Cerpen, Minggu Pagi, Mira Sato

Orang yang Selalu Ketakutan

Orang yang Selalu Ketakutan - Cerpen Mira Sato
3.8
(6)

Cerpen Mira Sato (Minggu Pagi Nomor 47, 24 Februari 1980)

CERITA ini datar, tanpa klimaks, dan tanpa surprise, jadi tenang-tenang sajalah. Aku bosan bercerita dengan tehnik, dengan siasat, apalagi menciptakan suasana, yang membuat kamu menganggapnya bagus. Aku ingin bercerita tanpa pretensi, tanpa mengharapkan apa-apa darimu. Aku tahu ini sulit, lebih-lebih di zaman semua orang selalu mencari keuntungan pada tiap kesempatan. Mungkin pula cara berceritaku sekarang ini patut dicurigai sebagai pretensius, dibikin-bikin supaya bagus. Tapi okelah kita mulai saja sekarang, sebab kalau diteruskan, dan jadi panjang, aku takut kalau malahan jadi cerita yang bagus.

Ia selalu kelihatan senewen dan merasa takut. Sebetulnya perasaan semacam itu sudah dimulai semenjak ia masih kanak-kanak. Berbagai larangan disertai ancaman-ancaman yang mengerikan dari orang tua atau pengasuh masih membekas. Misalnya saja, kalau melihat orang gila, atau gelandangan yang serupa dengan orang gila, ia akan merasa berdebar-debar, jantungnya berdegup-degup dan ia akan mengeluarkan keringat dingin. Kalau saja ia dilahirkan di tengah kampung, di celah gang, atau di kolong jembatan sekalian, perasaan semacam itu mungkin agak tipis, meskipun bisa diganti dengan perasaan takut yang lain lagi jenisnya. Tapi masalahnya sekarang, ia ditakdirkan menjadi anak dari keluarga yang berada. Tidak selalu enak. Ia tertutup dari pergaulan dengan golongan bawah dan hanya mendengar ceritanya saja seperti mendengar dongeng yang tak pernah ada dalam kenyataan. Golongan bawah, orang-orang miskin itu, dalam pengertiannya menjadi sesuatu yang menakutkan.

“Sudah dikunci?” tanyanya padaku.

Aku sudah bosan menjawab, tapi kusahuti juga. “Sudah.”

“Pintu pagar?” Ia makin senewen, matanya selalu curiga, ia selalu ingin supaya orang lain meyakinkannya bahwa ia dalam keadaan aman.

“Sudah.”

“Jangan lupa kalau tidur dikunci pintunya ya?”

“Ya.” Akhirnya menghilang juga dia, tapi kecerewetannya masih membekas dalam benakku, aku pusing.

“Lampu atas sudah dinyalakan?” Sialan, muncul lagi dia.

“Sudah dari tadi sore,” jawabku dengan jengkel.

Ini semakin menjadi-jadi semenjak kematian suaminya sepuluh tahun yang lalu. Dulu perasaan takutnya itu tidak kentara, tapi dalam famili kami memang ia dikenal senewen. Selalu sibuk tanpa urusan yang penting. Selalu tergesa-gesa. Selalu merasa dikejar. Repot karena masalah-masalah sepele. Pada mulanya aku sebal luar biasa, tapi sekarang aku merasa kasihan. Meski begitu, masih saja aku sering dibuatnya jengkel.

Kata orang, waktu masih muda ia genit sekali. Ada kucing saja langsung meloncat ke atas meja, apalagi tikus. Sebelum perang, temannya cuma orang-orang Belanda. Suka keliling kota dengan sepeda Fongers, bertopi model Eropa dan ber-stocking pula. Pada zaman itu, menurut pengakuannya sendiri perempuan yang tidak memakai kaus kaki tipis itu langsing. Tentu saja karena memang demikianlah adanya.

