Cerpen Sasti Gotama (Jawa Pos, 01 Oktober 2022)
KAMIS masih sejuk ketika Oma Nin menemukan kucing mati di bawah pohon kenari. Tubuh berbulu kelabu itu masih utuh, tetapi kepalanya lebih mirip kentang tumbuk yang disiram saus stroberi. Beberapa helai daun kering bertabur di atas perutnya yang luncai. Entah apa yang terjadi pada kucing malang itu.
Mungkin seorang pengendara motor yang lamur melindas kepalanya, atau mungkin seorang pemburu berpikir kepalanya adalah sasaran tembak, atau mungkin seorang psikopat berpikir meremukkan kepala seekor kucing dengan batu adalah gagasan yang tepat untuk mencerahkan harinya yang membosankan. Oma Nin tidak tahu, tetapi yang pasti ia tak bisa melihat makhluk yang pernah bernapas tergeletak mati tanpa dikubur.
Oma Nin selalu mengebumikan segala yang mati. Cicak putus asa yang harakiri ke dalam semangkuk mi Oma Nin kuburkan dengan takzim di bawah rumpun amarilis. Juga kecoak yang mati di bak cuci piring atau semut yang tewas dalam rendaman panci atau belalang tak bernyawa di pojok beranda. Semua yang mati harus kembali ke tanah dengan cara yang sebaik-baiknya, tak terkecuali kucing malang tak bertuan ini.
Namun, sepertinya Oma Nin salah sangka. Saat berjalan pulang untuk mengambil sekop kecil dan kain pembungkus, ia melihat selebaran yang tertancap di pohon asam. Oma Nin mendekat dan membetulkan letak kacamata baca di pangkal hidungnya. Pelan-pelan Oma Nin mengeja: Berita Kehilangan. Bagi yang telah menemukan “Manis”, kucing jenis British Short Hair, silakan menghubungi nomor di bawah ini, yang diikuti dengan serentetan nomor berakhiran tiga angka kembar.
Oma Nin menyipitkan mata. Kucing di foto itu tak mencerminkan namanya. Tubuhnya kekar, wajahnya sangar, dan mata kuningnya seolah siap melumat siapa saja yang bersirobok dengannya. Menurut Oma Nin, ia lebih cocok bernama Bangsat dan berperan sebagai penjahat di semesta para kucing. Sedetik kemudian, Oma Nin menyadari bahwa perawakan kucing di foto itu identik dengan kucing mati yang ia temukan. Oh, rupanya ia memiliki majikan, gumam Oma Nin.
Oma Nin merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Sejenak sebelum menelepon, Oma Nin teringat pesan mendiang suaminya, “Tak usah ikut campur urusan siapa pun. Setiap kaucoba membantu, kau malah terbelit masalah.”
Oma Nin ingat itu. Saat memisahkan dua kucing yang berkelahi, Oma Nin malah dapat tiga baris cakaran. Saat menolong tikus yang tercebur di kolam ikan, ia malah dapat gigitan. Dan lima tahun lalu, saat menyokong seorang mahasiswi untuk bersuara masalah pelecehan oleh dekan yang dialaminya, Oma Nin malah dipanggil oleh rektor. “Ini hanya masalah kecil, bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Untuk apa membongkar masalah yang memperburuk citra universitas? Biarkan masalah ini terkubur.” Oma Nin menolak, tetapi ia malah mendapat tuntutan balik dari dekan dengan delik pencemaran nama baik. Tak lama, si mahasiswi memilih tamasya ke taman langit dengan cara menenggak segelas obat nyamuk. Walau kini telah pensiun dari universitas, Oma Nin masih terus mengingat kasus itu.
Tetapi kucing mati itu harus dikubur, pikir Oma Nin sedih. Dan kucing itu pasti ingin dikubur dengan layak oleh majikan yang menyayanginya, mungkin di pekarangan belakang rumah, di bawah rumpun aglonema, tempat ia biasa berguling-guling dan makan tuna.
Setelah menyisihkan bayangan mendiang suaminya yang cemberut, Oma Nin membaca doa Bapa kami, lalu menekan serangkaian nomor yang tertera di pamflet.
Telepon diangkat. Jantung Oma Nin terasa hampir meleduk saat mendengar suara berat dari seberang: mirip dengan suara mendiang suaminya, tetapi lebih lembut dan muram. Oma Nin menjadi ragu hendak menyatakan perihal kucing yang mati itu.
