Cerpen Aulia Farah Maharani (Suara Merdeka, 15 September 2022)
MATAHARI mulai merangkak naik. Butiran embun masih setia menempel di rerumputan. Udara segar menyambut suara riuh ibu-ibu berbelanja sayur. Suara riuh itu bak alarm yang membangunkan alam bawah sadar seorang gadis berusia remaja akhir.
Gadis itu bernama Gendis. Gendis ini hanya tamatan SMA. Tidak melanjutkan pendidikan seperti teman-teman lainnya akibat keterbatasan biaya. Hidup Gendis bagaikan anak ayam yang kehilangan induk untuk selamanya. Hidup Gendis kehilangan arah dan kehilangan semangat hidup semenjak ditinggal ibunda di dalam hidupnya.
Dua minggu sebelum almarhum ibunda pergi untuk selamanya, waktu itulah Gendis kali terakhir merasakan ceria dan bahagia di dalam hidupnya. Tepat dua minggu yang lalu Gendis diterima bekerja di counter handphone di kotanya.
Pada waktu itu Gendis merasa Tuhan itu baik pada dirinya. Gandis merasa senang karena dapat bekerja dan menghasilkan uang dari jerih-payah keringatnya sendiri. Gendis mempunyai cita-cita dan keinginan untuk memberikan hadiah kepada almarhum ibundanya berupa gelang emas. Akan tetapi, harapan dan cita-cita Gendis musnah. Ibunda lebih dahulu pergi untuk selamanya. Gendis kini tinggal serumah bersama bapak dan keluarga kecil dari kakak perempuannya.
Hari demi hari Gendis mengerjakan rutinitasnya sebagai pelayan di sebuah counter handphone. Gaji sebagai pelayan di counter handphone lumayan cukup bahkan bisa dibilang ada lebihnya untuk mencukupi kehidupan dua orang, yaitu untuk dirinya dan bapaknya.
Pada suatu siang, tepat matahari berada di atas kepala manusia. Dari ruang tamu dalam rumah, bapaknya melihat Gendis sedang memarkirkan kendaraannya di depan rumah. Bapak heran karena tidak seperti biasanya Gendis pulang lebih awal. Biasanya Gendis pulang sampai rumah pukul lima sore.
“Tumben pulang cepat, Nduk?” tanya bapaknya sembari menyiapkan peralatan taninya.
“Nggih Pak, Gendis pulang cepat,” jawab Gendis lesu.
“Bapak amati, sepertinya kamu ada masalah. Masalah apa to, Nduk? Ceritalah pada Bapak.”
“Ehmm, anu Pak….”
“Anu kenapa Nduk cah ayu?”
“Anuuu…. Gendis berhenti dari pekerjaan, Pak.”
“Waah wah, kenapa kok berhenti, Nduk? Kan eman, gajinya lumayan bisa disisihkan untuk biaya kuliahmu, Nduk.” Bapak mengerutkan kening.
“Nggih sih, Pak, tapi Gendis mboten cocok kalihan lingkungan rencang-rencang kula, Pak.”
“Kenapa cah ayu.. kok bisa-bisane ndak cocok?”
“Niku lo, Pak, rencang-rencang kula di sana niku gatel kaleh pembeli, Pak. Nah niku sing marai Gendis mboten betah, Pak,” jelas Gendis.
“Ooh begitu ya, Nduk. Ya sudah benar keputusanmu itu, Nduk. Bapak dukung, daripada kamu ikut-kutan seperti itu, Bapak ndak setuju. Malu-maluin saja.”
“Ngih, Pak.”
“Terus apa rencanamu selanjutnya, Nduk?” tanya bapaknya kelada Gendis.
“Rencana Gendis mau mencoba melamar pekerjaan di pabrik, Pak. Kan gajinya lebih besar sedikit daripada pekerjaan yang lama.”
“Semoga keterima ya, Nduk, yang sabar dan kuat. Bapak selalu suport dan doain yang terbaik untukmu,” kata Bapak sembari menepuk pundak Gendis.
“Iyaa, Pak, aamiin. Terima kasih bapakku,” jawab Gendis lalu memeluk erat sang Bapak
“Palingan nanti sembari nunggu panggilan dari pabrik, Gendis mau ngisi waktu luang supaya ndak nganggur. Gendis mau kerja mewarnai batik tulis di tempatnya Budhe, Pak,” ujar Gendis sekali lagi.
