Cerpen Martini (Republika, 29 Januari 2012)
SUAMI istri renta itu duduk berdua di bawah rerimbunan pohon-pohon tua nan besar di kebun mereka. Satu batang randu, beberapa batang jati, ada juga pohon sukun dan entah pohon apalagi berjajar tak rapi, menjulang memenuhi kebun.
Kebun itu sempit saja, dengan pinggirannya dipenuhi pokok-pokok kelapa yang sepertinya belum begitu lama ditanam, mungkin baru dua tiga tahun belakangan. Salah satu ujungnya adalah rumah mereka dan ujung yang lain adalah sawah mereka. Tak luas juga, dengan kedalaman yang tak lazim disebut sawah karena terlalu dalam. Bagian tanahnya sudah digali sedalam satu setengah meter atau mungkin juga dua meter. Mereka menyewakannya pada pembuat batu bata beberapa waktu lalu. Setelah masa sewa habis, mereka kembali menanami tanah itu.
Setiap pagi mereka beriringan ke sawah, sebentar kemudian ketika dhuha beranjak naik, mereka pun naik ke kebun. Duduk berdampingan menghadap ke sawah. Si pria duduk menekuk lutut bercelana komprang hitam dan bertelanjang dada. Sementara, si wanita duduk berselonjor kaki berkain jarit selutut dan berkebaya hitam dengan dua lengan bertumpu ke arah belakang tubuhnya. Mereka akan bertahan di sana hingga lewat waktu Zhuhur untuk kemudian kembali beriringan menuju rumah. Setelah Ashar, biasanya mereka muncul lagi di sawah atau kadang mereka tiba-tiba muncul menjelang Maghrib. Tak usah heran kalau aku begitu hafal kegiatan mereka. Mereka tinggal di belakang rumahku.
Sebenarnya, aku belum lama memperhatikan mereka karena memang aku jarang berada di rumah. Tapi, ketika suatu kali aku pulang dan hendak ke masjid dengan langkah-langkah cepat, aku berpapasan dengan salah satu dari mereka. “Masya Allah …!” pekikku dengan kaki mencengkeram tanah dan tubuh condong hampir 45 derajat ke depan. Sosok di depanku pun seketika berhenti dan susah payah mendongak ke atas. Tubuh bungkuknya bertambah bungkuk dengan beban lumayan besar di punggungnya.
“Tindak mesjid Mas Tomo? (Mau pergi ke masjid Mas Tomo?)”, suara serak si nenek tak menunjukkan kekagetan. Wah, masih awas juga pengelihatannya.
Aku mengangguk, entah terlihat entah tidak. “Mau ke mana, Mbah?” Aku melirik ke punggungnya.
“Niki lho mas, ndugekke gori pesenane Welas, monggo.… (Ini lho Mas, mengantar nangka pesanan Welas, mari ….)”, jawabnya berlalu dari hadapanku.
Aku meringis bingung. Ini sudah Maghrib, tentu saja hari tak terang lagi. Yu Welas rumahnya di seberang tanah persawahan yang lumayan luas. Berarti Mbah Kromo tadi harus menyeberangi sawah-sawah tanpa penerangan, ditambah lagi tiga parit irigasi yang melintang di antara sawah-sawah tersebut. Membayangkan itu, aku pun berlari mengejar Mbah Kromo, jikalau bisa mengantarnya setelah Maghrib. Tapi sepertinya, Mbah Kromo sudah masuk ke salah satu pematang sawah yang rumpun-rumpun jagungnya mencapai puncak tertinggi yang banyak berjajar di tiap batas sawah. Tubuh bungkuknya tentu saja tak jelas terlihat. Karena kebungkukannya sudah luar biasa, tepat sembilan puluh derajat ke depan. Sementara, masjid kampung sudah menyuarakan ikamah. Sekarang, aku pun bergegas berputar arah, tak ingin ketinggalan jamaah.
