A Mustofa Bisri, Cerpen, Majalah Sastra Pusat

Mbah Mar

Mbah Mar - Cerpen A Mustafa Bisri

Mbah Mar ilustrasi Istimewa

3.7
(7)

Cerpen A Mustafa Bisri (Majalah Sastra Pusat Edisi 06/2014)

JIKA Anda kebetulan tersesat di makam Mbah Sedo Sumur di kotaku, Anda mungkin akan melihat seorang tua berpakaian compang-camping dengan rambut gondrong dan mata yang sayu. Ciri lain, dia selalu mengenakan peci hitam yang sudah tidak begitu hitam lagi dan memakainya sedemikian mblesek hingga nyaris menutupi kedua matanya.

Namun, jangan salah sangka. Dia bukanlah pengemis, meskipun dia duduk bersama deretan para peminta-minta. Dia memang memerlukan belas kasihan para penziarah, tetapi tidak sama dengan para pengemis di sekitarnya. Dia tidak menadahkan tangan meminta sedekah, tetapi duduk bersila dan bersedekap. Setiap kali ada penziarah lewat di depannya, mulutnya mengulang-ulang permohonan dengan suara memelas, “Tolong, doakanlah isteri dan anak-anak saya. Ya, Pak. Ya, Bu!”

Perjalanan hidup anak manusia memang terkadang aneh. Orang tua berpakaian compang-camping, berambut gondrong, dan berpeci mblesek yang terlihat di makam Mbah Sedo Sumur dan biasa dipanggil Mbah Mar itu, menurut cerita yang berkembang di masyarakat kotaku, adalah mantan guru dan anggota dewan.

Nama aslinya Margono. Dahulu, hampir semua orang yang mengenalnya memanggilnya Mas Margono. Sebelum pensiun dari pekerjaannya sebagai guru bahasa Inggris di SLTP, dia sudah terpilih dan dilantik sebagai anggota DPRD. Orangnya tidak begitu ganteng, tetapi berpenampilan necis . Di saku atas bajunya selalu terselip dua-tiga pulpen yang berbeda-beda bentuk maupun warnanya. Ciri lain yang mencolok ialah sapu tangan di kantong celananya yang setiap kali dikeluarkannya untuk menyeka tangan atau tengkuknya; tidak peduli sedang berkeringat atau tidak. Namun, yang paling membuatnya dikenali dan diingat orang: seumur-umur dia tidak pernah memakai peci. Selalu gundulan istilahnya di kampung kami. Bahkan waktu memakai kain sarung—misalnya ketika Jumatan atau mendatangi kenduren—Mas Margono tetap gundulan. Konon, ketika kawin pun dia bersikeras tidak mau memakai kuluk atau blangkon yang disediakan juru rias. Alasannya, peci itu bukan pakaian: tidak menutup aurat karena kepala bukan aurat; tidak juga menghias karena tidak membuat orang menjadi lebih cantik. Kalau pun disebut pakaian, ia adalah pakaian yang paling kotor karena sejak baru sampai rusak tidak pernah dicuci.

Di kalangan kawan-kawan sendiri sekampung, Mas Margono kadang dijuluki Bung Intelek, kadang Bapak Wakil Kita. Entah, julukan itu dimaksudkan sebagai ejekan atau penghargaan, tetapi alasan yang pernah dikemukakan: Mas Margono jika bicara, tidak saja selalu menyelipkan istilah-istilah asing, tetapi juga karena bicaranya yang—menurut istilah kawan[1]kawannya itu—penthit, begitu “tinggi” hingga sering sulit dipahami orang kampung.

Baca juga  Kalam Ilahi di Balik Jeruji Besi

Mas Margono juga dikenal sangat peka terhadap isu-isu yang berkembang. Tidak peduli itu masalah politik, ekonomi, budaya, agama, atau apa sajalah; Mas Margono tidak pernah ketinggalan menanggapinya dan selalu punya pendapat untuk setiap isu yang muncul. Jika menyampaikan pendapat, bicaranya mantap, seolah-olah yang dikemukakannya sudah merupakan hasil pemikiran yang mendalam. Orang-orang kampung tidak banyak yang tahu dan tidak peduli apakah Mas Margono juga begitu ketika berada di ruang sidang DPRD yang terhormat.