Keesokan harinya, suara riuh ibu-ibu berbelanja sayur tampak semakin terdengar riuh, yang menandakan hari semakin beranjak siang. Sembari menunggu kendaraan roda duanya dipanasi, Gendis sarapan nasi uduk buatan tangan kakak perempuannya terlebih dahulu. Lalu setelah semuanya selesai, Gendis memutuskan segera berangkat ke tempat kediaman Budhe menggunakan kendaraan roda duanya.
Gendis berangkat ke rumah budhenya untuk bekerja sampingan sembari menunggu panggilan dari pabrik tempat dirinya melamar pekerjaan. Upah dari mewarnai batik tulis tidak seberapa atau bisa dikatakan upah mewarnai batik cap ini lebih kecil daripada bekerja sebagai pelayan di counter handphone dan bekerja di pabrik, tetapi Gendis tetap mensyukuri apa yang Tuhan sudah berikan kepada dirinya.
Lima hari berlalu, Gendis masih saja belum mendapatkan panggilan dari tempat di mana dirinya melamar pekerjaan. Seperti biasa suara riuh ibu-ibu berbelanja terdengar hingga ke dalam rumahnya. Akan tetapi kali ini berbeda seperti biasanya. Gendis yang biasanya hanya mengabaikan suara riuh itu, kali ini Gendis akan menghampiri suara riuh itu untuk berbelanja sayur karena hari ini hari Jumat, saat pekerjaan sementara Gendis libur. Sesampainya tempat di orang yang berjualan sayur, Gendis disambut hangat oleh ibu-ibu yang berbelanja sayur di sana.
“Eeeey Gendis apa kabar? Tumben belanja sayur,” tanya ibu-ibu salah satu pembeli sayur.
“Hehe… alhamdulillah sehat, Bu,” jawab Gendis canggung, sembari memilih sayuran.
Bu Broto yang terkenal julid sekampung datang. Dari kejauhan Bu Broto sudah menyapa dengan suara keras dan ceria.
“Ellohelloow jeng, selamat paagi.”
“Tumben Jeng Broto ceria, gak seperti biasanya,” celetuk salah satu yang berbelanja.
“Hahaaay iya nih jeng, ini loh aku semalam habis dibeliin anakku TV 80 inch. Itu lo anakku yang kerja jadi konten creator toktik,” jawab Bu Broto dengan sumringah.
“Weeladalah hebat tenan yo anak Jeng Broto, walaupun tamatan SMP bisa beliin ibunya TV,” ujar salah satu yang belanja sayur.
“Alhamdulillah, Jeng,” jawab Bu Broto.
Bu Broto sangking sumringahnya tidak menyadari adanya Gendis di situ. Suatu ketika Bu Broto yang sedang memilih sayuran baru menyadari keberadaan Gendis. “Eeeleh eleeh… ada Nduk Gendis to, kerja apa Nduk sekarang?” tanya Bu Broto.
Baru satu tarikan napas Gendis mau menjawab pertanyaannya, sudah dicela oleh Bu Broto lagi. Bu Broto salah fokus mengenai kedua tangan Gendis yang dipenuhi bekas cairan pewarna batik. Bu Broto melirik dan memandang remeh terhadap tangan Gendis yang dipenuhi cairan pewarna batik.
Tanpa memikirkan perasaan Gendis, Bu Broto asal berbicara, “Weeleh mesti kerjanya jadi kuli warna batik ya Nduk? Halaah ngapain sekolah sampe tamat SMA, kalau ujung-ujungnya kerja jadi kuli warna batik gini, tamatan SD saja bisa Nduk. Yaampyuun.”
Gendis pada saat itu merasa dipermalukan di depan banyak orang oleh Bu Broto. Bu Broto terus membanding-bandingkan Gendis dengan anaknya yang tamatan SMP, yang sudah bisa membelikan orang tuannya TV. Gendis hanya bisa mematung menahan malu dan menelan ludah dengan berat.
