Cerpen, Ichwan Arifin, Suara Merdeka

Musim Semi di Budapest

Musim Semi di Budapest - Cerpen Ichwan Arifin
4.2
(5)

Cerpen Ichwan Arifin (Suara Merdeka, 25 September 2022)

KUPUTUSKAN menerima tawaran Malka bertemu di Budapest. Perempuan berdarah campuran Indonesia-Hongaria dan Yahudi itu sudah lama tinggal di kota tersebut. Sesuai namanya, Malka, dari Bahasa Ibrani, yang artinya ratu. Parasnya cantik dan anggun bagai ratu. Mata bening kebiruan. Kulitnya putih bersih. Lebih terkesan sebagai orang Asia.

Jauh sebelumnya, kami bertemu di Jakarta. Dia sedang melakukan riset tentang keragaman budaya dan keberagaman masyarakat Indonesia. Aku menemaninya berkeliling ke beberapa kota. Bahasa Indonesianya sangat bagus. Kami sering berdiskusi banyak hal. Mulai dari hal yang serius hingga yang “receh-receh”.

Risetnya sangat singkat. Sekitar 6 bulan telah usai. Selama survey, aku menemaninya mengunjungi beberapa kota di Jawa maupun luar Jawa. Bertemu setiap hari, melakukan perjalanan bersama dalam durasi waktu lama, membuat hubungan kami menjadi sangat dekat.

Kedekatan itu membuahkan gosip yang sering dilontarkan teman-teman. Leah, teman dekatnya atau teman-temanku, Donny, Prisca, dan Fanny sering menggoda kami berdua. Mereka mendorong kedekatan kami berdua menuju ke arah yang lebih serius.

Aku hanya tersenyum merespons candaan tersebut. Aku tidak mau berharap banyak pada hubungan yang pada akhirnya bermuara pada kekecewaan. Kalau menurut anak kekinian, istilahnya di-“pehape”atau mem-“pehape” alias memberikan harapan palsu.

Jadi, aku biarkan mengalir mengikuti waktu. Tak terasa riset itu pun berakhir. Enam bulan ternyata waktu yang singkat. Malka pun kembali ke Budapest. Momen perpisahan itu terasa sangat berat.

“Bima, jika ada kesempatan ke Eropa, berkunjunglah ke Budapest. I am sure you will enjoy there. Banyak tempat menarik dan bersejarah. I will be happy to host you,” kata Malka saat berpamitan.

Aku masih ingat, tubuhnya yang tinggi memelukku dengan erat. Aku pun membalasnya dengan hangat. “Pasti aku akan ke sana. Safe flight,” kataku berbisik di telinganya. Meski sebenarnya tidak tahu pasti apakah kesempatan itu akan ada.

Dari sudut matanya, meleleh air mata, “Thanks, kamu sudah baik banget. Aku tunggu,” balasnya.

***

Beberapa tahun kemudian, aku ada agenda di Wina (Vienna), Austria. Meski beda negara namun Wina dengan Budapest, Ibu Kota Hongaria, jaraknya tidak terlalu jauh. Apalagi Austria dan Hongaria sama-sama anggota Uni Eropa (UE). Cukup dengan Visa Schengen, bebas pergi ke negara mana saja, selama negara tersebut anggota UE. Karena itu, saat menyusun jadwal perjalanan, Budapest masuk dalam daftar tempat yang kutuju. Saat kukabarkan rencana tersebut, Malka merespons sangat antusias.

Aku terbang dengan maskapai dari Negeri Tulip sehingga transit di Bandara Schippol, Amsterdam, sebelum ke Vienna International Airport. Setelah kutuntaskan agenda di Wina, aku lanjutkan perjalanan ke Budapest. Kereta api jadi pilihan moda transportasi. Selain nyaman, tiketnya juga murah. Rute kereta antarnegara tersebut menyusuri kawasan pedesaan Eropa. Pemandangannya sangat indah dan tidak membosankan.

Baca juga  Renjana Rindu Datang Memburu

Tak banyak penumpang pada hari itu. Aku terhanyut dalam lamunan. Beberapa buku yang tadinya ingin kubaca dalam perjalanan, akhirnya tetap tersusun rapi dalam tas. Lamunan telah membunuh waktu perjalanan.

Tak terasa 2,5 jam perjalanan telah berlalu. Kereta perlahan memasuki kota Budapest. Hujan rintik menyambut saat tiba di Stasiun Keleti Plyaudva, Budapest. Stasiun ini merupakan ujung perjalanan kereta. Bangunannya tua. Didominasi warna krem atau cokelat muda. Desain arsitekturnya menganut “eclecticism”. Dibandingkan dengan stasiun atau fasilitas public di wilayah Eropa Barat, stasiun ini terlihat lebih kotor.

