Cerpen, Kompas, Seno Gumira Ajidarma

Suatu Ketika dalam Kehidupan Dua Orang

Suatu Ketika dalam Kehidupan Dua Orang - Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Suatu Ketika dalam Kehidupan Dua Orang ilustrasi Kompas

3.7
(3)

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 14 Januari 1978)

LELAKI itu tidak bisa tidur. Malam terlalu larut, udara lebih dingin, tetapi lelaki itu tidak merasakannya. Jam dinding berdetak keras. Dadanya berdesir, hatinya bergidik.

Ia beranjak keluar kamar dan terenyak di ruang depan.

Istrinya menegur lesu.

“Kenapa belum tidur?”

Ia diam saja. Mengisap rokok.

Lamat-lamat terdengar pertengkaran tetangga. Berbisik-bisik. Namun tetap terdengar juga. Rumah-rumah hanya berbataskan dinding tipis, membuat setiap orang terpaksa ikut mendengar persoalan yang tidak ingin diketahuinya, sampai tak jelas lagi apa yang terjadi, kecuali persoalan demi persoalan dari hari ke hari.

“Tapi kenapa?!” Didengarnya bisikan itu meninggi.

“Perhiasan sudah habis, uang sekolah anak-anak belum dibayar. Mereka sudah menunggak tiga bulan, tahu? Uang belanja untuk minggu ini sudah ludes. Besok pagi kita sarapan apa?”

“Ssssttt!”

Lantas hanya sunyi. Namun lelaki itu mendengar isak tangis. Ia sempat ikut memikirkan tetangganya itu besok mau sarapan apa. Mereka suka membeli semangkuk lontong sayur yang dimakan berlima. Istrinya juga pernah menangis seperti itu.

Ia keluar rumah. Tukang bakmi lewat, disusul tukang sekoteng. Angin berdesis. Rumpun bambu bergesek.

Lelaki itu berjalan, dan teringat seseorang, yang rambutnya panjang hitam kelam seperti malam. Seseorang yang ceria senyumnya, renyah tawanya, dan pandangan matanya adalah pandangan seorang perempuan yang berbahagia karena cinta.

Langkahnya sekarang terhenti.

Apakah yang masih harus disesali jika perempuan itu menikah dengan seseorang yang bukan dirinya? Apakah yang kiranya perlu membuatnya menghela napas panjang, jika perempuan yang dinikahinya bukanlah perempuan itu?

Daun-daun bambu melayang dibawa angin malam yang dingin. Ia melanjutkan langkahnya. Ia tahu betapa perkawinan tidaklah semuluk poster Keluarga Berencana. Anak mereka sama-sama dua, tetapi kebahagiaan tidaklah dijamin oleh jumlah anak yang cuma dua. Seperti juga cinta, yang tak dapat dijerat bahkan oleh kehidupan bersama.

Baca juga  Enam Tahun Setelah Taman Kota

Seperti masih dibacanya surat perempuan yang bukan istrinya itu, begitu penuh dengan cinta, yang telah disambutnya dengan perasaan yang tak lebih dan tak kurang adalah sama.

Lelaki itu menoleh. Matahari yang muram menggapai di timur.

***

Kesibukan kota menjamah pagi. Juga menjamah perkampungan tempat seorang perempuan harus mengikat rambutnya yang seperti malam, karena matahari yang menerobos gang kumuh dengan segala comberan berbau menyengat itu hanyalah memberinya rasa gerah.

Dia membangunkan anak-anaknya dengan bahasa seperti yang diucapkan dalam sandiwara televisi. Anak-anak itu segera bangun, mandi, makan nasi uduk, dan menghilang.

“Baguslah monyet-monyet itu segera pergi,” katanya, “capek aku mengurusi anak-anak pemalas yang selalu terlambat bangun dan maunya makan terus.”

“Huss! Anak sendiri janganlah dibilang monyet. Anak orang lain pun, janganlah dibilang monyet.”

