Cerpen T Agus Khaidir (Analisa, 22 Desember 2013)
KONON George Soros pernah bilang begini: kesempatan tak seperti angin yang bisa pergi dan datang kapan saja. Maka Soros sialan itu pun memburu angin ke tiap penjuru. Memburu kesempatan, dan ia—setidaknya dari sudut pandang Majalah Fortune dan Forbes—menjadi pemenang dan banyak orang kemudian membentuk sekte untuk memuja dan mengikutinya secara setia dan membabi buta.
Persoalannya, banyak di antara pengikut sekte itu lupa betapa sesungguhnya rencana mereka tak selalu sejalan dengan rencana Yang Kuasa.
Contohnya kami warga kompleks perumahan kelas bawah ini. Pontang-panting memburu hidup tetap saja melata. Berderet-deret kami tinggal di rumah yang sempit, sumpek, dan kerap bikin jengkel, terutama di saat-saat musim hujan seperti sekarang. Drainase yang dirancang asal jadi menyebabkan air menyerbu ke dalam rumah dan membuat segala perabot murahan yang kami beli dari hasil menabung bertahun-tahun lapuk sebelum waktunya. Belum lagi persoalan listrik mati yang seringkali lebih rutin dari jadwal makan obat. Begitu pun kami tetap merasa patut untuk bersyukur karena jelek-jelek begini rumah kami milik sendiri. Dengan bahasa lebih sederhana, bermacam masalah sebisa mungkin coba kami terima, meski tidak dengan lapang dada.
Sampai datang tetangga baru itu.
Namanya Rahmat Yanis. Setengah baya. Mungkin 45-50. Proporsional: 170-175 cm/70-72 kg. Janggutnya lebat tumbuh memanjang kira-kira sejengkal dan dikuncir. Satu sore ia datang memanggul buntalan kain di pundak. Ujung buntalan itu ia kaitkan ke sebatang tongkat kayu. Tidak ada barang-barang lain karena rumah itu memang disewakan berikut perabotannya. Menurut Anamira (pemilik rumah yang tinggal di kota lain), Rahmat Yanis telah membayar lunas uang sewa untuk dua tahun sekaligus.
Tiada jelas benar pula asal-usul dan pekerjaan Rahmat Yanis ini. Pagi-pagi sekali ia telah keluar rumah. Pakaiannya selalu necis. Kemeja, celana pantolan, dan berdasi layaknya pegawai kantoran. Ia baru kembali selepas tengah malam.
“Saya tidak bekerja, sahib,” katanya tiap kali ada yang bertanya.
“Tapi Anda berpakaian rapi dan berdasi. Sepatu Anda saja merek Bally.”
“Ah, jangan tertipu penampilan. Ini semua cuma gaya-gayaan.”
Tentu saja kami tak percaya. Kami yakin Rahmat Yanis menyembunyikan sesuatu. Mula-mula ada yang menebaknya sebagai intel. Tapi kelompok yang menebak demikian ternyata tak mampu memberi argumentasi kenapa mereka sampai pada tebakan ini kecuali sekadar menyebut gaya Rahmat Yanis mirip intel. Argumentasi yang sama sekali tak meyakinkan. Dulu kami pernah punya tetangga intel dan penampilannya justru selalu kelihatan kumuh. Anaknya yang bungsu, yang kerap mabuk-mabukan bersama para pemuda kampung sebelah, menyebut bapaknya paling sering menyamar sebagai tukang becak, petugas pembersih sampah, dan penjual bakso.
Tebakan lain berhubungan dengan maksiat. Para petugas ronda mengaku beberapa kali memergokinya pulang bersama perempuan-perempuan muda.
“Jangan-jangan dia germo.”
“Atau bagian dari sindikat penjualan perempuan ke luar negeri.”
“Atau memang maniak seks.”
“Maniak?”
“Iya, main seks keroyokan, begitu.”
“Bah! Kayak di felem blue, ya.”
“Cilaka. Ketahuan kau sering nonton, ya. Hahaha!”
“Ceweknya bagaimana?”
“Maksudmu?”
“Cantik-cantik nggak?”
“Bukan cuma cantik. Seksi juga. Bahenol seperti pedangdut koplo.”
“Walah!”
Dari hari ke hari pergunjingan makin seru. Kemudian ada perkembangan baru. Rahmat Yanis tak lagi berpakaian necis. Kemeja, celana pantolan, dan dasinya berganti baju terusan mirip jubah. Mirip busana panggung Rama Aipama, pedangdut era 1990an. Bedanya, jubah Rahmat Yanis selalu berwarna putih. Dan sorban melilit di kepalanya.
“Ketahuilah, wahai sahib sekalian. Sesungguhnya saya ini seorang sufi.”
