Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 07 Desember 1980)
DANGDUT mengentak dalam diskotek. Waktu lewat tengah malam. Lelaki itu memperhatikan arlojinya untuk lebih memastikan jam berapa. Ia harus menunggu sebentar sampai kilatan lampu yang agak terang menyambar ke arahnya. Hmm. Hampir pagi. Namun Sabtu malam adalah malam panjang dan penuh dengan upacara. Itulah masalahnya. Malam yang panjang. Sepanjang apa?
Lelaki itu duduk dan diam. Perempuan di sebelahnya juga diam seperti patung. Ia melihat ke sekelilingnya, para penipu diri dan pembeli cinta tenggelam dalam asap rokok yang membuat matanya pedas. Ia menenggak sisa bir di gelasnya. Meraup kacang bawang, memasukkan ke dalam mulut, mengunyah, dan menelannya, dengan harapan pikirannya bisa menjadi agak sedikit terang. Sia-sia. Minuman itu sudah menancapkan pengaruhnya. Kepalanya mulai terasa lain. Terdengar orang-orang tertawa keras di sekelilingnya. Tawa yang kini terdengar lebih keras dari seharusnya.
Demi tugas, perempuan itu menunjuk lantai dansa dengan pandangan matanya. Lautan dangdut telah menenggelamkan manusia. Namun di antara segenap dentam yang membahana, lelaki itu menatap kelesuan pada matanya.
“Ayo…,” Perempuan itu kini menarik tangannya.
Kilatan cahaya warna-warni menerang-gelapkan wajah perempuan itu. Jika dipenggal, kepalanya bisa diletakkan di ruang pameran, pikir lelaki itu. Benda-benda apa sajakah yang melekat di wajahnya? Biru di sini, hijau di sana, sedikit hitam, sedikit ungu, ada pula bintik-bintik berkilatan di pipinya.
“Ayo,” katanya lagi.
“Malas.”
“Kok malas?”
“Ya, malas!”
“Pulang saja kalau begitu.”
“Udah dibayar, kok pakai merepet.”
Perempuan itu terdiam. Menunduk. Seperti tahu diri. Namun lelaki itu juga tampak menyesal.
Tempat itu sungguh ingar-bingar, tetapi keduanya merasakan kekosongan yang menyesakkan.
“Helga… Kamu bilang tadi Helga, kan, namamu?”
“Ah, tidak pentinglah nama-nama…”
“Tapi kamu bilang Helga?”
“Kamu dengarnya apa?”
“Helga.”
“Kalau begitu, ya, Helga.”
“Itu namamu, kan?”
“Bukan.”
“Jadi namamu sebetulnya siapa?”
“Namaku? Tidak penting nama di sini.”
“Jadi yang penting apa?”
“Nomorku.”
“Nomormu?”
“Ya, Nomor 19.”
Wajah perempuan itu tenggelam dalam duka. Lantai dansa seperti neraka. Mereka yang bergoyang dalam entakan dan dentam seperti para pendosa yang sedang dibakar.
Lelaki itu melihat arlojinya lagi.
“Kamu sudah boleh pulang?”
“Mana boleh. Kecuali kamu bayar waktunya sampai waktunya pulang.”
“Oh, begitu….”
Kali ini perempuan itu cepat tanggap.
“Kita keluar kalau begitu ya? Kupanggilkan Mama-san!”
***
Embun dan malam. Langkah yang pelan. Si Nomor 19 melirik lelaki itu. Seorang lelaki biasa, begitu biasa, sama juga dengan dirinya. Seorang perempuan yang terlalu tidak penting. Tiada seorang pun tahu siapa dirinya. Bahkan dirinya pun tiada ingin mengetahui siapakah dirinya itu. Hanya sebuah nomor di balik kaca.
“Nomor 19!”
Itulah yang mempertemukannya dengan lelaki itu. Dari bagian dalam kaca, dia tak pernah akan tahu lelaki macam apa yang akan menunjuknya dan berkata kepada Mama-san, “Yang itu, ya, Nomor 19 itu.”
Nomor itu tersemat di dadanya, tertulis dengan spidol tebal-tebal pada kertas lebar, sehingga dari jauh terlihat sangat jelas.
“Helga!”
Begitulah perempuan itu akan dipanggil. Jelas nama yang hanya berlaku di tempat itu saja. Nama yang hanya berlaku di waktu malam, yang kelam, begitu kelam, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih kelam, dan akan tetap selalu lebih kelam baginya karena warna dan cahaya tak pernah dilihatnya sebagai sesuatu yang nyata, ketika segala suara hanya mengasingkan dirinya dalam kekeluan yang sungguh-sungguh lama.
Keduanya menapaki aspal yang dingin. Bulan tergantung di langit. Gelandangan memeluk lututnya di emper toko.
Seperti yang biasa dilakukannya kepada setiap lelaki, dia melingkarkan tangannya ke pinggang lelaki itu, dan lelaki itu pun meletakkan tangan di bahunya.
Tidak seperti biasa, kini perempuan itu tidak terlalu merasa hatinya membatu.
“Kamu percaya kepada nasib?” Dengan hati-hati dia bertanya.
“Aku tidak tahu apa yang harus kupercaya dalam hidup ini.”
“Aku merasa hidup ini sia-sia.”
“Itu juga aku tidak percaya. Jelek-jelek lumayanlah hidup ini. Bisa minum bir pletok, kopi luwak, maupun makan sate Kim Tek.”
Perempuan Nomor 19 itu tahu, lelaki ini masih sedikit mabuk. Namun apa salahnya sedikit mabuk? Perempuan itu tiba-tiba seperti merasa agak sedikit lebih berbahagia.