Namun sekarang zaman sudah berubah. Titel maupun kepandaian tidak lagi menjamin kekayaan seperti zaman kejayaan ayahnya yang lulusan Stovia itu. Ia sendiri sempat mampir di HBS, tapi tidak selesai. Kini kekayaan dan kehormatan tidak bisa didapat sekedar dengan kerja keras tapi tetap jujur. Di zaman ini tidak ada yang tidak bisa dibeli dengan uang. Harga diri pun bisa dibeli. Moral, itu soal nanti, yang penting kaya dulu, karena cuma orang kaya yang dihormati, orang miskin tidak. Memang ada juga kaum idealis yang bertingkah laku seperti nabi yang berang, tapi mereka lebih mirip sebagai badut-badut zamannya. Terlempar keluar dari lingkaran setan yang sedang jadi raja.

Baca juga  TENTANG GULAI IKAN KARANG

Kehormatan yang baru bisa didapat dengan uang, yang baru bisa didapat dengan memperjuangkan kesempatan yang mementingkan diri sendiri itu membutuhkan mental yang benar-benar baja. Dan ia, orang dari masa lampau yang keningrat-ningratan dan mriyayeni ini tak bisa bertahan, omongan kebelandaannya disinisi orang, ia kena sikut dan kalah. Zaman ini adalah milik calo, makelar dan tukang catut. Zaman ini ditandai dengan kelicikan, keculasan dan kecurangan. Dan karena zaman juga menciptakan manusia yang saling merampok, maka sifat kekerasan jadi ciri yang utama. Tanahnya terjual. Warisan suami maupun orang tuanya amblas. Satu-satunya sisa adalah rumah gedong bertingkat, satu-satunya yang selamat dari delapan rumah gedong lainnya. Lambang masa lampau yang makin memudar. Sebuah rumah yang besar tapi kosong dan sepi. Ada juga tivi, yang selalu mengejeknya dengan iklan benda-benda yang tak akan pernah bisa ia beli. Tentu ia belum miskin. Mungkin karena itu ia selalu merasa ketakutan, jembatan penyeberangan ia mengira pemuda di kanan kirinya adalah copet, ia selalu curiga, merasa terancam dan senewen. Ia curiga pada tukang pos, ia curiga pada sopir taksi. Jika ada suara ketukan di pintu, ia meloncat seperti kucing, mengintip dari celah tirai, lantas dengan sangat hati-hati bertanya: “Siapa?” Sesudah itu ia akan membuka pintu perlahan-lahan dan menongolkan kepalanya di pintu yang cuma dibuka sedikit itu. Dan sesudah itu ia akan cepat-cepat menutup pintunya kembali, dan kau akan mendengar suara kunci, grendel dan rantai.

“Hati-hati jangan pakai arloji, di perempatan banyak yang menodong waktu lampu merah, tutup saja jendelanya.”

“Ah, jangan kuatir Tante.”

“Sudah bawa SIM, kartu mahasiswa dan KTP? Awas, banyak pungli sekarang.”

“Sudah-sudah,” langsung kuinjak gas dan melesat pergi tanpa menutup garasi. Sungguh bosan aku pada eksistensinya.

“Coba lihat ini, penodongan, perampokan, pembunuhan di mana-mana,” suatu kali disodorkannya koran padaku. Aku sudah tahu. Ia memang selalu membaca lembar kriminalitas.

“Zaman sekarang, minta ampun deh, tik snap niet kenapa ekonomi bisa kacau, di mana-mana pengangguran dan kekacauan, onze tijd dulu tidak ada model begitu, jongens kalau berkelahi satu-satu, tidak ada kerubutan seperti anak-anak brandal, ensportiev, jullie als de jongegenerazie musti tahu itu.”

“Ya tapi zaman dulu itu kebelanda-belandaan, feodal dan borjuis, kita sudah merdeka sekarang, berdiri di atas kaki sendiri.”

“Hahahah, berdiri di atas kaki sendiri? Stom dom zeg jij. Apa itu barang-barang Nippon masuk semua? Jullie sendiri pakai blue jean Amerika. Mana kepribadian Indonesia itu? Mana? Kasih tahu Tante: Mental? Apa mentaaliteit seperti sekarang ia mau dibanggakan?”

