnari hendak menjawab pertanyaan itu, tetapi sekelompok orang yang menghampiri menghentikan percakapan mereka.
“Prof Kinnari! Selamat bergabung di acara kami!” celetuk pria tambun dengan pin logo yayasan disematkan di dada kirinya. Kinnari mengenali lelaki itu sebagai direktur utama yayasan robotika. Direktur membahas tentang kecerdikan Kinnari berdebat melawan anggota senat beraliran Spiritus, kelompok yang menentang habis-habisan proyek hominisasi robotik.
“Semuanya tidak sia-sia, misi global pengembangan hominisasi robotik itu kini membuahkan hasil. Akhirnya setelah 20 tahun ya Prof!?” Direktur tersenyum dengan kerutan di ujung matanya.
“Bagaimana Prof, apa pendapat Anda tentang Agra? Kami mohon maaf soal kerahasiaan sampai hari peluncuran, tekanan dari golongan Spiritus membuat kami agak khawatir. Tapi, syukurlah segalanya lancar….” Tatapan direktur beralih ke arah lelaki berpakaian putih yang berdiri di samping Kinnari. Kinnari mendongakkan kepala ke sampingnya, agak terbelalak ia melihat mata Agra yang berwarna cokelat muda memercik elok. Meski sangat subtil, robot itu terlihat sedang memindai menyesuaikan lensa tatapannya. Jantung Kinnari berdebar sangat kencang. Ia mencermati wajah Agra, segalanya terasa manusiawi. Rautnya saat bertanya, dan senyum itu. Senyum yang sama sekali tidak mengerikan, seperti tudingan kelompok Spiritus bahwa robot yang tersenyum itu janggal dan dibuat-buat. Kinnari menahan hatinya yang berada di ambang ledakan haru.
“Prof, saya akan membawakan Simfoni no 40 di G Minor, oleh Wolfgang Amadeus Mozart, saya dengar ini lagu kesukaanmu.” Agra menjelaskan setengah berbisik, wajah mereka sangat berdekatan. Agra mengubah tempat itu sekilat jentikan jari menjadi ampiteater di masa Yunani kuno. Ia berdiri di atas pedestal. Seketika Agra menggesekan biolanya, simfoni mengalun serta merta cepat, allegro molto! Lentingan suara biola bersusul-susulan dengan energik, dan Agra bermain penuh dengan hasrat. Mata Kinnari berkaca-kaca, terlintas di pikirannya dokumentasi abad ke-21 ketika prototipe robot berwarna putih bermain biola secara kaku dan sederhana. Lompatan yang begitu jauh!
Mereka berdua melanjutkan obrolan hingga larut, sambil duduk berdua di kursi bar yang tinggi, Kinnari meneguk perlahan minuman alkohol berwarna biru. Ia duduk sambil menopang kepalanya dengan tatapan takjub yang tak kunjung surut ke arah Agra.
“Apakah robot layak dicintai, Prof?” tanya Agra dengan senyum yang lugu.
Kinnari duduk tegak dari lamunannya, seperti mendapati pertanyaan itu aneh.
“Sangat layak untuk dicintai, sebagian besar robot yang sekarang berada dengan masyarakat menemani mereka yang kesepian, mereka yang sebatang kara, mereka yang lanjut usia dan butuh perawatan. Saya yakin orang-orang ini sangat menyayangi robot yang menemani hidup mereka.”
“Tetapi robot diprogram untuk melakukan tugas-tugas itu….”
“Tidakkah manusia diprogram juga oleh genetikanya?” sanggah Kinnari
“Tetapi itu berbeda….”
“Betul berbeda, namun tidakkah kehidupan bersama, kasih sayang antara manusia dan non-manusia itu juga bermakna, betapapun berbeda bentuk kasih sayang itu.”
