Cerpen, Komang Adnyana, Kompas

Wasiat Bu Kompyang

5
(2)

Ibu Kompyang meninggal. Karena sakit paru-paru meski sudah dirawat di rumah sakit di luar negeri. Sebelum nafasnya terputus, rohnya melayang, ia masih sempat memberikan surat wasiat kepada Gorda, anaknya.

Sebagai pemimpin kelompok media terkenal di pulau ini, Gorda merasa harus menggelar upacara pengabenan dengan megah. Dan benar saja, rentetan upacara kematian itu justru berlangsung seperti sebuah perayaan.

Ya, perayaan. Karena memang konon begitulah sejatinya makna kematian. Tak perlu ditangisi. Harus dilepas. Diterima. Ditolak pun malaikat maut tak akan mundur bila memang sudah waktunya. Klise memang. Tapi kematian Bu Kompyang sama sekali tak klise. Ia istimewa, tepatnya dibuat istimewa.

“Buat liputan khusus tentang Ibu setiap hari selama dua pekan berturut-turut sampai upacara pengabenan selesai!” Begitu kata Gorda kepada pemimpin redaksi koran utamanya. Perusahaannya memang memiliki beberapa koran dan majalah. Dari majalah untuk pembaca usia anak-anak, remaja, dewasa, sampai koran yang tak laku. “Itu wujud idealisme kita!” tegasnya soal salah satu koran yang oplahnya tak naik-naik itu.

“Dua pekan Pak?” si pemred, Wayan Tanduk, ingat pakai “A” bukan “U”, langsung saja terkaget.

“Kenapa kaget seperti itu?”

“Tidak Pak. Tidak apa-apa.”

“Ibu layak mendapatkannya. Ia istri pendiri pers terbesar di pulau ini. Ia juga mantan veteran pejuang. Bukankah ia sungguh layak mendapatkannya?”

“Ya Pak. Sungguh layak Pak,” jawab si pemred tergagap.

“Benar kan?”

“Ya benar Pak. Benar sekali,” si pemred manggut-manggut sampai membungkuk-bungkuk untuk meyakinkan si bos besar.

“Ibu orang baik. Pembaca pasti menginginkannya. Banyak yang menghormati beliau,” si pemred menambahi.

Kalimat terakhir itu ternyata sangat ampuh. Gorda mengakhiri rapat dadakan tersebut. Dengan diantar ajudan merangkap sopir pribadinya, ia bergegas meluncur ke tempat jenazah ibunya disemayamkan. Dalam hatinya barangkali berujar, ibu aku akan membuatkanmu perayaan kematian yang paling meriah. Tunggulah!

Sementara si pemred juga bergerak cepat. Staf redaksi dikerahkan untuk terlibat diskusi. Tim liputan khusus dibentuk. Ia harus berhasil, bila tidak, kalimat “Dasar Otak Udang!” yang biasa disemprotkan si bos bila marah atau kecewa akan membuat telinga beserta wajahnya memerah. Apalagi ini masalah sensitif. Si bos sedang berduka. Ia baru saja kehilangan ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan tepat. Merawat dan membesarkannya. Semua orang harus peka terhadap rasa kehilangan bukan?

Tanduk dan anak buahnya memutar otak. Menetapkan sisi-sisi kebaikan dan kepahlawanan Bu Kompyang yang harus digali, berikut tokoh-tokoh mana yang harus dijadikan narasumber. Semakin terkenal dan tinggi kedudukan tokohnya semakin bagus. Atau bisa juga yang mengutamakan sisi human interest, seperti kawan sesama veteran. Saksi sejarah yang masih hidup.

“Luar biasa! Kita bergerak secepatnya. Mulai sekarang,” perintah si pemred yang tiba-tiba jadi bersemangat.

“Ya Pak,” jawab tim liputan khusus kematian Bu Kompyang secara serempak. Tak ada yang berani protes langsung. Tapi beberapa menggerutu, gumam tak jelas. Takut-takut berani.

Baca juga  Mata Dibalas Mata

“Benar-benar keterlaluan!”

“Ada-ada saja.”

“Otak Udang!”

“Narsis!”

“Siapa yang bilang narsis?”

“Eh, maaf, tak ada.”

“Kematian kok dikomersilkan?”

“Sudah! Sudah!”

“Itu penghormatan!”

Lalu gumaman dan gerutuan itu makin lama makin mendengung di kantor tersebut. Dengung yang sebentar kemudian lenyap jadi penerimaan. “Kita makan dari kantor ini, seperti menepuk air di tangan. Apalagi orang sedang berduka. Hargai!”

Begitulah, sepanjang dua pekan itu orang yang datang mejenukan, melayat tak henti-henti. Yang ikut magebagan, begadang malam, juga membeludak. Dari karyawan kantor yang jumlahnya ratusan, masyarakat biasa, pejabat daerah, sampai pejabat dari pusat.

