Cerpen Heinrich Theodor Böll (Horison No. 7 Juli 1982 Tahun XVII)
LANTAI bawah tanah rumah tempat kami dulu tinggal disewakan pada seorang pedagang, Baskoleit namanya. Di sekitar lorong selaiu ada peti jeruk, bau buah-buahan yang membusuk yang mau dibuang, dan di balik kaca-jendela yang buram kami sering mendengar suara Prusia Timur-nya yang keras, yang terdengar pada saat-saat dia marah. Tetapi jauh di lubuk hatinya Baskoleit adalah seorang yang ramah: seperti hanya anak-anak yang mengetahuinya, kami tahu persis bahwa maki-makiannya tidak sungguh-sungguh, juga maki-makiannya terhadap kami. Dan ia sering muncul di tangga yang menghubungkan lantai-bawah-tanah dengan jalan, kantongnya penuh dengan buah apel dan jeruk yang dilemparkannya kepada kami seperti bola.
Tetapi Baskoleit menarik adalah karena puterinya Elsa, yang setahu kami ingin jadi penari. Barangkali juga sudah jadi penari: pendeknya ia sering latihan di lantai-bawah-tanah yang berkapur kuning di samping dapur Baskoleit: gadis pirang dan langsing yang berjingkat-jingkat dengan pakaian-tari hijau, pucat, dan beberapa saat melayang seperti burung undan, berputar dan membalikkan diri sambil meloncat. Kalau hari sudah gelap aku bisa melihat dari jendela kamar-tidurku: tubuhnya yang kurus di sudut jendela, wajah yang pucat kecapekan dan kepalanya yang pirang, yang kalau meloncat kadang-kadang menyentuh bola lampu, yang kemudian bergoyang-goyang dan untuk beberapa saat lingkaran kuning cahayanya melebar ke halaman yang kelabu. Dari halaman ada orang berteriak: “Pelacur!” dan aku tidak tahu apa itu pelacur. Yang lain berteriak: “Sundal!” dan walaupun aku tahu apa itu sundal: aku tidak bisa percaya, ada hubungan Elsa dengan itu. Kemudian jendela terkuak, kepala Baskoleit yang botak dan berat muncul, dan dengan sinar lampu yang jatuh ke halaman melalui jendela, ia menghamburkan maki-makian yang tak satu pun kumengerti. Tidak lama setelah itu, kamar Elsa pun pakai tirai, hijau tebal, sehingga tidak tembus cahaya keluar. Tetapi tiap malam aku menoleh ke sudut jendela yang remang-remang itu dan melihatnya: Elsa Baskoleit dengan pakaian hijau-muda, kurus, pirang, dan selama beberapa detik melayang di bawah bola lampu.
Tetapi kami pun segera pindah, umurku makin bertambah, maklum apa itu pelacur, tahu betul apa itu sundal, menyaksikan penari-penari, namun tak ada yang kusenangi seperti aku menyenangi Elsa Baskoleit yang tak pernah lagi kudengar kabar-beritanya. Kami pun pindah ke kota lain, perang pecah, perang yang panjang, dan aku sama sekali tak ingat lagi pada Elsa Baskoleit—juga tak ingat padanya ketika kami kembali ke kota semula. Aku mencoba pelbagai macam pekerjaan, sampai aku menjadi supir seorang pedagang besar buah-buahan. Tiap pagi aku mendapat daftar, memperoleh peti-peti buah apel, jeruk, buah birne, keranjang buah prem, dan berangkat ke kota.
Suatu hari, ketika aku berdiri di pangkalan tempat trukku mengisi muatan dan membandingkan sebuah daftar dengan apa yang dimasukkan penjaga-gudang ke dalam truk, muncul pemegang-buku dari kabine-nya yang ditempeli poster pisang dan bertanya pada penjaga-gudang:
“Apa kita bisa antar buat Baskoleit?”
“Apa ia sudah pesan? Buah anggur biru?”
“Ya,” pemegang-buku mengambil pensil dari belakang kupingnya dan memandang penjaga-gudang dengan heran.
“Kadang-kadang,” kata penjaga-gudang, “ia memesan buah anggur biru, aku tidak tahu kenapa, tapi kita tidak bisa antar untuk dia. Maju terus!” katanya kepada tukang-angkat yang berpakaian-kerja abu-abu. Dan aku tidak memperhatikan lagi, apakah yang tertulis dalam daftarku betul-betul dimasukkan ke truk. Aku melihat sudut-jendela yang bersinar dengan terang, melihat Elsa menari, kurus, pucat, dan berpakaian hijau-muda. Dan pagi itu aku mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang ditentukan sebelumnya.
Lentera-lentera di sekitar tempat kami dulu bermain hanya tinggal satu dan itu pun tanpa penutup, sebagian besar rumah rusak, dan trukku berderak melalui lubang yang dalam di jalan. Di jalan tempat anak-anak dulu berkerumun itu hanya ada seorang anak. Seorang anak yang amat pucat, jongkok dengan loyo di atas sisa-sisa tembok, dan menggambar sebuah figur dalam debu putih. Ia menoleh ke atas ketika aku lewat, tetapi kemudian menurunkan kepalanya kembali. Truk aku rem di depan rumah Baskoleit dan aku turun. Etalase kecilnya penuh dengan debu, karton-piramid jatuh, dan karton-hijau jadi hitam karena kotor.
