Cerpen, Media Indonesia, Risda Nur Widia

Lemari Tua

Lemari Tua - Cerpen Risda Nur Widia

Lemari Tua ilustrasi Budi Setyo Widodo (Tiyok)/Media Indonesia

5
(4)

Cerpen Risda Nur Widia (Media Indonesia, 02 Oktober 2022)

HARI-HARI menjadi sulit bagi Tarno. Pria berumur dua puluh lima itu harus lebih pandai menyembunyikan diri di rumah pengapnya dengan pintu serta jendela yang selalu terpejam. Ia seperti itu karena orang-orang kini sedang menjadi malaikat maut baginya.

Zaman memang telah melahirkan sekelumit tuduhan yang tak pernah ia—atau teman-temannya—lakukan. Orang-orang mencari dan memburu mereka seperti bandit karena dianggap sebagai perusak tatanan masyarakat yang telah menyekutukan Tuhan dan agama dalam gerakan partai terlarang: Pekai.

Malam menua di luar. Tujuh kali anjing menggonggong dan sebanyak tujuh kali juga Tarno mendengar rengekan minta ampun yang mengiang teraup angin masuk ke kupingnya. Namun, cepat suara itu padam oleh suara berisik truk melintas. Keheningan pun merayap dengan rasa khawatir di dada Tarno.

“Seperti inikah nasibku yang terpuruk dalam ketakutan sendiri?” Pitamnya seraya memeluk kedua lutut di dalam lemari jati tua milik ibunya.

Tarno ingin menangis saat memikirkan semua itu, tapi tidak ada air mata yang keluar. Ia mencengkeram lututnya semakin kencang, hingga tanpa sengaja dirinya malah mendengarkan suara perutnya yang kelaparan.

***

Rasa lapar yang bercampur sedih terkadang menciptakan perasaan bersalah yang sulit dipahami. Ia merasa sudah mengkhianati kawan-kawannya dalam Barisan Tani Indonesia di desanya yang kini entah ada di mana. Kawan-kawannya itu mungkin sudah mati dieksekusi di tepi Sungai Wedi di Pandansimping oleh para tentara, atau mati di tangan para warga di pinggir Jembatan Kebo Mati.

“Sungguh cara mati yang tidak pantas,” desis Tarno.

Demikianlah beberapa hari lalu, setelah muncul siaran radio dari pusat pengamanan militer di kota yang mengabarkan matinya para jenderal dan Pekai dianggap sebagai dalang; mendadak dendam, amarah, dan kebencian masyarakat seakan segera meminta tumbal. Ditambah berita-berita sadis dari dua koran militer Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha mengenai pembunuhan para jenderal itu: sudah cukup melahirkan tafsir suci bahwa sepenggal kepala orang Pekai adalah kunci masuk surga.

Di tengah kelaparan, pikiran Tarno tiba-tiba meloncat pada cita-citanya masuk ke Barisan Tani Indonesia. Dahulu ia ingin menjadikan desa kecilnya Kraguman sebagai daerah makmur. Apalagi desanya merupakan wilayah agraris luas dengan petak-petak sawah; rincik air jernih dari hulu Sungai Wedi; serta ikan-ikan tawes yang hidup subur. Namun, walaupun demikian, desanya termasuk tempat banyak orang miskin tinggal. Kesenjangan sosial yang tinggi antara pemilik tanah dan pekerja sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa terhindari lagi.

Baca juga  Ing Ratri

Ayah dan ibunya pun termasuk orang-orang miskin itu. Mereka memang rajin menggarap sawah, tapi tak pernah cukup untuk membuat perut keluarga mereka kenyang.

“Coba saja kalau Bapak bisa baca dan tulis,” sering ayahnya mengeluh. “Bapak pasti tidak akan kena tipu menggadaikan tanah peninggalan simbahmu.”

“Sabar, Pak,” sahut istrinya. “Yang mengalami hidup susah seperti ini tidak hanya kita.”

Tarno yang mendengarkan itu merasa sedih. Ia tahu sejarah petaka yang menimpa keluarganya ini dimulai dari rayuan setan tanah di desanya yang serakah. Para tuan tanah itu dengan berbekal janji serta cita-cita pemerintah dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berhasil menghasut orangtua Tarno.

