Cerpen, Kompas, Seno Gumira Ajidarma

Khayalan dari Dalam Bis yang Meluncur

Khayalan dari Dalam Bis yang Meluncur - Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Khayalan dari Dalam Bis yang Meluncur ilustrasi GM Sudarta/Kompas

4.4
(8)

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 01 Agustus 1982)

PERJALANAN adalah penjelajahan ke dalam diri sendiri. Dari kota ke kota tubuhku mengembara, dari bis ke bis, dari terminal ke terminal, dari restoran ke restoran, dari hotel ke hotel, tubuhku menyusuri jalanan berdebu, meluncur dari satu tempat ke tempat lain. Papan arah bersilangan menunjukkan nama tempat dan jarak perjalanan, tapi aku tak terlalu pasti arah tujuan dan waktu. Di tengah deru bis yang meluncur bagaikan gila, kenyataan dan khayalan berbaur.

“Ayo! Ponorogo!” teriak perempuan kernet itu dengan keras. Wajahnya lumayan, agak gemuk, bergelantungan di pintu belakang sambil terus berteriak-teriak.

Wajahnya itu, ya, wajahnya, tampak suram.

Akhir-akhir ini rasanya makin sering saja aku melihat wajah-wajah yang suram. Apakah sekarang musim bersedih? Atau aku baru mengetahuinya sekarang?

Wajah-wajah suram ini tampak di mana-mana, di warung-warung, di bis-bis, kereta api, di pasar, di mana saja. Namun anehnya wajah-wajah yang suram itu tetap tertawa!

Wajah-wajah yang suram, bertebaran di setiap rumah yang kumasuki. Akhirnya, aku melihat bahwa semua orang mempunyai wajah yang suram, dan kalau aku melihat orang yang wajahnya berseri-seri aku begitu yakin bahwa ia menyembunyikan kesuraman yang sangat besar di baliknya.

“Ponorogo! Ponorogo!”

Matahari berbinar, tempias pada genangan air di sawah-sawah. Debu mengepul seperti bubungan doa bagi dunia yang kumuh. Aku terkapar antara bayang-bayang angan dan kenyataan. Di sela pemandangan yang silih berganti di balik kaca jendela aku tertegun, terdampar dari satu ruang ke ruang lain.

Aku teringat pada seorang kawan dari masa kecil, mestinya kenangan bisa menyenangkan, tapi bagaimana bisa menyenangkan kalau ingatan itu timbul karena aku membaca di koran bahwa ayahnya ditahan karena penggelapan uang bermilyar rupiah?

Baca juga  Karena Rahim Istriku Dibilang Kosong

Bis melewati Klewer, Kaibon, Dolopo. Di mana-mana kutemui wajah-wajah yang susah, sarat dengan penderitaan, wajah-wajah yang menimbulkan perasaan iba.

Di sebuah warung, kuperhatikan seorang pejalan kaki. Kepalanya tunduk memandang ujung sepatu, matahari menyengat, bajunya basah oleh keringat dan mulutnya menyeringai kepanasan.

Siapakah dia? Dari mana dan mau ke mana? Mencari kerja?

Tiada air di aspal dan beton ini. Mobil-mobil bagus melesat kian kemari tiada waktu buatmu, penganggur kumal sampah masyarakat. Kerjamu bermain gitar malam-malam menyanyikan nasib, dan kamu akan tetap begitu kalau tidak berani merampok takdir orang lain….

***

Aku terbangun dengan mulut pahit sisa bir yang kuminum terlalu banyak semalam. Aku tidur di sebuah losmen. Kalau kereta api sesekali lewat di stasiun yang sepi itu, dunia terasa bergetar. Hanya satu saja yang menginap di situ, aku. Padahal kamarnya ada 25. Antara dua baris kamarnya dibatasi taman, sepi, lorong-lorongnya pun sepi. Tadi malam pemiliknya sendirian di sana, terkantuk-kantuk di muka TV.

Makin jauh bis berjalan, makin dalam aku masuk ke dalam diriku, bayang-bayang berbaur di jendela bis bagaikan potongan-potongan adegan film yang diaduk.

Aku melihat tontonan yang gila pada hari Minggu. Skuter dimuati 6 orang, yang dua orang adalah sepasang ayah dan ibu yang masih cukup muda, ayah tentu saja mengemudi dan ibu membonceng. Ibu itu memangku seorang anak umur 3 tahun, sementara tangannya yang lain merangkul pinggang suaminya, di antara dia dan suami terselip anak umur 4 tahun. Di depan, sambil berdiri dan memegang setang terdapat si sulung 6 tahun, sementara di belakang anak itu berjongkoklah adiknya si 5 tahun sambil memegang kedua kaki bapaknya erat-erat. Sudah berapa? Enam? Ini masih bisa ditambah satu lagi, yang masih berada dalam perut ibunya.

