Cerpen, Kompas, Seno Gumira Ajidarma

Selamat Pagi, Penganggur!

Selamat Pagi, Penganggur! - Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Selamat Pagi, Penganggur ilustrasi SN Rahardjo/Kompas

4.4
(7)

Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 06 Juni 1982)

BANGUN pagi. Ya, mereka sudah bangun semua. Kulirik anak itu, dengan cepat ia pura-pura tidur. Malas berangkat sekolah. Play group—apakah itu sekolah?

Lantas perempuan itu, melamun saja dia menatap langit-langit.

Hmm. Masih mau mimpi? Takut kenyataan hidup sehari-hari?

Aku memejamkan mata kembali, siapa tahu bisa tidur lagi sebentar, sebelum kembali nyemplung dalam kehidupan yang tidak selalu menyenangkan.

Anak itu bangkit berdiri, ia melangkahi kaki-kaki kami dan terus berjalan. Dengan kasur terletak di lantai, ia memang tidak mungkin menggelinding jatuh. Ia menuju ke arah tumpukan kaset, mengobrak-abrik sebentar, kemudian menyetelnya pada tape recorder di atas meja belajar. Lagu itu lagi, lagu teater boneka yang sedang berjaya di televisi. Tidak bisakah hari Minggu saja telinga kita mendengar lagu itu, dengan jaminan aku tak perlu menontonnya?

Jadi kuambil bantal dan kututup telingaku. Suara itu memang agak teredam sedikit. Tapi tunggu dulu, apa ini yang menggoyang-goyang badanku?

“Bangun! Aku mesti audisi!”

Nah. Itu dia.

Kaki perempuan itu mendorong-dorong. Boleh juga. Tapi sebentar lagi dong. Lima menit saja. Biarkan aku terlelap sebentar. Lima menit saja.

“Lho! Ayo!”

Gorden jendela disibak. Cahaya matahari yang garang masuk menerjang. Sungguh-sungguh mengganggu ketenteraman.

Oke. Sudahlah. Aku melompat bangun.

“Mau ke mana? Beresin dulu tempat tidurnya!”

Aduh. Lantas anak itu pun mengeraskan volume pula.

Sabar. Sabar.

Sarapan mungkin lebih enak. Apa itu lebih enak? Tentu saja pertengkaran mereka. Antara siapa harus makan apa melawan siapa ingin makan apa. Semuanya ada di meja. Roti tawar, mentega low-fat, muisjes, selai lobi-lobi, blueberry, smoked beef, susu cokelat, susu skim, telor setengah matang, madu, olive oil, vitamin, dan kopi Sidikalang gilingan terkasar.

Baca juga  Sumur Pandan

Aku diam, tenang-tenang sambil makan, mencari keselamatan.

Namun anak itu tidak mau mandi dan tidak mau berangkat, katanya ibu guru suka memukul. Hmm. Ketenangan sudah jadi barang mewah.

Aku ke depan mengambil koran. Perang Dunia III belum meletus. Iran-Irak? Tentu, tentu, belum pernah tak ada perang. Kriminalitas? Mayat dipotong-potong. Dalam negeri? Kampanye pemilu penuh bualan. Bagaimana kalau jadi golput?

“Ayo cepat!” Pintu WC digedor. Kontemplasi buyar.

Urusan anak sudah beres, tetapi “Aku sudah hampir telat nih!”

Dan pagi itu kukebut motorku di jalanan Jakarta yang sibuk. Sepanjang jalanan motorku meraung-raung minta diberi jalan, lincah menyelip-nyelip di sela lautan mobil yang macet. Aku tancap gas menembus kepekatan asap knalpot.

“Jangan cepat-cepat!”

“Katanya hampir telat!”

“Aku takut!”

Nah!

***

Subuh itu aku lari pagi menyusuri jalanan yang masih sepi. Hanya suara sepatu mencercah keheningan. Jakarta lelap dalam buaian kabut polusi. Sisa lampu malam masih menyala, orang-orang terakhir berpulangan dari perkumpulan malam.