Aku memandang ke atas ke dinding yang ditambal, kemudian membuka pintu warung dan turun pelan-pelan ke bawah. Tercium bau sengit bumbu sup yang sudah lembab yang bergumpal-gumpal dalam karton dekat pintu, tapi kemudian aku melihat punggung Baskoleit, melihat rambutnya yang abu-abu di bawah tutup kepala, dan menyadari betapa sulitnya dia menuang cuka dari sebuah tong besar ke sebuah botol. Rupanya ia tidak berhasil memegang tutup botol dengan baik, sehingga air-asam itu mengalir ke jari-jarinya, dan membentuk genangan di lantai kayu yang mengeluarkan bau busuk serta yang berbunyi kalau diinjak.
Dekat meja berdiri seorang perempuan kurus bermantel kemerah-merahan yang menoleh acuh tak acuh. Akhirnya ia berhasil memenuhi botol itu, menyumbatnya, dan: sekali lagi aku mengucapkan apa yang sudah kuucapkan dekat pintu, ucapku pelan: “Selamat pagi,” tapi tak seorang pun membalas. Baskoleit meletakkanl botol itu di atas meja, wajahnya pucat, dan tak dicukur, dan sekarang ia memandang perempuan itu dan berkata: “Puteriku sudah meninggal dunia—Elsa—.”
“Saya tahu,” kata perempuan itu dengan kasar, “saya sudah tahu lima tahun yang lalu. Saya masih perlu abu gosok.”
“Puteriku sudah meninggal,” kata Baskoleit. Dengan bengong ia memandang perempuan itu seperti orang baru, tapi perempuan itu berkata: “Ayo buruan—satu kilo.” Dan Baskoleit mengangkat sebuah tempayan dari bawah meja, mengaduknya dengan sebuah sendok-kaleng, dan dengan tangan gemetar menyendok gumpalan yang kekuning-kuningan itu ke sebuah kantong plastik abu-abu.
“Puteriku sudah meninggal,” katanya.
Perempuan itu diam, dan aku melayangkan pandangan ke sekeliling, tapi aku tidak menemukan apa-apa kecuali bungkusan-mi yang berdebu, tong cuka yang kerannya masih menetes terus, abu gosok, dan sebuah gambar bocah pirang yang meringis dan memakan coklat yang sudah sejak lama tidak dijual lagi. Perempuan itu menaruh botol ke keranjangnya, menaruh abu gosok di sampingnya, meletakkan sejumlah uang logam di atas meja, dan ketika membalikkan diri dan melewatiku dengan cepat, ia menempelkan sebuah jarinya ke dahi dan tersenyum padaku.
Aku teringat pelbagai macam hal, ingat ketika aku masih begitu kecil sewaktu hidungku masih di bawah pinggiran-meja, tapi sekarang dengan mudah aku memandang ke lemari-kaca yang ditempeli nama sebuah perusahaan biskuit, dan sekarang hanya berisi kantong-kantong plastik berdebu serta kertas-tepung. Beberapa saat aku merendahkan diri, merasakan hidungku di bawah pinggiran-meja yang kotor, merasa ada beberapa sen di tanganku untuk membeli gula-gula, aku melihat Elsa Baskoleit menari, mendengar orang-orang berteriak: “Pelacur!” dan “Sundal!”, sampai suara Baskoleit meyadarkanku.
“Puteriku sudah meninggal,” katanya. Ia mengucapkannya secara otomatis, hampir tanpa perasaan. Sekarang ia berdiri dekat etalase dan menatap ke jalan raya.
“Ya,” kataku.
“Ia sudah mati,” katanya.
“Ya,” kataku.
Ia membelakangiku, kemudian memasukkan tangan ke kantong baju-kerjanya yang abu-abu dan berbintik-bintik.
“Ia suka makan buah anggur—yang biru, tapi sekarang ia sudah mati.” Ia tidak mengatakan: “Apakah Anda ingin membeli sesuatu?” atau “Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?”, ia berdiri dekat tong cuka yang masih menetes dekat etalase, berkata: “Puteriku sudah meninggal” atau “Ia sudah mati” tanpa menoleh padaku.
Tanpa sadar rupanya aku lama sekali berdiri di sana, sementara waktu berlalu. Aku baru sadar, ketika seorang perempuan masuk warung lagi. Orangnya kecil dan agak bulat, memegang tas belanjaan di depan perut, dan Baskoleit berbalik padanya dan berkata: “Puteriku sudah meninggal,” dan perempuan itu berkata “ya”, tiba-tiba mulai menangis dan berkata: “Abu-gosok satu kilo,” dan Baskoleit pergi ke belakang meja, dengan sendok-kaleng menyendok dari tempayan. Perempuan itu masih menangis ketika aku keluar.
Anak yang amat pucat, yang jongkok di atas sisa-sisa tembok, berdiri di tangga truk, memperhatikan perkakas truk dengan seksama, tangannya memegang kaca yang terbuka, dan menggerak-gerakkan penunjuk-arah ke kiri dan ke kanan. Anak itu kaget ketika tiba-tiba aku berdiri di belakangnya. Tetapi aku memegangnya, memandang wajahnya yang pucat ketakutan, mengambil sebuah apel dari peti yang berada dalam truk, dan memberikannya pada anak itu. Ia memandangku dengan heran, ketika aku melepaskan pegangan. Saking kagetnya, sehingga aku pun terkejut. Dan aku mengambil sebuah lagi apel, sebuah lagi, memasukkannya ke kantongnya, menyelipkannya ke jaketnya sebelum aku naik dan pergi. ***
.
.
Diterjemahkan oleh Pamusuk Eneste dari Als der Krieg ausbrach. Heinrich Theodor Böll (21 Desember 1917 di Koln—16 Juli 1985 di Langenbroich, selatan Bonn) ialah penulis Jerman dan pemenang Hadiah Nobel Sastra pada 1972.
.
Kematian Elsa Baskoleit. Kematian Elsa Baskoleit. Kematian Elsa Baskoleit. Kematian Elsa Baskoleit.
Leave a Reply