“Kalian bisa menggadaikan sementara tanah kalian itu kepadaku,” bujuk Tukiman saat itu kepada Ayah dan Ibu Tarno.

“Tapi cuma tanah ini tempat kami bergantung,” Ayah Tarno ragu. “Kami takut tidak bisa menebusnya nanti.”

“Tenang saja, Pak,” Tukiman tersenyum licik. “Pemerintah mencintai orang-orang kurang mampu seperti Bapak. Jadi, ada aturan bagi para pemilik tanah untuk membagikan tanah mereka sebagai lahan produksi. Nanti Bapak bisa tetap bertani di tanah Bapak yang telah digadaikan itu, dan hasilnya kita bagi dua, sama rata.”

“Benar seperti itu?” Ayah Tarno mulai tergiur.

“Itulah cara pemerintah menyayangi kita semua agar hidup makmur bersama,” tambah Tukiman semringah.

Akhirnya cita-cita landreform meninabobokan Ayah dan Ibu Tarno. Namun, setelah menggadaikan tanah, bukan hidup yang layak yang mereka dapat. Mereka harus menggarap sawah yang bukan lagi milik mereka sendiri, dengan sebagian besar dari hasilnya yang melimpah diserahkan kepada Tukiman. Setiap kali panen besar, Tarno dan keluarganya hanya mendapat jatah tidak sampai dari seperempat.

Ajaibnya, di tengah segala kekurangan itu, Tarno masih sempat jatuh cinta. Tidak jauh-jauh pula, cintanya berlabuh di Aini, putri Tukiman.

“Lekaslah lupakan, Bung,” kata seorang sahabatnya. “Kau hanya mencari masalah!”

“Tidak! Dia juga mencintaiku!” balas Tarno kukuh.

Namun, Tarno tahu kalau Aini telah dilamar seorang pemuda kaya dari Jogja. Maka sebagai lelaki yang ingin memperjuangkan cintanya, ia mencoba melamar Aini.

“Saya ingin menikahi anak Bapak,” ungkap Tarno saat datang ke rumah Aini. “Berikan saya izin untuk melakukan itu.”

“Dasar monyet!” rutuk Tukiman. “Kau ini babu. Jangan mimpi bisa menikahi anak tuanmu!”

Baca juga  Kisah Pencuri Buku Bahagia

“Tapi, saya manusia, Pak,” jawab Tarno bergetar.

“Babu adalah monyet!” Tegas bapak Aini menimpali. “Jadi, kau adalah hewan! Jangan bermimpi menikahi manusia!”

Tarno pulang dengan hati nelangsa. Ia pun tidak bisa berbuat banyak ketika pernikahan Aini diadakan besar-besaran di Kraguman.

Pada hari pernikahan Aini semua warga diundang. Pertunjukan wayang digelar setiap malam selama seminggu. Namun, ingar bingar itu terasa pedih di hati Tarno. Bahkan di tengah pesta pernikahan itu, Tarno harus kehilangan ibunya karena penyakit kuning.

“Kau telah menghina kami!” pekik Tarno menangisi ibunya. “Aku akan membalaskan semua pedih di hatiku ini padamu, Tukiman.”

Setahun setelah ibunya meninggal, ayahnya menyusul. Mati di tengah sawah karena tersambar petir. Kematian kedua orangtuanya itu membuat Tukiman semakin semena-mena. Jatah panen sawah untuk Tarno tidak lagi diberikan. Ia bahkan tidak diizinkan menggarap sawahnya lagi. Itu yang membuat Tarno makin meradang dan bergabung dalam organisasi tani.

Semua wacana yang berbau revolusi saat itu memang berhasil membius Tarno. Apalagi Tarno sudah bertekad ingin mengambil kembali haknya dari Tukiman.

“Tukiman harus membayar semua perbuatan busuknya!” Janji Tarno pada dirinya sendiri.

Demikianlah, nyaris setahun belakangan, acap terjadi gerakan aksi oleh Tarno dan kawan-kawannya. Bahkan memasuki April, gerakan protes petani itu meluas di Klaten. Para petani kaya yang merasa terancam mencari pengayoman pada gerakan PNI. Penculikan dan pembunuhan terjadi. Memasuki malam 30 September 1965, para jenderal diculik, syahdan ditemukan mati di Lubang Buaya.