Sepanjang dua pekan itu pula berita tentang Bu Kompyang tak henti-hentinya. Ia benar-benar menjadi pahlawan. Konon Bu Kompyang adalah pejuang wanita bersama salah satu pahlawan nasional. Ia turut menyaksikan sendiri bagaimana Jepang menyerbu pulau ini. Ia wanita pemberani. Ulet. Tekun dan rela berkorban. Itu terungkap dari rekan-rekannya sesama veteran yang masih hidup.

Sementara di mata para pejabat daerah, Bu Kompyang adalah figur yang pantas dicontoh. Ia tidak hanya sumber inspirasi bagi para karyawannya, tetapi juga masyarakat luas. Ialah yang menggagas munculnya slogan pulau ini harus senantiasa berbasis budaya. Semangatnya harus ada yang meneruskan. Itu tugas para generasi muda.

Begitulah, sepanjang dua pekan Gorda sibuk menerima para tamu yang datang. Salaman, pelukan tanda duka, senyuman sebagai rasa terima kasih, foto bersama, dilakoni dengan setulus-tulusnya. Gorda tak bermaksud apa-apa. Sungguh. Ia hanya ingin menghormati jasa ibunya. Ia merasa layak sang ibu dihargai tinggi.

Lalu foto-foto itu akan muncul di koran tiap harinya, terutama untuk pejabat-pejabat penting. Pejabat-pejabat yang juga biasa diberitakan baik-baiknya saja, ditinggi-tinggikan agar terus masang berita berbayar. Dengan begitulah ia merasa ibunya telah diakui secara layak. Buktinya seluruh komentar tokoh-tokoh itu baik-baik. Membanggakan. Ibu, tersenyum lebarlah engkau di sana!

Di mata Gorda dan keluarganya, Ibu Kompyang adalah penglingsir, sebutan yang sangat khusus di pulau ini. Makna halus yang tersirat sungguh luar biasa. Tidak hanya soal ketuaan, tapi juga rasa mengayomi, sosok yang meneduhkan, penuntun, bahkan juga pemimpin. Sesepuh. Memang begitulah adanya Ibu Kompyang. Jiwa pemimpinnya sangat tinggi. Bahkan barangkali berlebihan.

“Kita sebagai pekerja harus senantiasa bekerja dengan sepenuh hati. Jangan melulu soal uang. Harus diutamakan prinsip ngayah, suka rela.” Itulah kalimat yang paling sering diucapkan kepada para karyawan.

Lalu dalam hati karyawan-karyawan itu akan menjawab: gaji kecil, kerja penuh aturan, masih disuruh ngayah, memangnya anak istri dengan begitu bisa makan di rumah? Tentu saja jawaban itu tak berani diucapkan langsung. Mereka menyimpannya sendiri. Kalau ketahuan bos besar bisa disemprot habis-habisan. Sebutan Dasar Otak Udang akan berloncatan.

Baca juga  Mahar Puisi

Perubahan sikap baru muncul setahun terakhir. Ibu Kompyang sangat jarang datang ke kantor. Kalau pun datang penampilannya sangat berbeda. Raut wajahnya tak lagi tinggi. Kata-katanya halus, lebih realistis dan bisa diterima sesuai kondisi karyawan. Kesan lingsir yang benar-benar mengayomi sedikit demi sedikit mulai terlihat.

Dari ajudan pribadi Gorda diketahui, kalau di rumah, Ibu Kompyang belakangan lebih suka menyepi. Ia bahkan tak suka lagi baca koran buatan perusahaannya sendiri. Tak mau ditemui banyak orang. Tak juga mau terlibat dalam kegiatan kantor. Pertengkaran dengan Gorda juga dikabarkan sering terjadi, entah karena masalah apa. Yang ada hanya kasak-kusuk tak jelas. Kesejahteraan karyawan, gaji, berita tak seimbang, idealisme yang hilang, komersil, banyak lagi. Semua hanya sepintas-sepintas.

Dan untuk surat wasiat itu, Ibu Kompyang sudah wanti-wanti agar dibacakan tepat saat upacara pengabenannya. Sama sekali tidak boleh dibuka sebelum itu. Wasiat memang tak lazim di pulau ini, tapi untuk seorang yang konon besar seperti Ibu Kompyang, apa pun layak. Dan Gorda enteng saja mengiyakannya. Isinya paling-paling hanya pesan dan ceramah untuk para karyawan, pikirnya. Surat itu disimpannya dengan hati-hati.

Tepat hari pengabenan, jasad Ibu Kompyang ditempatkan dalam lembu buatan, yang dirancang khusus dengan bambu dan berbagai hiasan, lalu diarak menuju kuburan. Bade, menara megah tingkat sebelas juga dibuat khusus sebagai simbol kemewahan upacara. Tukang yang mengerjakannya didatangkan dari Sukawati, daerah yang memang terkenal sebagai pusat seni. Bahannya dari kualitas terbaik. Semua itu mengundang decak kagum.