“Sudahlah Tante, saya mau kuliah, kalau ada temen tolong bilang sudah berangkat.” Aku malas melanjutkan percakapan semacam itu, sudah terlalu sering, dan berlanjut jadi debat kusir.

“Ya, studieren yang baik anak muda, biar tahu kehidupan.”

Baca juga  Sebuah Taman, Sebuah Pertemuan

“Betul ya Tante, bilang saya sudah ke sekolah, tapi jam sepuluh ada di tempat biasa.”

“Pacarmu lagi? Orang kampung yang tidak bisa dansen waktu jarige van Elsye?”

“Jangan menghina dong Tante.”

“Huh meisjes sekarang cuma bisa pacaran saja,” dia nggrundel terus.

Suatu kali dia sakit. Dokter menginjeksinya dengan morfin. Dia pun tertidur. Kasihan aku melihatnya. Helai-helai rambutnya sudah memutih. Aku tahu dia dulu cantik, dan sangat berkuasa. Segala tetek bengek diurusi bediende. Aku sering melihat album foto yang potret-potretnya sudah menguning itu. Kini dengan nafasnya yang teratur itu ia bisa terbebas dari ketakutan dan kecemasan. Hhh, kota ini, di mana segala sesuatunya harus dimenangkan dan dikuasai. Tidak ada tempat bagi yang lemah dan manja, apalagi yang malas. Kota besar telah jadi belantara di mana hanya gajah, singa dan badak-badak yang bisa tidur nyenyak tanpa rasa takut.

Ternyata sakitnya menggawat, apalagi dia mulai takut pula kepada dokter.

“Ia mau membunuhku, ia sengaja tidak membuatku sembuh, supaya aku berobat terus padanya.” Aku pun memindahkannya ke rumah sakit. Dia semakin takut.

“Suster itu menjejalkan obat ke mulutku secara paksa, mereka menyiksaku. Selimut belang ini, aku minta ganti. Orang-orang kotor itu, keluarkan dari sini! Van waar zeg alle deze mensen.” Malam-malam cuma bisa teriak melulu. “Godverdom ZEG!” Aku memindahkannya ke kamar VIP yang ada tivinya, juga ada AC.

“Sepi sekali di sini, tadi malam aku didatangi hantu, katanya dia bunuh diri di sini, di situ itu,” ia menunjuk ke langit-langit.

Aku memanggil psikiater dan psikolog sekaligus. Dua-duanya menganjurkan supaya dirawat di rumah saja.

Begitulah, tanteku tersayang ini kuangkut kembali pulang. Dua suster yang cantik dan manis menungguinya bergantian. Ah enak juga, pikirku lumayan sebagai penyegar ruangan.

Sudah dua bulan ia sakit. Umurnya belum tua benar, belum ada enampuluh, boleh jadi baru limapuluh, tapi rupa-rupanya rasa takut telah menggerogoti kemampuannya untuk bertahan lebih lama lagi. Apalagi ia takut mati. Dengan tekanan jiwa seperti itu ia nampak nelangsa dan amat tersiksa. Mungkin itu tidak ia sadari, rasa takut, cemas dan perasaan selalu dikejar-kejar sudah menjadi bagian dari ketidaksadarannya. Ini ditambah dengan irama kota besar yang tidak memberikan waktu untuk merenung.

Aku mencoba mengurusnya sebaik mungkin, bagaimanapun aku banyak berhutang budi padanya. Begitu pula ketika ia meminta sebuah pistol.

“Pistol? Buat apa?”

“Pokoknya cari! Itu ada duit di laci. Ik ben bang ada orang nyekik tante nanti.” Aku tidak mau ambil resiko, kubelikan pistol mainan yang mirip sekali dengan yang asli.

“Nah,” kataku kemudian esok harinya. Kupegangkan ke tangannya, pistol yang masih bau vaseline itu, dingin sekali rasanya.

“Pelurunya?”

“Peluru? Bukankah itu sangat berbahaya?”

“Lantas? Maksudmu aku bisa tenang dengan pistol kosong?” Demikianlah, pistol otomatik itu sudah berisi. Tante mendekap pistol itu. Setelah minum pil, ia telah tertidur kembali.