“Partai Pekai adalah pelaku pembunuhan. Mereka harus dibubarkan!” Komando dari pusat militer kepada masyarakat dan tentara.

Satu per satu kawan-kawan Tarno di BTI menghilang. Seorang karibnya pun beberapa hari lalu ditemukan mati di tepi rel kereta dengan kepala terputus dari tubuhnya. Nasib Tarno hampir sama. Ia sempat diciduk aparat di wilayah Piungan saat ingin bersembunyi di Prambanan oleh pemuda Marhaen.

Pekai anjing!” Tegas mereka berang. “Mati kalian membusuk di sini!”

Tarno disekap di sebuah sekolah tua yang tidak dipakai. Pada hari kesepuluh, Tarno digiring masuk ke truk bersama puluhan orang lain.

“Kalian ikut bantu tentara angkat pasir di sana,” jelas seseorang entah siapa saat menaikkan Tarno dan rombongan ke dalam truk yang akan meluncur ke Sungai Wedi . “Kerja yang baik!”

Sesampainya di Sungai Wedi, mereka tidak lekas disuruh mengambil sekop atau cangkul. Mereka malah digiring menuju Jembatan Kebo Mati dan berbaris menghadap arah barat. Dari atas jembatan itu, Tarno melihat satu per satu orang dihabisi.

Baca juga  Cinta Itu Buta

“Ampuuuun!” pekik mereka memilukan.

“Setan keparat,” cetus seseorang penjagal mengayunkan goloknya. “Mati saja kalian para pembuat onar!”

Tubuh Tarno kaku melihat semua itu. Namun, suara letusan senjata menyadarkannya bahwa ia juga dalam jurang maut yang sama. Ia kemudian mengerling untuk melihat seorang dari barisannya ditembak persis di kepala.

Satu per satu, dua puluh baris orang-orang yang dijajarkan di atas Jembatan Kebo Mati berjatuhan begitu mengenaskan ke arus kali yang deras. Hingga tiba giliran Tarno untuk merasakan dingin peluru itu.

“Apakah di dunia ini yang ada hanyalah penindasan?” gumam Tarno di detik-detik akhir sebelum peluru berlari ke arahnya.

Dor! Dor! Dor! Desing tembakan nyaring memekakkan telinga Tarno. Ia terjatuh. Pandangannya gelap.

Namun, ia tidak mati. Malaikat maut masih bermurah hati kepada Tarno. Letupan suara peluru dan ketegangan yang mencengkeramnya ternyata membuat Tarno pingsan terlebih dulu. Tubuhnya terperosok jatuh ke sungai yang deras di bawah.

***

Bergetar tubuh Tarno mengingat semua kejadian itu. Bahkan, malam ini, setelah beberapa kali mendengar deru truk dan langkah para serdadu, Tarno ingin menghambur keluar saja dari lemari persembunyiannya. Menyerahkan hidupnya kepada semua orang itu. Tarno ingin mati bertemu kawan-kawannya yang malang. “Kita semua harus mati demi keadilan yang tak pernah dapat direnggut!” Geramnya sekali lagi.

Terdengar kentung gebyok dari kejauhan. Tarno tahu pertanda dari suara itu. Warga sedang berburu para anggota partai yang tersisa. Tidak butuh waktu lama, suara kentung gebyok terdengar semakin mendekat.

“Anjing Pekai itu pasti bersembunyi!”

“Bakar saja rumah ini agar tidak menjadi markas Pekai!”

Tarno bergeming mendengarkan gemuruh kemarahan itu. Tarno pun masih tetap diam ketika asap mulai menyesaki dadanya dan lidah api menjilati pintu lemari. ***

.

.

Risda Nur Widia. Alumnus Pascasarjana PBSI Universitas Negeri Yogyakarta. Karyanya sudah dimuat di media lokal dan nasional. Buku tunggalnya Berburu Buaya di Hindia Timur (2020).

.

Lemari Tua. Lemari Tua. Lemari Tua. Lemari Tua. Lemari Tua.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!