“Saya menemukan kucing Anda.” Akhirnya itu yang terucap dari bibir Oma Nin.
Terdengar desah lega dari seberang, lalu saluran itu dijejali setengah ton kegembiraan. Suara itu mengucapkan terima kasih berulang-ulang seolah-olah Oma Nin telah mengabarkan bahwa kiamat tak jadi hari ini dan ditunda minggu depan. Ia meminta alamat Oma Nin dan berkata segera meluncur ke sana untuk menjemput si Manis.
Oma Nin baru selesai menggelung rambut peraknya ketika lelaki itu datang. Ternyata walau suaranya mirip dengan mendiang suami Oma Nin, sosok lelaki itu benar-benar berbeda. Ia tampak lebih berisi (Oma Nin tak ingin menyebutnya tambun) dengan janggut dan kumis putih yang mengelilingi bibirnya yang tipis. Hidung Oma Nin menangkap wangi samar campuran ketumbar dan basil. Ia teringat dua hal: Hemingway di masa tuanya dan Manis si kucing, dan tampaknya lelaki tua itu lebih mirip si Manis daripada Hemingway.
“Di mana Manis? Saya tak sabar memeluknya,” ujar lelaki tua itu.
Oma Nin tersenyum gugup. “Ia sedang tidur.” Setidaknya ia tak berbohong. Jasad si Manis sedang tidur panjang di bawah pohon kenari. “Silakan duduk dulu. Pasti Anda kecapekan setelah menyetir ke sini.” Oma Nin menunjuk sepasang kursi taman logam berwarna putih. Lelaki tua itu duduk dan menumpukan kedua tangan di pahanya yang tak bisa diam.
Oma Nin bingung bagaimana menyampaikan berita duka. Setiap manusia dan kucing pasti akan mati, tetapi tak semua bisa menerima kematian orang atau kucing kesayangan dengan baik. Oma Nin teringat ibunya.
Lima puluh tujuh tahun lalu, pada Oktober yang hangat dan lengket, saat dirinya masih kelas I sekolah dasar, tiga orang bertandang ke rumahnya malam-malam. Bapaknya dijemput. Ibu menjerit-jerit dan berkata bapak Nin hanyalah petani. Ia tak terlibat itu. Nin kecil tak tahu apa yang dimaksud ibu dengan “itu”. Namun orang-orang itu berkata, bapak hanya akan disekolahkan sebentar. Setiap pagi, siang, petang, ibu berkali-kali melongok keluar jendela. Saat itu Nin heran, mengapa ibu sekhawatir itu. Ia berangkat dan pulang sekolah setiap hari, tetapi ibu tak pernah menantinya seperti itu. Jika bapak hanya sekolah, nanti juga akan pulang.
Dan Nin kecil benar. Enam hari kemudian bapak pulang. Tetapi tidak lewat pintu depan. Bapak tersangkut di tambang pasir tepi Sungai Brantas. Hanya tubuh tanpa kepala. Ibu mengenali bapak dari bekas tanda lahir hitam di pinggang kanan. Setidaknya bapak beruntung. Bapak bisa pulang dan dikubur. Mayat-mayat lain—yang juga tanpa kepala—masih berenang bersama ikan-ikan. Tak ada yang berani memancing. Tak ada yang tega makan ikan. Sungai menjelma laut merah berbau besi karatan.
Nin kecil memikirkan tubuh-tubuh tak bertuan yang mengambang. Tak seharusnya mereka tak dikubur. Semua yang mati harus dikubur. Setelah bapak dikubur, ibu tak lagi sering memandang keluar jendela dengan mata bertanya-tanya. Ibu hanya banyak berdoa. Dulu sebelum bapak dikubur, bapak juga banyak berdoa. Setiap pagi, mereka berdoa bersama. Tapi sekarang, hanya Nin dan ibu yang berdoa. Dan Nin berdoa agar Tuhan menjadikan sungai itu kuburan raksasa.
“Apakah si Manis tidur di rumah Anda?” tanya si lelaki tua. Oma Nin terperanjat dan bayangan tentang kuburan raksasa lenyap dari kepalanya.
“Tidak. Tetapi nanti akan saya antar Anda ke tempatnya,” ucap Oma Nin sambil menyajikan secangkir teh oolong hangat.
Lelaki tua itu terdiam sebentar. “Manis adalah satu-satunya teman hidup saya lima tahun belakangan ini. Dia benar-benar manis dan membuat saya bisa tenang.” Ia mengangkat cangkir teh, menghidu uapnya sejenak, lalu menyesapnya.