Agra melirik segelas Laguna Biru yang berada di atas meja lalu menyahut, “Saya bisa menjabarkan komposisi minuman ini, likeur kurasao yang dicampur vodka. Kurasao terbuat dari jeruk laraha yang rasanya pahit. Saya memiliki perkiraan tentang rasa minuman ini. Tapi, saya tidak akan pernah sungguh-sungguh merasakan minuman ini seperti manusia menikmati pengalaman melalui indra-indranya.” Kinnari menenggak habis segelas Laguna Biru, hingga ia merasa kepalanya begitu ringan. Ia tertawa kecil sebab peradaban manusia telah tiba pada titik, manusia dapat berdebat filosofis dengan robot ditemani segelas likuer!
“Baiklah, jika memang menurutmu pengalaman manusia begitu unik. Sebagian memang menciptakan teknologi, karya seni, dan budaya yang indah, namun, sebagiannya lagi juga menyeret bumi ke dalam kondisi mengenaskan, memusnahkan jutaan spesies karena keserakahannya, membunuh manusia lain demi kekuasaan. Kini hanya sedikit yang tersisa, kota-kota telah tenggelam, negara-negara telah runtuh, tetapi hasrat manusia untuk berperang tidak pernah terpuaskan. Mengapa manusia harus begitu istimewa?”
Kinnari memiringkan kepalanya sambil memandang lekat-lekat wajah Agra. Ia membayangkan di balik kulit artifisial itu, otak positronik yang tengah bersinar dilindungi kerangka terkokoh namun ringan menggunakan materi magnesium. Agra menyentuh belakang kepalanya, sekejap setelah berdesis, cangkang artifisial itu menganga dan menyibak wajahnya yang terbuat dari logam. Kinnari tersenyum, teringat setahun yang lalu memenuhi undangan Yayasan TRAT menjadi peninjau riset. Itu merupakan pertemuan pertamanya dengan Agra, yang semasa itu masih berbentuk kerangka kepala dan torso metalik tergantung di laboratorium. Kinnari memeriksa tabel hologram yang menunjukkan kondisi mekanik Agra. Mereka berbicara, dan terkadang Kinnari tertawa mendengarkan lelucon yang sedikit jadul dari robot itu. Sebelum mereka berpisah, robot itu bertanya pada Kinnari,
“Di manakah tempat yang paling Prof sukai di dunia ini?”
Kinnari menggumam panjang sembari memeriksa mata sintetik Agra, “Hmmmmm….”
“Gunung Fuji… saya suka sekali Gunung Fuji. Tempat itu indah sekali. Tapi,” Kinnari terdiam sejenak, lalu menyambung ucapannya.
“… setelah bertemu kamu, sepertinya sekarang kamu adalah wujud terindah.” Kinnari tersenyum simpul dan membatin bahwa ia tak sabar melihat mahakarya itu rampung.
Agra menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan, seketika ia melihat senyum Kinnari, seluruh energi dalam sirkuit di kerangka kepalanya meluncur, menukik dan berbenturan liar. Termenung melihat punggung Kinnari yang berjalan menjauh darinya, menjauh, mengecil di lorong panjang itu, hingga tidak lagi nampak. Ia mengulang berkali-kali memori adegan Kinnari bercerita tentang Gunung Fuji dalam montase senyap hitam-putih.
Ia berandai-andai, apakah robot layak untuk dicintai? ***
.
.
Saras Dewi, sastrawan dan penulis yang senang meneliti tentang filsafat teknologi. Sehari-harinya mencari inspirasi untuk menulis dengan berjalan kaki keliling kampus dan melamun di Ratangga.
Sigit Santosa, lahir di Solo 1950. Lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI Yogyakarta ini setidaknya empat kali pameran tunggal dan enam kali pameran bersama. Selama 43 tahun bekerja di agen periklanan serta 21 tahun mengajar di Politeknik Media Negeri Jakarta dan Sekolah Tinggi Design Interstudi. Pernah jadi ilustrator lepas di majalah Dewi, Hai, dan Bobo.
.
Nirvana. Nirvana. Nirvana. Nirvana. Nirvana. Nirvana. Nirvana.
Leave a Reply