Pengakuan mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi, sejak itu Rahmat Yanis makin berani memasukkan perempuan ke rumahnya. Ia bahkan tak lagi menunggu sampai lewat tengah malam. Tanpa sungkan ia berdiri di pintu depan dan menyambut sendiri kedatangan perempuan-perempuan itu. Tak peduli pada tatap jengah kami.
Rasa penasaran yang mengendap cepat berubah jadi dongkol, lalu marah.
Satu malam usai perwiridan rutin, kami berembuk. Sengit, lantaran masing-masing kami sudah terlanjur dibekap emosi.
“Tetangga baru itu memang tak beradab. Dia kira kompleks ini lokalisasi!”
“Jangan-jangan dia memang mau buka rumah bordil!”
“Bakar saja rumahnya!”
“Ya-ya. Bakar!”
“Hei, jangan! Itu rumah Ibu Mira.”
“Bunuh!!!”
“Aduh! Nanti kita berurusan dengan polisi. Malah repot jadinya.”
“Usir saja!”
“Iya, ya. Usir!”
“Usir!!!”
“Jangan keburu memvonis, saudara-saudara. Kita belum punya bukti kuat kalau tetangga baru itu memang hendak menjadikan rumahnya sebagai rumah bordil.”
Seorang mengacungkan jari. Interupsi.
“Perempuan-perempuan muda itu sudah lebih dari sekadar bukti!”
“Belum tentu. Apa saudara-saudara pernah melihat dengan mata kepala sendiri di rumah itu terjadi apa yang kita sangkakan?”
“Jadi apa yang harus kita lakukan, Ketua? Tak mungkin diam saja!”
Keriuhan pecah. Masing-masing mengeluarkan gumam tak jelas. Tanda tak puas. Kepala Lingkungan mengangkat kedua tangannya.
“Kita tidak akan berdiam diri. Sebagai kepala lingkungan bagaimana pun saya tak mau nama baik kompleks kita tercoreng. Tapi kita tetap tidak boleh bertindak gegabah, saudara-saudara. Alangkah lebih baik jika kita mencari tahu kebenarannya lebih dahulu.”
Rembukan selesai. Rapat warga bubar. Saat itulah kami mendengar suara orang mengaji. Asal suara itu dari rumah Rahmat Yanis.
***
Persoalan jadi lebih ruwet. Ini bukan lagi hanya menyangkut Rahmat Yanis dan para perempuan muda dan sangkaan kami terkait aktivitas prostitusi terselubung. Bukan lagi sufi. Rahmat Yanis telah pula mengaku titisan malaikat pembawa wahyu dan perempuan-perempuan muda itu adalah jemaahnya.
“Saya sendiri yang akan mengantarkan mereka ke surga, wahai sahib sekalian. Mereka akan naik ke langit sebagai bidadari yang suci setelah tubuh dan jiwa mereka menyatu dengan tubuh dan jiwa saya.”
Wajah kepala lingkungan seketika memucat. Ia cepat menghubungi camat. Menghubungi kapolsek dan koramil. Menghubungi sejumlah pemuka masyarakat dan wakil rakyat guna meminta petunjuk lebih lanjut.
Tapi kami bergerak lebih cepat. Jauh lebih cepat.
***
Peristiwa ini seperti baru terjadi kemarin. Padahal sudah tiga tahun berlalu. Dan sepekan sejak kami membakar rumah itu berikut isinya—termasuk Rahmat Yanis dan para bidadarinya tentu saja—malam di komplek perumahan kami yang semula amat riuh berubah jadi mencekam. Selepas pukul delapan tidak ada lagi anak-anak bermain di halaman. Pedagang mie ayam, bakso, martabak, sate padang, dan bandrek, tak pernah lagi melintas.
Banyak tetangga kami memilih pindah. Kami yang bertahan di sini bukan karena berani. Tapi semata belum punya uang untuk membeli atau menyewa di tempat lain.
Dalam kegelapan, puing rumah yang pernah ditempati Rahmat Yanis seperti punggung raksasa yang tertidur. Di malam-malam tertentu dari sana kami mendengar suara-suara. Entah suara apa, tapi seperti sesuatu yang tak asing. Seperti keluh, seperti jerit, seperti desah, seperti tawa. Terdengar seiring munculnya titik-titik cahaya. Setelah berputar-putar sejenak di antara puing rumah, titik-titik cahaya itu akan melesat-lesat berkelebatan, berloncatan, berkejaran, di atas genting rumah-rumah kami. Sejumlah tukang foto profesional yang bekerja untuk media-media asing pernah memotretnya, tapi hasil jepretan mereka buram belaka. ***
.
.
Medan, 2013
.
Membakar Bidadari. Membakar Bidadari. Membakar Bidadari. Membakar Bidadari.
Leave a Reply