Kalangan tua di kampung rata-rata tidak begitu suka kepada Mas Margono. Soalnya, menurut mereka, Mas Margono sering melecehkan perilaku yang sudah merupakan kebiasaan orang kampung, seperti ziarah kubur, selamatan, atau silaturahmi kepada kiai untuk minta berkah atau doa-doa.

Di setiap kesempatan, Mas Margono memang tidak pernah lupa mengkritik kebiasaan-kebiasaan yang ia anggap tidak sesuai dengan ajaran agama itu. Terutama, Mas Margono paling semangat apabila mengecam apa yang ia sebut sebagai klenik.

“Orang sakit tidak dibawa ke dokter, malah dibawa ke orang tua yang sama sekali tidak mengerti soal medis!” begitu katanya mengomentari orang yang selalu datang ke Mbah Joned untuk minta suwuk. Mbah Joned memang dipercayai banyak orang— termasuk dari luar daerah— sebagai “orang pinter” yang mempunyai kelebihan. Doanya mustajab. Bahkan, konon ia bisa menyembuhkan berbagi penyakit sekronis apa pun.

“Saya sendiri tak mengerti,” kata Mas Margono suatu saat sehabis salat Jumat (Mas Margono mempunyai kebiasaan sehabis salat Jumat duduk-duduk ngobrol di serambi), “akhir-akhir ini tingkah laku orang semakin absurd saja. Kata orang ini zaman kemajuan, tetapi banyak sekali orang yang mengaku sebagai orang maju atau hidup di kalangan orang-orang yang maju atau terlanjur dianggap maju, perilakunya seperti orang primitif saja. Kata orang ini zaman teknologi modern, tetapi banyak sekali orang pintar mempercayai klenik.Orang susah malah datang ke kuburan. Ya malah sumpek. Benar, nggak?”

“Jangankan pejabat kecil-kecilan di daerah, pejabat-pejabat tinggi di atas saja, dukun dan paranormal yang mereka andalkan. Bagaimana negeri ini tidak kacau, kalau pemimpin-pemimpinnya terus lebih percaya kepada dukun dan paranormal daripada kemampuan dan ilmunya. Kalau pemimpinnya di atas begitu, tentu saja yang di bawah ikut. Pemimpin itu kan cerminan masyarakatnya.”

Baca juga  Raksasa dan Sebatang Pohon dalam Kepalaku

Biasanya, jika Mas Margono bicara, hanya beberapa anak muda saja yang sesekali menanggapi; mengajukan pertanyaan; atau melayani ajakan diskusi Mas Margono. Yang lain biasanya hanya menjadi pendengar yang baik. Tidak setuju pun diam saja.

***

Sampai suatu saat, Mas Margono mulai jarang tampak duduk-duduk di serambi mesjid. Kadang-kadang memang tidak kelihatan sama sekali. Mungkin sedang bepergian dan salat di mesjid lain. Tetapi bila kelihatan pun, tidak seperti biasanya, sehabis salat Jumat langsung buru-buru pulang. Hal ini tentu saja membuat orang, terutama mereka yang biasa ikut merubung Mas Margono sehabis salat Jumat, menjadi bertanya-tanya. Apa gerangan yang terjadi pada tokoh kita ini?

Orang-orang makin heran lagi, saat menyaksikan penampilan Mas Margono yang kian berubah. Mula-mula kenecisannya berkurang, lama-lama bahkan hilang sama sekali. Pakaiannya seperti tidak terurus; juga wajahnya yang biasa klimis kini berewok. Konon, mengajar pun sudah jarang-jarang.

Yang lebih mengejutkan kemudian adanya berita bahwa Mas Margono kini suka ke makam-makam yang dianggap keramat oleh masyarakat. Seandainya yang bercerita bukan Joko, saudaranya sendiri, pasti tidak ada orang yang percaya. Menurut Joko, bermula dari kondisi rumah tangganya yang mengalami cobaan berat.