Sementara itu aku terlibat dalam permainan cinta dengan salah satu perawat. Di balik pakaian dan kerudung putihnya itu ia memang tidak bisa menyembunyikan gumpalan nafsu dan kemolekan tubuhnya. Aku sudah pengalaman dengan perempuan. Dalam waktu singkat ia sudah berada dalam genggamanku. Mula-mula dia jual mahal, tapi sekarang aku kewalahan juga kadang-kadang. Biasa, perempuan selalu begitu. Namun aku tidak melupakan Tante.

Baca juga  Pring Re-ke-teg Gunung Gamping Ambrol

Semenjak mendapatkan pistol itu, Tante nampak lebih tenang. Sambil tiduran ia membidikkan senjata itu pada sasaran-sasaran di dalam kamar. Dipicingkannya sebelah mata dan mulutnya berbunyi menirukan suara pistol otomatik yang dilengkapi peredam. Pernah jantungku nyaris berhenti berdegup ketika kumasuki kamarnya, ia membidikku, pistol itu seperti benar-benar mau meletus. Aku jadi berpikir, dan mulai sukar tidur.

“Tenang saja yaang, orang tua memang selalu aneh-aneh,” kata suster yang bibirnya basah dan selalu kuciumi itu.

Dan pada suatu malam yang sangat dingin, ketika si suster sedang kugu***i di tempat tidur, ketenanganku betul-betul terganggu. Suara ledakan membuatku terlonjak. Kubuka pintu kamar tanteku itu, ternyata gelap. Bau asap mesiu meniup sangat keras keluar pintu. Ia telah menembak bola lampu.

“Ada apa ini? Kenapa bola lampu ditembak? Lihat tetangga bangun semua!”

“Malaikat! Malaikat! Kutembak dia! Cahaya itu bukan lampu, itu malaikat, ia mau mencabut nyawaku, aku belum mau mati, jadi kutembak dia!”

Dengan paksa pistol itu kurebut, tapi ia menggenggamnya begitu erat, seolah-olah jarinya sudah menyatu dengan pistol. Aku ingat ia sekarang sudah begitu mahir, ia bisa memutar pistol itu pada telunjuknya seperti koboi, atau melemparkannya ke atas dan ditangkap lagi sambil langsung menembak. Pistol itu belum berhasil kurebut. Aku sendiri hampir lupa merasa marah dan dipermainkan. Suster dengan lembut menyabarkan, untung saja dia begitu manis.

“Ayolah, Tante, berikan pistol itu padaku,” aku kini membujuk, seperti menghadapi anak kecil.

Tiba-tiba ia menangis. Aku terdiam dan merasa terharu. Di antara sengguknya kudengar nama suaminya, kemudian anak-anaknya yang tak pernah menengok, dan sebuah nama yang baru kali ini kudengar, seperti nama laki-laki.

Ia menangis saja sepanjang malam itu. Panasnya naik. Ia juga mengigau. Pistol itu masih digenggamnya. Aku tak mengusiknya lagi. Pistol itu berisi, kalau dia kalap aku tak tahu apa yang akan terjadi. Pintu digedor dari luar. Berengsek. Apa mereka tidak tahu di situ ada bel yang bisa mainkan Fur Elise? Ternyata Hansip menanyakan. Aku bilang saja itu mercon sisa lebaran yang tidak sengaja tersulut oleh suster di dapur.

Aku menggeletakkan tubuhku di sofa. Malam yang brengsek. Salah-salah suster atau aku sendiri yang akan dia tembak.

Sebetulnya cerita semacam itu bisa jadi menarik. Tapi aku malas. Pernah kupikir bahwa aku akan kena tembak. Atau mungkin pistol itu suatu saat berhasil kurebut dan kutembakkan padanya.

Tapi kupikir aku justru sedang menghentikan cerita itu sampai di sini. ***

.

.

Orang yang Selalu Ketakutan. Orang yang Selalu Ketakutan. Orang yang Selalu Ketakutan. Orang yang Selalu Ketakutan. Orang yang Selalu Ketakutan.

Loading

Average rating 3.8 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!