Mereka berada di sebuah ruangan yang hanya merupakan satu-satunya ruangan di rumah itu. Untuk membedakan kamar orangtua dan kamar anak-anak, mereka membaginya dengan tirai, yang tergantung pada kawat dan sudah kumal.

Namun kemiskinan tidak meredupkan cahaya perempuan yang rambutnya seperti malam. Meskipun perempuan itu mengenakan daster yang dari sudut manapun tidak akan membuat seorang perempuan lebih indah, seorang perempuan bercahaya adalah tetap seorang perempuan bercahaya.

Dia menggulung kasur, mendorong tirai agar ruang terbuka, memasukkan pakaian kotor anak-anak dan suaminya ke dalam ember.

“Hati-hati dengan perutmu,” kata suaminya, “jangan mengangkat yang berat-berat.” Persis sandiwara di televisi.

Seperti sandiwara televisi pula, perempuan itu membuat kopi dan membawanya ke hadapan lelaki yang sedang menonton nasib sesama orang-orang malang di televisi. Perut perempuan itu memang cukup besar.

Waktu mau kembali ke pojok, yang disebut dapur hanya karena ada kompor minyak tanah, tangan suaminya itu menggamit tangannya.

Baca juga  Dolag Melukis Tuhan

“Aku sudah lihat surat itu di laci.”

Dada perempuan itu berdegup. Bodoh sekali aku, pikirnya, surat begituan di rumah sempit begini kutaruh di laci!

Namun dia memang tidak akan pernah merobek dan membuangnya. Tidak akan pernah. Sama seperti kesadaran tak pernah mau kehilangan cintanya. Satu-satunya cinta!

“Kenapa kamu tidak terus terang saja?”

Dadanya masih berdegup. Dia tertunduk. Dia mencoba menghilangkan kekakuan dengan membereskan meja.

“Ah, sudahlah….”

Namun suaminya belum berhenti.

“Jadi tidak jelas, kan?”

“Apanya?”

“Anakku atau anaknya?”

Dia tidak menjawab, atau tidak bisa menjawab. Tidak jelas.

Suaminya seperti masih ingin mengatakan sesuatu, banyak sekali, tetapi sesuatu pada wajah istrinya itu membuat kata-katanya berhenti di tenggorokan. Sama sekali tidak seperti sandiwara di televisi. Ia pun tak tahu apa yang harus dilakukan, selain mencoba mengerti, dan mengharapkan semuanya segera berlalu.

Ia pergi ke tempat kerjanya, meninggalkan istrinya yang terisak sendiri.

***

Napas mereka masih memburu ketika perempuan yang rambutnya seperti malam itu menyampaikan apa yang sudah lama dipendamnya. Lelaki yang baru saja menyalakan rokok itu segera mengembuskan asapnya ke langit-langit.

“Jadi ini yang terakhir?”

“Ya,” kata perempuan itu sambil membetulkan letak kutangnya.

“Kamu begitu yakin?”

“Entahlah, tapi kita harus menghentikannya. Harus.”

“Apakah kamu bisa?”

Ia menoleh, dia terbaring di sampingnya. Ia mengusap rambutnya yang seperti malam, yang kini kusut masai ke sana kemari tak beraturan.

“Jangan…,” kata perempuan itu.

Lelaki itu menghentikan usapannya, perempuan itu menoleh, mengambil tangan lelaki itu dan meremasnya. Mata mereka beradu.

Lelaki itu merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Wajah perempuan itu semakin mirip dengan wajah istrinya.

Perempuan itu memang merasakan sesuatu dan tak mengerti. Namun dia diam saja dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya sudah berlalu.

Baca juga  GERILYA KALIJAGA - DONGENG ARKEOLOG

Di luar, kereta api yang lewat menggetarkan ruang pertemuan rahasia. ***

.

.

Jakarta 1978 / Melbourne, 19 September 2013. 08:37

.

Suatu Ketika dalam Kehidupan Dua Orang. Suatu Ketika dalam Kehidupan Dua Orang.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!