Aku berlari, tetapi diriku melesat keluar dari tubuhku. Kulihat diriku masih berlari-lari. Lewat di atas jembatan, belok di tikungan, menyeberang lapangan dan lari terus sepanjang jalan raya.

Dari langit aku melihat semuanya, tembus ke balik dinding tripleks maupun tembok. Pasar bangkit. Angin menderu-deru. Langit tak kunjung terang. Paimo mendengkur. Siti bermimpi. Sukab mengigau mencari-cari istrinya.

“Bune! Bune! Di mana kamu Bune!”

Ali Said masih mencetak foto. Sarinah masak air. Gowok, nama seekor anjing, menjilat-jilat lantai yang baru saja ketumpahan gule kambing. Ngadimin menguap sambil memeluk Paikem.

Siaran radio Elshinta mulai hot. Lagu-lagu disko menggebrak. Udara menari-nari. Angin keliling Jakarta. Benny masih di ruang editing. Icang mengangguk-angguk bersama walkman barunya. Asep merapatkan sarung.

Baca juga  Tiket ke Tangier

Aku masih lari-lari.

Abah, boss warung kopi Kalipasir, ngopi sendiri. Ada orang memompa ban. Ada orang memotong sayur. Ada orang menuang minyak. Ada orang menghitung uang. Ada orang mencipta lagu. Ada orang mengetik. Ada orang menimba air. Ada orang main cinta. Ada orang naik sepeda. Ada orang mancing. Ada orang berjongkok di dalam jamban di atas kolam, sementara ikan-ikan berenang di bawahnya.…

Ada orang mendaki gunung sendirian. Ada orang mengedipkan mata. Ada orang menyusui anak. Ada orang… huh! Bayangkan saja sendiri. Aku masih lari-lari, hampir sampai rumah.

Dari jauh kulihat perempuan itu baru pulang. Ia keluar dari dalam mobil yang menurunkannya. Melangkah masuk rumah dengan rok mini dan stocking bergambar kupu-kupu.

Capek….”

Katanya sambil melepas sepatu tinggi.

***

Biasanya dia pulang pukul 03.00 pagi dan “Midnight Sea”. Bau malam dan pengap asap rokok masih tersisa di rambutnya. Dia membawa lima bungkus rokok, sebungkus pizza, daging steak yang dibungkus kertas aluminium, dan sebotol Martini.

Sebelum ia tidur kami biasa ngobrol dulu tentang pengalamannya malam itu. Mulai dari tamu yang suka pegang-pegang sampai pemain band yang jatuh cinta kepadanya, atau penyanyi lain yang dihamili boss sampai pemabuk langganan yang sudah sebelas tahun nongkrong di situ.

Banyak juga ceritanya, aku senang juga mendengar, kadang-kadang sedih, kadang-kadang lucu. Kadang-kadang anak itu terbangun mendengar kami tertawa terlalu keras, lantas dengan langkahnya yang seperti orang mabuk karena masih ngantuk, ia minum susu yang ada di meja, terus balik lagi menjatuhkan diri ke pangkuan perempuan itu. Kemudian dia akan tidur sambil mendekap bocah itu.

Kalau sudah tidak mengantuk, aku tidak ikut tidur. Kadang-kadang aku berkhayal seandainya bisa menuliskan cerita-ceritanya. Siapa tahu ada yang mau membelinya sebagai cerita film. Namun ternyata aku sama sekali tidak mampu menulis. Aku hanya bisa membual, makanya aku mau mencoba peruntunganku sebagai tukang obat di kaki lima.

Baca juga  Aokigahara

Hidup memang jalan terus. Kita tergagap melakukan apa saja supaya bisa tetap hidup. Penganggur pun harus tetap hidup.

Di luar, pagi terkapar kembali diperkosa Jakarta.

“Selamat pagi, Penganggur!” katamu.

“Selamat pagi,” jawabku santai. ***

.

.

Jakarta Maret 1982

.

Selamat Pagi, Penganggur! Selamat Pagi, Penganggur!

Loading

Average rating 4.4 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d