Baca juga  Terdakwa

Kendaraan mereka melaju lincah di tengah riuh jalanan Jakarta, membawa wajah-wajah yang suram.…

Dari kota ke kota aku menyandang luka. Bangun pagi hari tanpa kerja yang pasti, aku ingat berbagai hal. Matahari memancar ganas, orang-orang dalam bis bagaikan daging yang matang, wajah-wajah yang merah berleler keringat, mata yang kuyu pasrah tanpa gairah.

Harus berapa lama lagi aku mengembara? Sampai ke mana jalan ini berakhir? Sampai kapan ruang habis dan waktu selesai? Kapan kudapatkan apa yang kucari? Tak habis udara kuhirup, tak usai kekasih kugelut, hujan menyusul kemarau, menyusul hujan, menyusul kemarau lagi. Perjalanan tanpa akhir, menderu-deru, meraung sepanjang jalan. Dari kota ke kota, desa ke desa, dari ladang ke ladang, gunung, laut, gurun, dan padang rumput. Matahari, matahari yang itu-itu juga!

Dan mendadak berkelebat sebuah wajah yang tidak suram.

Wajah Pekuleh yang tua. Pekuleh yang telinganya berlubang di bawah dan di atas. Di bawah, sebagaimana umumnya lelaki Kenyah; di atas, untuk menunjukkan bahwa Pekuleh adalah seorang lelaki yang mampu mengatasi rasa sakit. Membuat lubang di telinga bagian atas, melubangi tulang rawan, sakitnya memang luar biasa.

Itu saja belum cukup. Untuk membuktikan dirinya memang lelaki, Pekuleh harus mengayau, mencari kepala orang, bertanding, dan memenggalnya dengan mandau pada kesempatan pertama. Pekuleh sudah mengalami bermacam-macam pertempuran, juga pertempuran melawan Gurkha di perbatasan, ada 18 kepala sudah dibawanya dalam keranjang yang ia anyam sendiri. Di atas para-para rumahnya yang hitam karena asap, 18 kepala orang itu berjejer. Tengkorak persembahan bagai hantu penguasa hidupnya yang penuh bermandi darah. Darah ayam, darah babi, dan darah manusia.

Potret Pekuleh yang tua kini terpampang pada sampul National Geographic. Kulitnya yang keriput bagaikan sulur-sulur rimba Kalimantan yang nyaris habis terdesak traktor dan bulldozer. Rimba Kalimantan yang akan jadi gundul.

Baca juga  Kucing Nomor Enam Takahashi Mizore

Kanjet, Amay Pekuleh, kanjet!”

Orang-orang muda itu berteriak. Dan Pekuleh yang cucunya 18 orang itu, sebanyak kepala yang telah dipenggalnya, akan segera menari di atas gong. Petikan sampe’ mengisi tangannya yang melayang bagaikan burung enggang melintas langit. Pekik peperangannya terasa buas dan purba.

Seorang turis dari New York memotretnya. Klik. Klik. Dan sekali lagi. Klik.

Langit membentang warna-warni. Biru di tengah, jingga di sebelah sana dan kelabu di sini. Di bawahnya hanya warna kekelaman hutan yang diam. Dan langit terus berubah-ubah warna. Amay Pekuleh mencelupkan tubuhnya ke sungai dan segera merasakan betapa alam telah memberi kesegaran dan kebahagiaan padanya.

Dengan movie-camera aku terus saja menembaknya, dan terkejut ketika kamera ku-panning ke kanan mengikuti anak-anak kecil yang mendayung perahu ke seberang, tiba-tiba wajahmu in-frame. Bagaimana mungkin wajahmu di Jakarta, dengan matamu yang berbinar-binar itu, bisa masuk tangkapan kamera di Kalimantan?

Sebetulnya di manakah aku?

Kita seringkali mengalami saat-saat ketika ruang dan waktu ternyata tidak penting lagi. Bayang-bayang kehidupan berkelebat bagaikan gambaran dalam layar bioskop. Dunia sekarang ini bukan saja seperti panggung sandiwara, tapi seperti film. Ya, menurutku lebih tepat begitu. Hidup itu seperti film, seperti mimpi.

Bis meluncur. Bumi berputar. ***

.

.

Long Lees-Ponorogo-Jakarta, 1981-1982

.

Khayalan dari Dalam Bis yang Meluncur. Khayalan dari Dalam Bis yang Meluncur . Khayalan dari Dalam Bis yang Meluncur .

Loading

Average rating 4.4 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!