Saat itu musim semi. Namun hawa masih terasa dingin. Berubah jadi hangat saat kulihat Malka berlari kecil menyambutku. “Hai Bima, aku senang banget! Akhirnya… kamu sampai juga di sini,” kata Malka sembari memelukku erat.

Aku tersenyum lebar dan menyambut pelukannya dengan hangat. “Aku penuhi janjiku,” jawabku. Malka memintaku tinggal di apartemennya. Namun aku memilih hotel yang tak terlalu jauh.

Sore itu, ia mengajakku menikmati suasana kota. Budapest, seperti kota-kota lainnya di Eropa, bertaburan bangunan klasik. Entah bergaya art nouveau, gotik atau baroque. Gaya itu ditemukan pada fasilitas publik, kastil warisan abad pertengahan atau gedung pemerintahan. Semuanya terpelihara baik dan masih dapat dinikmati.

Saat itu, Budapest memasuki musim semi. Waktu yang tepat untuk berkunjung ke sana. Suhu relatif bersahabat. Apalagi bagi orang yang terbiasa hidup di daerah tropis. Udara tidak terlalu dingin. Taman-taman di ruang publik dipenuhi bunga yang sedang mekar. Ada juga ragam festival musim semi. Agendanya cukup banyak, di antaranya pertunjukan musik dari lintas genre seperti jazz, orchestra, dan sebagainya. Budapesti Tavaszi Fesztival merupakan salah satunya.

Malka sangat antusias menceritakan sejarah kota. Budapest pada masa silam merupakan dua wilayah berbeda, yaitu: Buda atau Obuda di bagian barat dan Pest di bagian timur. Keduanya dipisahkan Sungai Danube. Kemudian, kedua wilayah tersebut menyatu menjadi Budapest. Kota tua ini kaya dengan sejarah dan penuh pemandangan cantik. “Budapest dijuluki the Pearl of Danube,” jelas Malka.

“Iiih juelek banget… Diceritain banyak hal, malah bengong gitu,” tegurnya. Perhatianku fokus pada wajahnya yang cantik. Rambutnya yang terurai di bahu semakin menggandakan kecantikan itu.

“Hehehe, lho ini aku justru fokus dengerin ceritanya,” kataku dengan jengah. Dalam hati aku berkata, kamulah sebenarnya the Pearl of Danube alias Mutiara dari Danube itu,

Baca juga  Lelaki Tomanurung dan Seorang Perempuan Setia

Malka kemudian berbincang tentang banyak hal. Sesekali aku menimpalinya. Wajahnya memerah saat mengenang momen-momen lucu dan konyol yang dilakukan kami berdua.

“Kenapa kamu tidak tinggal di Indonesia?” tanyaku.

“Aku tidak tahu pasti alasannya kenapa papa mama dulu memutuskan pindah. Mungkin ada rasa ketidaknyamanan sebagai bagian dari kelompok minoritas. Sulit untuk dijelaskan. Kau pasti tahulah. Beberapa pergolakan politik atau kerusuhan sosial selalu membawa korban dari kalangan minoritas,” jawabnya.

“Mungkin itu pada masa lalu ya. Menurutku, saat ini, kondisi di Indonesia jauh lebih baik,” kataku.

Perempuan itu hanya tersenyum sembari merapikan rambutnya yang tertiup angin. Mungkin tidak enak ingin mendebatku.

***

Malka mengajakku ke Memento Park (Szoborpark). Sebuah museum terbuka yang didesain oleh Akos Eleod. Museum itu sangat indah dan menyentuh. Ini adalah museum tematik, mengingatkan orang tentang kediktatoran dan kejatuhannya. Area museum terbagi dua. Bagian pertama disebut “The A Sentence about Tyranny”dan bagian kedua diberi nama “The Trapezium Shaped”.

Pada bagian pertama berisi patung-patung monumental seperti Marx, Lenin, Engels dan pemimpin komunis Hongaria, serta plakat pahatan dari era komunisme. Ada kutipan menarik di situ, “Taman ini adalah tentang kediktatoran… Taman ini juga tentang demokrasi. Hanya demokrasi yang mampu memberikan kesempatan untuk membiarkan kita berpikir bebas tentang kediktatoran.”

Malka kemudian mengajakku ke tempat bersejarah lainnya. “Aku ingin kamu melihat sesuatu yang indah sekaligus sarat dengan pesan kemanusiaan. Ada juga kaitannya dengan kakek buyutku, meski aku gak tahu pasti garis yang keberapa,” katanya.