Tono, anak sulungnya yang kuliah di perguruan tinggi di kota B, ternyata ikut jamaah yang tertutup, yang menurut Mas Margono sendiri sudah tidak bisa dibenarkan. Kalau pulang, pakaian Tono aneh-aneh. Yang membuat Mas Margono jengkel bukan main, anak sulungnya itu tidak mau bersalaman dengan kedua orangtuanya. Bersentuhan pun katanya haram. Tono menganggap kedua orangtuanya kafir dan najis sebelum ikut baiat jamaahnya.

Sri, anaknya yang lain yang kuliah di kota J, belakangan tidak pernah pulang. Ketika Mas Margono dan isterinya menengok ke tempat kos anaknya itu, hanya mendapat cerita yang menyedihkan. Anak perempuannya itu, kata kawan-kawannya sudah dikawin oleh imam jamaahnya, tetapi tidak ada seorang pun yang tahu di mana mereka tinggal. Konon sang imam dan empat orang isterinya itu tinggalnya berpindah-pindah untuk kepentingan dakwah.

Mungkin karena terlalu memikirkan anak-anaknya, isteri Mas Margono akhirnya seperti stres. Lalu, kondisinya makin hari makin memprihatinkan. Dulu orang-orang mengenalnya sebagai priyayi yang besus, pandai bersolek, dan aktif di berbagai kegiatan kewanitaan tanpa mengabaikan urusan rumah tangga. Semua keperluan suami dan urusan keluarga boleh dikata Bu Margono-lah yang mengurus dan mengaturnya dengan teliti dan rapi. Kini jangankan mengurus suami dan keluarga, mengurus dirinya sendiri saja tidak. Malah, belakangan semakin parah. Ia suka menangis dan tertawa-tawa tanpa sebab. Bahkan, terakhir suka telanjang dan mengamuk.

Baca juga  Ingin Seperti Gabo

Mas Margono sudah berikhtiar ke dokter-dokter; mulai dokter umum, psikiater, hingga membawanya ke rumah sakit jiwa. Namun, tidak ada hasilnya. Lalu pindah ke sinse-sinse di berbagai kota juga tidak berhasil.

Akhirnya, dalam keputusasaannya, Mas Margono terpaksa mengikuti, meski mula-mula menolak keras saran sementara familinya yang mengusulkan untuk mencoba datang ke Mbah Joned. Siapa tahu? Namanya ikhtiar.

Akhirnya Mas Margono harus takluk kepada kenyataan dan tuntutan keadaan. Kepentingan keluarga jauh lebih penting katimbang mempertahankan prinsipnya yang selama ini dikukuhinya. Maka, dia pun datang kepada Mbah Joned dan menuruti saja syarat-syarat yang diberikan “orang pintar” itu, termasuk harus menziarahi makam-makam setiap malam Jumat dan menunggui makam Mbah Sedo Sumur yang keramat.

Jika Anda kebetulan tersesat di makam Mbah Sedo Sumur di kotaku, Anda mungkin akan melihat seorang tua berpakaian compang-camping dengan rambut gondrong dan mata yang sayu. Ciri lain, dia selalu mengenakan peci hitam yang sudah tidak begitu hitam lagi dan memakainya sedemikian mblesek hingga nyaris menutupi kedua matanya.

Namun, jangan salah sangka; dia bukanlah pengemis, meskipun dia duduk bersama deretan para peminta-minta. Dia memang memerlukan belas kasihan para penziarah, tetapi tidak sama dengan para pengemis di sekitarnya. Dia tidak menadahkan tangan meminta sedekah, tetapi duduk bersila dan bersedekap. Setiap kali ada penziarah lewat di depannya, mulutnya mengulang[1]ulang permohonan dengan suara memelas, “Tolong, doakanlah isteri dan anak-anak saya. Ya, Pak. Ya, Bu!”

Itulah Mas Margono, mantan guru dan anggota dewan yang kini dikenal orang sebagai Mbah Mar. Penjaga makam Mbah Sedo Sumur. ***

.

Mbah Mar. Mbah Mar. Mbah Mar.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!