Mulai saat itu, aku jadi memperhatikan mereka. Usianya sudah lebih dari 65 tahun. Si kakek jika berjalan sudah sangat kerepotan dengan posisi lutut menekuk ke depan dan bagian perut ke atas hampir menengadah. Dia bungkuk ke belakang. Kemudian si nenek, ya itu tadi bungkuk ke depan tepat 90 derajat dengan tambahan lutut yang juga menekuk ke depan. Dua-duanya selalu menggunakan bantuan tongkat saat bepergian.
Mereka tinggal berdua saja di rumah mereka, di belakang rumahku. Dua anak perempuan mereka telah menikah dan tinggal bersama suami masing-masing, tapi masih di desa itu juga. Kehidupan anak-anak mereka juga berkecukupan, setiap pagi bergantian mengantar makanan untuk dua orang tua tersebut. Beberapa kali mereka membujuk sepasang orang tua itu untuk tinggal dengan salah satu dari mereka, tapi selalu ditolak. Mereka memilih tinggal di rumah berdua dan tetap bekerja keras di sawah mereka.
Aku sendiri heran, untuk apa mereka bekerja sekeras itu. Sangat miris melihat kakek tua itu mengayunkan cangkulnya, oh, bukan kakek tua yang mencangkul, tapi sang nenek. Karena tentu saja kakek tua itu kesulitan mencangkul, lihat saja kondisi badannya. Kakek tua lebih banyak melakukan pekerjaannya dengan duduk, tak peduli tanah sawah yang berlumpur.
Pernah suatu kali, hari sudah mulai gelap, azan Maghrib tinggal beberapa menit lagi. Dua kakek nenek itu tampak masih sibuk di sawah mereka, masih berjibaku dengan dengan lumpur. Sampai akhirnya mereka beranjak juga saat azan sudah hampir usai. Aku asyik terpaku mengamati mereka dengan sarung di tangan. Tiba-tiba tubuh bungkuk nenek tua itu jatuh tersuruk memeluk pematang sawah. Kakek tua yang kaget menengok dan kehilangan keseimbangan dan jatuh terpelanting. Tak hanya memeluk pematang, tapi jatuh tercebur ke genangan sawah yang penuh lumpur. Secara refleks aku berlari dan membantu mereka bangkit.
“Mbok sudah to Mbah, di rumah saja. Istirahat, perbanyak ibadah,” kataku spontan mengeluarkan unekunekku.
“Walah … Mas Tomo itu, seperti kiai saja bicaranya,” kata Mbah Kromo setelah pulih keseimbangannya. Sedang kakek Kromo susah payah melangkahkan kakinya yang menjadi sangat licin berbalut lumpur. Aku melongo, sedikit geli, banyak prihatin. Bukan hanya terpaksa ketinggalan jamaah, bahkan aku harus mengulang mandiku tadi sore karena lumpur di beberapa bagian tubuhku.
“Sudahlah Mas, bisa stres kamu ngurusin orang tua itu,” kata Ibu menggeleng-nggelengkan kepala. “Mas” adalah panggilan kebesaranku di rumah, pemberian ibu untuk anak pertamanya ini. Ibu bukanlah wanita yang tak punya kepedulian terhadap sepasang kakek nenek tetangga kami itu. Tadinya justru ibulah yang paling peduli pada mereka. Berbagi makanan sudah biasa, mengingatkan dan mengajak ke masjid atau ke pengajian rutin dilakukan. Tapi, sekian lama usahanya tak membuahkan hasil, ibu memilih menghentikan aksinya. Bahkan, kadang bersikap tak peduli. Mungkin beliau terlalu berambisi hingga akhirnya jatuh kecewa.
Memang mengenaskan, mereka sama sekali tak menjalankan shalat lima waktu meski beragama Islam. Bahkan shalat Idhul Fitri dan Idhul Adha yang setahun hanya sekali pun belum pernah mereka kerjakan. Padahal, orang-orang tua lain yang seangkatan mereka yang tadinya tak menjalankan shalat kini banyak yang berubah. Ingat umur dan ajal, kata mereka. Tapi, tidak dengan dua orang tua ini. Mengapa Allah menutup hati mereka begitu kuat, entahlah.