“Dua puluh empat tahun lalu, anak lelaki saya satu-satunya, Dio, yang kuliah di Jakarta, tak pernah pulang usai dari kos kawannya. Mei itu kondisi Jakarta lebih buruk dari neraka. Saya takut terjadi hal yang buruk padanya. Namun, istri saya menenangkan saya dan berkata mungkin Dio hanya tersesat. Bertahun-tahun istri saya menunggu. Ia selalu menata dan membersihkan kamar Dio seperti biasa. Padahal kamar itu sudah bersih dan rapi. Ia bahkan selalu menyiapkan donat kentang kesukaan Dio setiap akhir pekan. Ia meyakini Dio pasti akan pulang. Namun, lama-lama istri saya menjadi sakit-sakitan. Lima tahun lalu, istri saya wafat. Anehnya, setelah itu, tiba-tiba ada kucing mungil di teras rumah saya. Itu si Manis. Ia benar-benar kucing yang manis dan manja, persis istri saya.”
Lelaki itu mengerjapkan mata, lalu mencondongkan tubuh ke arah Oma Nin dengan tatapan penuh persekongkolan. “Saya harap Anda bisa menyimpan rahasia. Saya pikir si Manis adalah jelmaan istri saya,” bisiknya. “Oh, saya bicara terlalu banyak. Bisa saya bertemu Manis?”
Oma Nin merasa tenggorokannya kerontang. Ia menimbang-nimbang, apa sebaiknya ia berbohong. Paling tidak lelaki tua itu bisa berpegang pada harapan. Tetapi sesuatu yang mati harus dikubur. Dan jika telah mengubur, seseorang tak akan lagi bertanya-tanya. Ia akan lebih banyak berdoa, seperti ibu.
“Akan saya tunjukkan di mana si Manis tidur,” ujar Oma Nin. Dia bangkit dan memberi isyarat agar lelaki tua itu mengikutinya. Oma Nin berjalan keluar pagar.
“Manis tidak berada di rumah Anda?” tanya lelaki tua itu keheranan. Oma Nin menggeleng. Tak lama, mereka sampai di pohon kenari. Si Manis masih di sana, tidur tenang, sangat tenang.
“Saya minta maaf baru mengatakan sekarang. Si Manis sudah tenang di surga para kucing. Saya turut berduka.”
Lelaki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Air matanya tumpah. Ia bergegas melangkah dengan gelisah ke arah bangkai kucing itu. Ia berjongkok, lalu menyentuhnya.
“Tetapi ini bukan Manis,” cetus lelaki tua itu.
Oma Nin mendongak. “Apa?”
“Ini bahkan bukan kucing.” Si lelaki tua membalikkan tubuh gumpalan bulu kelabu itu. “Ini garangan. Garangan yang sangat gemuk.”
Lelaki tua itu bangkit, mengelap kedua tangannya dengan sapu tangan, lalu memasukkannya kembali ke saku. “Saya harus mencari si Manis.” Setelahnya, ia bergegas pergi meninggalkan Oma Nin yang masih kebingungan.
Oma Nin berjongkok di sisi garangan malang itu. Melihat bangkai yang diabaikan, ia merasa sedih. Ia teringat tubuh-tubuh mengambang yang tak bertuan. Dengan kedua tangannya, ia mulai menggali tanah di dekat akar pohon kenari. Ia tersenyum kepada bangkai itu. “Jangan sedih. Semua yang mati pasti akan kukubur.” ***
.
.
SASTI GOTAMA. Emerging Writer UWRF 2022. Kumpulan cerpennya Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam? (Diva Press, 2020) menjadi salah satu buku rekomendasi Tempo 2020; nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi 2021; dan pemenang I Hadiah Sastra “Rasa” 2022. Buku terbarunya yang berjudul B telah diterbitkan Diva Press awal tahun ini.
.
Segala yang Mati Harus Dikubur. Segala yang Mati Harus Dikubur. Segala yang Mati Harus Dikubur. Segala yang Mati Harus Dikubur.
Widi Suharto
Saya tidak berlangganan Jawa Pos. Sejak lama saya jatuh cinta kepada Kompas, maka hingga kini kompas selalu hari di meja baca. Untuk ini mohon izin menimatinya lewat googling ini. SEbelumnya terimkasih atas cerpen ini. nimatku saya tularkan kepada murid-muridku.