Iring-iringan pelayat begitu panjang. Banyak di antaranya pejabat penting. Suara gamelan angklung yang mengalun merintih seakan kontras dengan arak-arakan yang layaknya sebuah pesta kemegahan itu. Gorda sendiri yang berdiri di atas bade. Orang-orang banyak yang lupa ia sebenarnya tengah berduka karena senyumnya mengembang terus-menerus.

Sampai di kuburan, dengan membelakangi lembu dan bade, Gorda akan membacakan wasiat ibunya di depan orang banyak. Inilah momen yang paling ditunggu-tunggu itu. Petuah-petuah yang disampaikan ibunya pasti akan semakin membuat namanya harum. Ia merasa benar-benar terlahir dari seorang pahlawan besar. Dan ialah pahlawan berikutnya, setidaknya bagi para karyawannya.

Gamelan angklung dihentikan sejenak. Suasana hening. Pelayat menghentikan obrolannya. Pejabat dengan sigap menyimak seolah pemilik media adalah raja di raja saat ini. Mereka tak boleh ketinggalan sedikit pun baris petuah Ibu Kompyang. Karena bisa saja sehabis upacara pengabenan wartawan kembali mewawancarai mereka.

Gorda membuka amplop suratnya, mengeluarkan isinya. Wasiat itu ditulis tangan, hanya satu lembar. Isinya pun tidak panjang. Hanya tiga paragraf ketika Gorda melihatnya sepintas. Lalu perlahan mulutnya mulai terbuka. Pelayat makin hening. Para pejabat kian serius.

“Anakku, aku minta maaf karena mungkin aku tidak bisa menemanimu lagi. Kondisiku semakin memburuk. Bila terjadi apa-apa, itu mungkin sudah waktunya. Aku hanya mau mengatakan aku bangga kepadamu. Bangga karena engkau berhasil memimpin perusahaan keluarga kita selama bertahun-tahun sejak kematian bapak.”

Baca juga  Kampung Bangkai

Gorda menghela nafas sejenak. Bersiap untuk paragraf berikutnya. Paragraf pertama terasa sangat personal dan para pelayat belum tersentuh. Buktinya tidak ada yang menitikkan air mata.

“Tapi anakku, aku juga harus jujur. Aku…” Gorda tiba-tiba menghentikan suaranya. Untung saja matanya melihat kata-kata selanjutnya terlebih dulu. Ia terkaget. Para pelayat mulai tersentuh. Mereka mengira si bos besar sebentar lagi akan meneteskan air mata. Tak kuat menahan kehilangan teramat sangat.

Gorda masih belum melanjutkan. Ia sengaja menyeka matanya yang sebenarnya tetap kering. Ia baca terlebih dulu sampai paragraf terakhir habis. Apa-apaan ini? Kenapa? Kenapa ibunya melakukan semua ini. Gorda masih terdiam. Berusaha menyembunyikan kepanikan sekaligus kemarahannya.

Di saat para pelayat masih sabar menunggu, dan para pejabat tetap menyimak dengan serius, Gorda belum juga mengerti kenapa ibunya justru menyuruhnya membaca wasiat tepat saat pengabenan bila isinya seperti ini. Dan tak mungkin juga ia berani melanjutkan membacanya. Karena di sana tertulis:

“Aku kecewa dengan kepemimpinanmu. Media kita tinggal menang nama, sementara isinya jauh dari cita-cita kita, cita-cita Bapak. Engkau terlalu mengejar uang. Aku kehabisan akal untuk menasehatimu. Media kita kau jadikan mesin uang. Karyawan kau peras, kau manipulasi. Aku sedih melihat mereka pura-pura hormat di depanmu padahal di belakang kau dihujat karena perlakuanmu yang sewenang-wenang. Aku terlambat menyadarinya. Ini juga salahku.

Bila aku mati anakku, aku tak mau upacara pengabenan yang megah. Sungguh tak mau. Aku mau mati dengan biasa. Tapi aku ingin kau mengerti sendiri. Mengerti dengan hatimu. Aku tak mau dibuatkan lembu, tak mau dibuatkan bade. Kalau bisa, aku ingin meniru pedanda itu, pedanda yang tersohor itu. Kau pasti tahu. Mati dengan biasa. Aku pernah menceritakannya padamu. Aku bahkan ingin meniru Pekak Gubreg yang dulu terkenal di desa kita, yang tahu hari kematiannya, yang menyiapkan peralatan upacara sederhana sendiri, sebelum ia benar-benar pergi. Tapi siapakah aku ini dibandingkan dengan mereka? Aku baru sadar aku bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa anakku!”

Begitulah, pelayat-pelayat mulai berbisik-bisik penasaran. Para pejabat mulai berpikir raja media ini berlebihan. Dan Gorda belum juga mengerti kenapa ibunya berbuat seperti ini. Gamelan angklung masih terhenti. Lembu dan bade megah juga masih menunggu untuk dibakar. Sungguh, sebuah kemegahan sementara. Efemeral Grande, kata seorang penulis artikel hebat itu. Gorda masih terdiam. Lama sekali. ***

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!
%d