“Juga dengan kehidupanku?”
“Kehidupan macam apa pun!”
Mereka berdua masih menyeret langkahnya. Kepalanya di dada lelaki itu, tangannya melingkar dengan ketat. Dia tidak ingin tahu apa-apa lagi tentang dunia, karena seperti telah tiba di tempat yang paling diinginkannya.
Apa yang diinginkannya dalam hidup ini sungguh-sungguh sederhana. Duduk merenda sambil memandang keluar jendela, sementara dari radio terdengar adegan sandiwara yang mengharukan. Di tempat kosnya, petak kamar-kamar berdinding tripleks tempat para perempuan penghibur dikandangkan untuk tidur sepanjang siang, dia tak bisa merenda di tengah perempuan-perempuan yang setiap hari bercerita dengan tertawa-tawa tentang lelaki yang semalam dikencaninya. Memang ada jendela di sana, tetapi di luar jendela hanyalah tembok sebuah gang. Belum lagi baunya, karena bau comberan di depan tempat kos itu mengembara ke dalam rumah ketika udara begitu panas.
Tiada lagi sandiwara radio yang menyenangkan. Hanya ada perempuan-perempuan yang mengembuskan asap rokok mentol, dengan celana pendek dan kaos singlet, yang kakinya naik ke atas kursi sambil mengucapkan kalimat-kalimat yang kurang menambah mutu kehidupan. Kepada mereka dia suka memandang dengan mata penuh belas, tetapi kepada dirinya mereka suka memandangnya sebagai perempuan malang.
Benarkah dirinya perempuan yang malang, hanya karena merasa tidak terlalu bahagia berada di antara perempuan-perempuan yang dengan suka dan rela menjual cinta?
Di dada lelaki itu, dirinya tidak butuh apa-apa lagi dari dunia ini.
***
Bau minuman keras murahan memasuki hidungnya pada dini hari itu. Lelaki yang dipeluknya masih setengah mabuk, dan tidak mampu melakukan apa pun, ketika tangannya ditarik dan dientakkan sampai pelukannya terlepas.
“Kalian lihat, ini perempuan sombong itu!”
Di hadapannya tampaklah gerombolan malam itu, gerombolan serigala liar yang berkeliaran setiap malam, dan hanya malam, karena malam bermakna gelap dan dalam kegelapan terdapatlah perasaan betapa siapa diri mereka tiada akan jelas dalam pandangan. Diri mereka yang tercela dan hina, yang hanya mengenal bahasa serigala, dan tiada mungkin lain selain serigala, karena kehidupan dalam dunia terang bukanlah tempat mereka.
Dalam dunia terang mereka hanyalah orang bodoh, dalam dunia gelap mereka adalah gerombolan serigala. Pada dini hari, selama dunia masih gelap, mereka masih serigala—dan kini gerombolan serigala itu menggeram-geram mengitari kedua manusia yang masih saling tidak mengenal nama masing-masing itu.
“Ya, ini dia orangnya! Perempuan yang jual mahal!”
“Semua perempuan di tempat dia sudah bayar sama kita, kalau belum punya uang, mereka tetap bayar dengan mereka punya cara!”
“Perempuan ini saja yang berani menghina, asal dibayar dengan siapa saja mau dia, kita dipandangnya sebelah mata!”
“Ayo! Kita bikin pesta!”
Dunia lantas menjadi gelap bagi Nomor 19. Lelaki setengah mabuk yang mencoba membelanya telah tumbang dan terus-menerus ditendang. Sempat dilihatnya merayap di aspal dengan wajah berdarah.
***
Sisa bulan melongok. Gerimis menyempurnakan mimpi buruk. Lelaki itu merasakan perihnya luka di wajah dan bibirnya, tetapi yang tidaklah seperih luka di hatinya. Ia telungkup di lapangan rumput di samping jalan. Ketika matanya terbuka ia melihat semut berjalan. Perjalanan semut-semut tertahan tetesan embun. Ia mengangkat kepala. Laron beterbangan. Ia mencari perempuan itu.
Gerimis masih terus turun. Perempuan yang pada pipinya masih terdapat sisa-sisa bintik berkilatan itu merasakan tubuhnya seperti terpotong-potong. Dia yang terkapar mencoba mengangkat kepala dan melihat busananya sudah tercabik-cabik. Tubuhnya pun penuh lebam dan luka, karena secara sadar maupun tak sadar ia terus-menerus melawan ketika terus-menerus dianiaya. Sebelas serigala yang telah melakukan rudapaksa itu sudah hilang lenyap bersama datangnya cahaya.
Kemudian dilihatnya lelaki yang wajahnya penuh darah mengering, tetapi dibasahi gerimis, sedang merayap ke arahnya.
Ia tidak kenal lelaki itu, lelaki itu pun tak mengenalnya. Namun tiada lagi yang mereka kenali di dunia ini selain diri mereka satu sama lain.
“Helga…,” kata lelaki itu.
“Itu bukan namaku.”
“Jadi siapa namamu sebenarnya?”
“Nomor Sembilan Belas….”
Wajah perempuan itu sakit ketika mencoba tersenyum, lelaki itu seperti tidak kuat merayap lebih jauh lagi. Hanya bisa mengulurkan tangan, yang segera disambutnya dengan uluran tangan pula.
Gerimis turun tak teratur, terkadang seperti akan reda, tetapi lantas deras kembali. Seperti nasib yang tidak jelas. ***
.
.
Yogyakarta, November 1980
.
Salome. Salome. Salome. Salome. Salome. Salome. Salome.
Leave a Reply