Alfa Anisa, Cerpen, Republika

Ia Terus Memungut Daun-daun Kering

Ia Terus Memungut Daun-daun Kering - Cerpen Alfa Anisa

Ia Terus Memungut Daun-daun Kering ilustrasi Rendra Purnama/Republika

5
(3)

Cerpen Alfa Anisa (Republika, 02 Oktober 2022)

SIANG itu, untuk pertama kalinya aku terusik dengan perempuan yang sibuk memungut daun-daun kering di halaman rumah. Ia muncul bersamaan dengan awan hitam mendadak datang pada suatu hari yang lembap di bulan Agustus. Langkahnya tertatih-tatih menuju sebuah bangku panjang, sesekali membungkuk, memungut daun kering di depannya, sambil membenarkan letak kayu bakar di punggung.

Tepat saat ia duduk di teras rumah, gelombang angin yang berembus tenang mendadak ribut dimainkan cuaca dan mendung. Aku yang mengintip dari jendela ruang tamu jadi teringat ucapan Emak beberapa hari lalu, “Ia tak akan berhenti mencari kayu bakar dan memungut daun-daun kering sampai dosanya bisa terampuni. Dosa pada leluhur di masa lalu.”

Berulang kali aku menyipitkan mata agar perempuan itu dapat kulihat dengan saksama. Rambut hitam legam sebahu dan bergelombang dikuncir sekenanya. Beberapa helai rambut tergerai semrawut. Keriput tampak nyaris memenuhi raut wajah. Tatapan matanya kosong, tetapi beberapa waktu kemudian pandangannya beralih pada daun-daun kering di halaman rumah. Sesekali menghela napas panjang, lalu beranjak berdiri. Kayu bakar dibiarkannya tergeletak begitu saja di tanah.

“Jarmi! Mau makan?” Suara yang kukenal samar-samar mendekat.

Emak datang dari arah selatan, menyapa dengan raut wajah ramah. Awal kedatangan perempuan itu yang selalu duduk pada bangku panjang di teras rumah, semua pintu seringkali kututup rapat. Hanya jendela kamar yang kubiarkan terbuka. Namun, saat Emak melihatnya, perempuan itu selalu diajaknya masuk. Memberikan air minum dan sepiring makanan.

Kulihat sorot mata perempuan yang dipanggil Jarmi berbinar-binar. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis lantas menghampiri Emak. Kupastikan lagi dari celah jendela ruang tamu, Emak mengajaknya masuk.

Perempuan itu bernama Jarmi. Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah yang berada di ujung kampung dekat permakaman umum. Kata Emak, sehari-hari, ia terus mengumpulkan kayu bakar di pekarangan rumah orang-orang. Dan sebagai balas budi kepada tuan rumah, secara sukarela ia akan memunguti satu per satu daun-daun kering di halaman. Bahkan, tak jarang ikut membantu pekerjaan lain, seperti mencabuti rumput, menyiram bunga, atau pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan tanpa bantuannya.

Baca juga  Manuskrip yang Terbakar

“Ia pernah menikah dengan lelaki yang sangat mencintainya, namun tradisi tak merestui hubungan terus berlanjut.” Emak menatap Jarmi yang masih sibuk memungut daun-daun kering tanpa memedulikan sinar matahari telah beranjak ke barat, kicau burung terdengar ribut mencari jalan pulang ke sarang.

Aku mengikuti tatapan Emak, ke arah perempuan yang bernama Jarmi. Langkahnya tampak membungkuk, barangkali terlalu lama membawa kayu bakar yang diletakkan di punggungnya. Entah mengapa aku mulai bisa berdamai dengan Jarmi selepas Emak menceritakan riwayat dan sebab muasal ia terus mengumpulkan kayu bakar dan memungut daun-daun kering.

“Kasihan, Mak! Coba suruh pakai sapu saja,” kataku beralih memandang Emak, tak tega tubuh Jarmi yang telah bungkuk harus terus menunduk untuk memungut daun yang berserakan di halaman.