Ternyata, ia mengajaku ke tepi Sungai Danube. Pemandangannya sangat indah. Bantaran sungainya bersih dan airnya juga jernih. Di tepi sungai itu, berdiri megah gedung parlemen Hongaria. Namun bukan gedung megah itu yang ditunjuk Malka. “Coba kamu lihat sepatu-sepatu yang disusun di tepi sungai itu,” katanya sembari menunjuk ke arah puluhan sepatu kuno yang tergeletak di tepi sungai.

Ada sekitar 60 pasang sepatu terbuat dari besi dipasang di tanggul beton di tepian sungai. Desainnya berbeda-beda. Ada yang bertali di bagian atas dengan tali sepatu dibiarkan terbuka. Ada juga sepatu bot pekerja, sepatu wanita, dan sepatu kecil anak-anak. Posisinya beragam. Sebagian berdiri, sebagian lainnya berserakan, seolah-olah secara buru-buru dilepas pemiliknya.

“Sepatu-sepatu itu adalah memorial untuk mengingatkan pembantaian orang-orang Yahudi oleh the Arrow Cross Party. Jadi, di sini pun tak luput dari konflik bergelimang darah,” jelasnya.

Kubaca dalam sejarah, sekitar 1944-1945, Jerman menggulingkan pemerintahan Miklos Horthy. Budapest pun dikuasai oleh kaum fasis antisemitisme yang memerintah dengan teror. Korban utamanya adalah orang-orang Yahudi.

Sungai Danube menjadi saksi pembantaian tersebut. Mereka digiring ke tepi sungai. Tidak pandang perempuan dan anak-anak, dibunuh secara sadis. Sebelum dieksekusi, mereka diminta melepas sepatunya. Ada pula yang ditenggelamkan di dasar sungai dalam keadaan hidup. Jadi, sepatu-sepatu itu merepresentasikan orang-orang Yahudi yang dibunuh di tepi Sungai Danube.

Baca juga  Albert Tarantula

Malka terdiam, menarik napas dan termenung. Matanya tertuju pada sepatu-sepatu itu. Aku berdiri di sampingnya. Mencoba merasakan peristiwa yang terjadi pada masa lalu itu. Kupegang jemari tangannya dengan erat. Kami berdua terdiam. Mataku menengadah ke langit. Makhluk bernama manusia ini ternyata punya daya kekejaman yang melebihi binatang.

Selepas tumbangnya rezim fasis teror, Hongaria jatuh ke tangan kaum komunis. Dalam masa ini, kebebasan rakyat juga sempat terenggut. “Negeri ini memang mengalami banyak luka dalam sejarahnya. Namun, luka itu tidak dituturkan dalam narasi dendam dari generasi ke generasi,” ungkap Malka.

Mendengar itu, benakku langsung teringat situasi di Indonesia. Pada masa lalu ada pembelahan masyarakat atas nama orde, labelisasi tapol/napol dan kebijakan diskriminatif lainnya yang membelah masyarakat. Belakangan ini, diskursus politik Indonesia dipenuhi narasi fundamentalisme, intoleransi, politisasi agama dan sejenisnya yang juga berpotensi merusak fondasi kebangsaan. Konflik-konflik sosial pada masa lalu yang berlumur darah, menguatnya polarisasi masyarakat sebagai imbas eksploitasi SARA dalam politik, menambah suram wajah demokrasi dan kemanusiaan.

***

“Bima, maukah kau tinggal di sini?” tanya Malka dengan nada merajuk.

Aku terhenyak. Tidak siap merespons pertanyaan itu. Kutatap matanya yang bening. Ia terdiam, menunggu jawaban. Matanya menatapku dengan tajam.

Musim semi di Budapest sangat indah. Sangat berat untuk meninggalkannya. Bukan tentang indahnya kota. Bukan pula tentang pemandangan indah lainnya. Namun, Malka, mutiara dari Danube ini telah meluluhlantakkan perasaan dan jiwaku. Terperangkap dalam jeratan tautan rasa yang tidak mungkin diabaikan.

Perlahan kuraih kedua tangannya. Kupeluk erat tubuhnya. Ia balas memelukku dengan hangat. Kubisikkan kata-kata dengan lirih di telinganya, “Wish I could be here, but you know I can’t do that, at least for now,” kataku.

Dalam hati aku mengucap, musim semi mendatang aku pasti kembali! ***

.

.

Ichwan Arifin. Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro. Di sela-sela kesibukan bekerja di satu perusahaan migas, masih intens menulis. Beragam tulisan fiksi dan nonfiksi telah dimuat di berbagai media massa, serta menulis buku “Meretas Jalan Pembaruan” dan “Sketsa Pergolakan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia”.

.

Musim Semi di Budapest. Musim Semi di Budapest. Musim Semi di Budapest.

Loading

Average rating 4.2 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!