Kemudian Gendis segera membayar belanjanya dan segera mungkin meninggalkan tempat itu, karena Gendis sudah tidak tahan lagi menahan sakit hati akibat ucapan Bu Broto. Sesampainya di rumah, Gendis menaruh belanjaannya di meja makan dan kemudian Gendis masuk ke dalam kamar tidurnya sambil menahan air mata. Perkataan Bu Broto sangat menyakiti Gendis.
Matahari semakin terik, jam dinding menunjukkan pukul satu siang. Gendis ketiduran di kamarnya. Bantal yang ditiduri Gendis basah akibat air yang turun dari matanya.
Gadis bangun dari tidurnya dan kemudian mengecek handphone-nya. Mata Gendis seketika terbelalak lebar terkejut melihat notifikasi email yang ia dapatkan, notifikasi email itu berisi bahwa Gendis keterima bekerja di pabrik yang ia lamar dan bisa mulai bekerja esok hari.
Hati Gendis sumringah mendapatkan kabar tersebut. Keesokan harinya, Gendis mulai berangkat bekerja penuh dengan semangat yang membara. Gendis akan membuktikan dan membalaskan sakit hatinya kepada orang-orang yang telah merendahkan dan mempermalukan dirinya bahwa dirinya bisa sukses dan bahkan bisa melebihi yang merendahkan dan mempermalukannya.
Bulan demi bulan berlalu, Gendis konsisten menyisihkan penghasilan dari bekerja sebagai karyawan pabrik dan sampai akhirnya Gendis bisa merenovasi rumahnya. Gendis bekerja dengan tekun dan gesit, sampai suatu ketika Gendis diberi kepercayaan atasannya untuk kepala gudang, kepala gudang itu yang mengecek bahan baku dan mengelola gudang.
Karier Gendis semakin ke sini prospeknya semakin bagus dan naik, sampai uang tabungan Gendis cukup untuk memulai dan membuka usaha laundry. Usaha laundry Gendis sementara dipegang dan diatur oleh kakak perempuannya dan Gendis masih tetap bekerja di pabrik itu.
Usaha laundry Gendis semakin hari semakin banyak pelanggan dan semakin besar. Orang-orang yang dulu merendahkan dirinya, sekarang menjadi baik terhadap Gendis dan ada juga yang minder, malu, dan menjauh Gendis karena dulu pernah mengejek dan merendahkan Gendis di depan banyak orang.
Bu Broto pelakunya, orang yang merendahkan dan membuat Gendis sakit hati kini jatuh miskin akibat suaminya terlilit utang. Bu Broto dikucilkan oleh tetangganya dan para tetangganya tidak ada yang mau membantu dirinya akibat Bu Broto sering julid dan suka menyakiti hati orang lain menggunakan perkataan yang keluar dari mulutnya.
Akan tetapi berbeda dari Gendis, yang mengetahui Bu Broto sedang terkena musibah. Gendis malah merangkul Bu Broto, menawarkan, dan mengajak bekerja di tempat laundry miliknya.
Bu Broto awalnya mau menolak, karena gengsi karena dulu pernah mengejek dan mempermalukan Gendis. Akan tetapi dengan melihat kondisi saat ini, Bu Broto menurunkan gengsinya dan menerima tawaran Gendis untuk bekerja di usaha laundry-nya itu untuk membantu sang kakak yang sudah kewalahan mengurusi laundry yang pelangganya tambah banyak dan mulai dikenal banyak orang yang tinggal di kotanya. Laundry Gendis terkenal bersih dan pelayananya bagus.
Dalam kejadian yang dialaminya, Gendis memperoleh banyak sekali pelajaran hidup, salah satunya yaitu jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, bangkit segera mungkin dan melakukan apa yang kamu rasa harus lakukan. Pasti Tuhan akan membantumu dan menyiapkan dan mengatur yang terbaik untuk kita.
Kita hanya berusaha dan menunggu waktu yang tepat dari Tuhan. Jika waktunya sudah tepat menurut Tuhan, Tuhan bakal segera mungkin memberikan kita, bahkan bisa lebih dari apa yang kita minta. ***
.
.
—Aulia Farah Maharani tinggal di Dadirejo RT 7 RW 2 Tirto, Kabupaten Pekalongan. Mahasiswa Fisioterapi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
.
Kisah Si Gendis. Kisah Si Gendis . Kisah Si Gendis . Kisah Si Gendis . Kisah Si Gendis .
Leave a Reply