Emak menggeleng pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya, “Ia tak akan mau. Daun kering yang dipungut telah diibaratkannya sebagai ampunan dari dosa-dosa di masa lalu.”

“Ha?” Aku terhenyak dengan pernyataan Emak yang menurutku sedikit aneh.

Langit mulai mendatangkan garis-garis senja yang turun perlahan, Emak meluruskan kakinya, memulai bercerita.

“Dulu, saat Jarmi seumuranmu—20 tahun—sosoknya cantik dan pintar. Ia memutuskan menikah setelah mengenal lelaki yang juga menjadi rekan kerjanya di pabrik.” Kening Emak mengernyit, seolah sedang mengingat cerita Jarmi yang didengar dari orang-orang. “Tapi sayangnya, pernikahan mereka tak direstui tradisi. Ngalor-ngulon menjadi awal mula cinta mereka harus selesai begitu saja.”

Emak terdiam, memandang lekat Jarmi yang sedang jongkok di halaman. Ia beristirahat sejenak, sambil mengatur napasnya yang kembang kempis. Kulitnya tampak menghitam karena jejak matahari selalu singgah di tubuhnya.

“Meskipun kenyataannya tak direstui tradisi, Jarmi diam-diam yang masih mencintai kekasihnya memutuskan untuk menikah siri. Hingga akhirnya, di ujung tahun selepas pernikahan berlangsung, suaminya meninggal tanpa sebab.”

Deg! Aku tak bisa membayangkan ditinggalkan lelaki yang sangat dicintai. Terlebih lagi, kata orang-orang, tradisi pernikahan ngalor-ngulon bisa mendatangkan kesialan, musibah. Bahkan, karma meninggal dunia bakal mendatangi orang-orang yang tak taat tradisi. Aku pernah mendengar pernikahan ngalor ngulon, yaitu arah rumah kedua mempelai tidak boleh mengarah jalur ke utara lalu menyimpang ke barat. Pernikahan itu dilarang keras karena diibaratkan seperti posisi saat orang yang meninggal dan dimakamkan membujur ke utara (ngalor) dan menghadap ke barat (ngulon). Berakibat karma kematian.

Baca juga  Tanduk Tumbuh di Kepala

“Lalu, kenapa ia juga terus mengumpulkan kayu bakar, Mak?” tanyaku yang masih tak mengerti tentang arti kayu bakar bagi Jarmi

“Kayu bakar diibaratkan adalah dosa-dosanya di masa lalu yang ingin ia bakar bersamaan dengan rasa bersalah yang terus tumbuh selepas ibu dan bapaknya meninggal dunia tak lama setelah sang suami juga meninggalkannya….”

Emak berhenti sejenak. “Orang-orang percaya bahwa karma yang harus ditanggung Jarmi sangat besar. Oleh karena itu, hidupnya saat ini sengsara dan sebatang kara.”

“Apa Jarmi percaya dengan tradisi pernikahan ngalor-ngulon yang dilarang itu, Mak?” Aku masih penasaran, pikiranku menerawang jauh. Ke arah masa lalu Jarmi yang barangkali memang akan berontak ketika diminta harus mengakhiri cintanya. Cinta anak muda memang terkadang lebih bergelora dan begitu keras kepala jika dihentikan.

“Jarmi percaya bahwa mitos tentang pernikahan ngalor-ngulon itu tak akan terjadi selama dia tak meyakininya. Dan ia yakin bahwa kepercayaan itu hanyalah untuk yang meyakini saja,” lanjut Emak dengan suara terisak lirih.

Benar dugaanku, Jarmi di masa lalu merupakan gadis yang keras kepala tentang cinta, bersikukuh bahwa ngalor-ngulon hanyalah tradisi yang tak bisa ditebak nasib pernikahan di kemudian hari. Ia ingin mengingatkan kepada orang-orang, bukankah keyakinan itu seharusnya hanya kepada Tuhan Semesta Alam? Dan bukankah takdir rezeki, jodoh, dan kematian itu juga yang menentukan Tuhan?