Suatu hari aku bertemu dengan Aris, cucu kakek dan nenek tetanggaku itu. Dia sebaya denganku. Dia Sukses membuka sebuah bengkel variasi motor.
“Wah … hebat kamu Ris, ternyata kamu mewarisi jiwa kerja keras kakek nenekmu,” kataku sedikit bercanda.
“Ah, kau bisa saja Tom, apa kabar mereka? Sudah lama tak berkunjung ke sana,” Aris menjawab sambil sibuk dengan motor di depannya. Aku pun bercerita tentang mereka pada Aris lengkap dengan keherananku. Aris menghela nafas, menghentikan pekerjaannya dan duduk di sampingku.
“Itu juga yang dipikirkan ibuku, Tom. Ibuku merasa sudah kehabisan cara untuk membujuk si mbah. Ibu juga tak mengerti, mengapa mereka tetap ingin bekerja sekeras itu hingga meninggalkan kewajiban sebagai orang Islam,” kata Aris.
“Doa, Ris, mungkin selama ini kalian kurang mendoakan si mbah,” jawabku menepuk pundak Aris. Aku yakin Aris paham, dia dulu ketua remaja masjid kampung kami.
Bekerja keras memang tak ada salahnya, dianjurkan malah. Tapi, ketika kondisi sudah tampak seperti memaksakan diri, hal itu jadi terlihat aneh, berlebihan. Entah ambisi jenis apa itu. Kebutuhan hidup sudah tercukupi, tagihan tak ada lagi, ingin apa sudah ada yang siap melayani.
Sedang seruan untuk segera menjalankan perintah-Nya sudah menanti. Waktu untuk hidup jelas sudah tak lama lagi. Lalu, apa yang dicari? Menumpuk harta seperti Qorun? Ah, aku menghalau pikiran yang tak tentu. Kuingat lagi kata Allah dalam kitab-Nya, surat al-Ghasyiyah ayat 22 bahwa kita bukan penguasa mereka, tugas kita hanya mengingatkan. Hidayah hak prerogatif Allah.
Maka, ya sudahlah, tiap kali mudik di akhir minggu, aku tetap ke masjid lewat depan rumah mereka. Seperti biasanya, mereka selalu tampak sedang leyeh-leyeh kecapaian. Dan, selalu masih kusapa mereka dengan sapaan yang sama tiap minggu.
“Monggo Mbah (Mari Mbah).”
“Nggih Mas Tomo, monggo… (Ya, Mas Tomo, mari…),” jawab mereka selalu.
Beberapa minggu berlalu, aku tak pulang di akhir minggu. Dan, betapa terkejutnya saat pulang kujumpai rumah sepasang kakek nenek itu sudah rata dengan tanah. Tak sabar kutanyakan pada ibu apa yang terjadi.
Dari cerita ibu, tahulah aku apa yang terjadi. Dini hari Jumat, seminggu yang lalu rumah mereka terbakar, konsleting listrik. Tak segera diketahui karena semua orang sedang lelap-lelapnya tidur. Termasuk pasangan si mbah tersebut, mereka baru sadar setelah api sangat besar. Dan, tentu saja kondisi tubuh mereka tak dapat dikompromikan untuk bergerak cepat menyelamatkan diri. Kakek Kromo meninggal beberapa saat setelah diselamatkan dari kobaran api, sedang nenek Kromo meninggal Sabtu pagi di rumah sakit. Entah perasaan apa yang muncul di benakku, aku bingung doa apa yang harus kupanjatkan untuk mereka. Akhirnya, aku memilih tak mendoakan apa-apa. (*)
.
.
Penulis lahir di Cilacap, 1 Maret 1984. Saat ini aktif sebagai pengajar di SIBI BIAS Temanggung, Jawa Tengah.
.
.
dawam
Tragis.Peringatan bagi kita untuk lebih “pintar” bagaimana mengisi lembaran demi lembaran kehidupan yang hanya sekali ini.
Dhiepoer
kuasa tetap d tangan Tuhan..