Tujuh hari telah berlalu semenjak Emak menceritakan nasib Jarmi yang hidup sebatang kara. Hari ini, aku kembali duduk di sebuah bangku panjang yang biasa menjadi tempat Jarmi melepas lelah. Di pangkuanku ada sebuah buku yang hanya kubolak-balikkan halamannya, lalu kualihkan pandangan ke seberang jalan. Terlihat terik matahari tak lagi membakar jalan-jalan beraspal. Debu yang melayang-layang di udara, membumbung ke angkasa telah mengakrabi embusan angin yang melintas.

Emak melihat gelagat yang sedikit aneh, mungkin raut mukaku terpancar kegelisahan. Segera menuntaskan usaha mengumpulkan opak gadung di pelataran, lalu mendekatiku.

“Kenapa, Ndhuk?” Emak lalu duduk di sebelah kananku. Kedua tangannya yang kotor dikibaskannya ke udara.

“Jarmi nggak datang lagi ya, Mak?” tanyaku sambil tak henti melihat ke seberang jalan, sedangkan buku di pangkuan kuletakkan di atas meja, sengaja kubiarkan terbuka begitu saja.

Baca juga  Anak Itu Mati

“Entahlah,” jawab Emak pendek, lalu ikut-ikutan memandang seberang jalan.

Matahari mulai bergerak ke barat dan terik pelan-pelan berganti dengan cahaya emas yang berkilauan mengintip dari balik rimbun pepohonan. Semenjak satu minggu lalu, Jarmi tak pernah datang lagi ke rumah, padahal aku telah memutuskan akan berusaha mengakrabinya selepas mendengar cerita Emak. Aku menjadi merasa iba saat ia datang tertatih-tatih menuju bangku panjang di halaman rumah, lalu terdiam tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

“Kamu tahu apa yang dirapal Jarmi saat ia memungut daun-daun kering di setiap halaman rumah?” tanya Emak tiba-tiba yang sontak membuatku beralih menatapnya.

“Emang Emak pernah bertanya?” kataku malah bertanya balik. Ternyata Emak juga memiliki jiwa penasaran, sama sepertiku.

Emak mengerlingkan kedua matanya, lalu tersenyum penuh kehangatan. “Saat itu Emak melihat tingkah Jarmi yang memungut daun kering, tapi mulutnya tak henti merapal sesuatu. Emak spontan bertanya kepadanya tentang apa yang diucapkan saat itu.”

Emak menghentikan ucapannya, seolah menggodaku dan membuatku semakin penasaran, “Apa, Mak?”

Astaghfirullah,” jawab Emak tenang.

“Ha?” Aku benar-benar terperanjat apa yang diucapkan Jarmi ternyata benar-benar meminta ampunan dari-Nya. Perempuan yang kukira bakal membenci Tuhan karena memberikan nasib buruk dan kesialan yang terus-menerus menjadi takdirnya di masa tua, ternyata permohonan ampun selalu dirapalkannya. ***

.

.

Blitar, 20 Agustus 2022

Alfa Anisa lahir di Blitar, 28 Maret. Mencintai puisi, kereta api, dan sunyi. Alumnus mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Islam Balitar (UNISBA) dan alumnus santri di Pondok Pesantren Mabhajatul ‘Ubbad. Tinggal di Blitar, sehari-hari berkegiatan di Komunitas Sastra Hangudi. Beberapa karyanya dimuat di media massa dan antologi bersama. Bisa dihubungi di Facebook alfa anisa, Instagram @alfa anisa, dan rumah karyanya di alfaanisaa.blogspot.com.

.

Ia Terus Memungut Daun-daun Kering. Ia Terus Memungut Daun-daun Kering.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Kalok

    Silakan bandingkan dengan cerpen berjudul “Daun-Daun Pahala”, atau yang lebih mula, “Salawat Dedaunan”.

Leave a Reply

error: Content is protected !!