Cerpen Sumiati Al Yasmine (Analisa, 05 Oktober 2022)
SUNYI hanya mampu bicara pada keheningan. Seakan waktu tak mampu untuk direngkuh dalam senyap yang pekat. Sesekali angin berjingkrak menepi pada lagu-lagu malam. Anyir irama sunyi mencekam, meninggalkan remah-remah keresahan yang tak pernah memudar.
Malam-malamku selalu tenggelam bersama langit yang gulita. Tak bisa dipungkiri sebenarnya aku tak nyaman tinggal di ruman ini. Terasa ada yang mengganjal dalam hati. Tapi apalah daya, aku tak bisa menolak untuk tinggal menetap di sini lantaran ini adalah rumah pilihan mas Arsya. Mau tak mau dengan sangat terpaksa aku harus menghabiskan seluruh waktuku di rumah ini.
Aneh. Itulah kesan pertama yang mendarat di dalam hatiku. Seakan ada rahasia besar yang menyelimuti rumah ini. Terlebih di bagian gudang belakang rumah, kerap kali melewati tempat itu bulu kudukku merinding. Urat leherku bergidik. Halaman rumah yang tak biasa menurutku. Lihatlah tepat di halaman rumah ini tumbuh pohon gandaria yang terbilang gagah, dedaunannya begitu menghijau dan merimbun. Akarnya berkelok-kelok hingga menghujam kuat di atas permukaan tanah. Kerapkali melihat bagian atas pohonnya seakan ada bayangan kepala tanpa bagian tubuhnya.
Entah mengapa bila malam menjelang kunang-kunang terbang bergerombol mengitari pepohonan gandaria itu. Seringkali gagak hitam bertengger di pucuk reranting pepohonan tersebut sembari berkicau. Sepertinya ia tengah menyanyikan lagu-lagu malam yang rancu dan menakutkan. Suaranya nyalang di tengah malam yang sepi. Mendadak, suara itu berubal seperti suara raungan seseorang yang tengah menjerit histeris. Sungguh, aku takut melalui malam-malamku sendirian bila mas Arsya lembur bekerja di kantor lalu ia pulang ke rumah sampai larut malam.
Keanehan yang kurasakan tak hanya itu saja. Belum lagi perihal kamar yang ada di sudut ruangan tamu. Kamar itu tak hanya menyeramkan, tapi juga penuh dengan tanda tanya, kamar itu dipenuhi dengan boneka-boneka yang terbuat dari kayu. Boneka-boneka tersebut tersusun rapi di sebuah lemari kaca. Masing-masing boneka itu memegang sebilah pisau tajam. Kenapa harus pisau? Sungguh menyeramkan. Boneka-boneka kayu itu seakan hidup, aku sangat takut melihat kedua mata boneka-boneka itu. Kedua mata mereka kerap kali berkedip-kedip dan memandang tajam ke arahku bila aku terpaksa membersihkan kamar itu agar terlihat lebih rapi. Aku terperanjat, seringkali salah satu boneka kayu yang terbesar jatuh ke bawah lemari. Kejadian itu tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku menjerit tak karuan, berlari sekuat tenaga. Secepat mungkin aku pergi meninggalkan kamar itu.
Di dalam rumah ini juga terdapat banyak lukisan-lukisan yang beraroma mistis. Lukisan-lukisan yang mengerikan itu hampir terpajang apik di setiap dinding sudut rumah. Lukisan lelaki berkepala naga menjadi pusat perhatianku. Lukisan yang membuat hatiku terenyuh, lelaki yang ada di dalam lukisan itu terlihat tengah menangis, tapi bukan airmata yang keluar dari kedua matanya, melainkan darah kental yang mengucur deras dari kedua matanya.
Hari-hari yang berat kulalui sendirian bila mas Arsya dinas ke luar kota. Kejadian-kejadian aneh sering kualami. Aku sering mendengarkan suara tangisan yang merintih dari aral pohon gandaria yang tumbuh di pekarangan rumah. Tak kenal siang dan malam aroma busuk selalu tercium menyengat dari arah gudang belakang rumah. Setiap malam aku sering melihat bayangan hitam melintas dari arah pohon gandaria. Aku begitu takut. Rumah ini juga jauh dari keramaian, tak ada tetangga yang tinggal di dekat rumahku. Rumah ini posisinya terpencil. Di dua persimpangan baru ada rumah-rumah berjajar.
Mas Arsya belum juga pulang dari dinas luar kota. Beberapa malam ini, aku merasa kurang enak badan, bergegas aku masuk ke dalam kamar untuk beristirahat lebih cepat. Perlahan aku berusaha untuk rileks di atas tempat tidur dan memejamkan kedua mataku. Padahal hampir di tiap malam aku susah untuk memejamkan kedua mataku. Keduamata terasa mengantuk, namun tak kunjung bisa tidur. Malam ini aku berusaha untuk tidur dengan senyaman mungkin. Menghilangkan segala pikiran buruk dalam hatiku. Sejenak kurasakan ada yang berbeda. Berulangkali aku mendengar suara ketukan dari arah jendela kamarku. Seakan ada seseorang tengah mengetuk jendelanya secara berulang kali. Suaranya semakin beradu keras saat kudengar burung gagak menjerit parau tak tentu arah.
Mendadak aku terkejut bukan kepalang, kulihat segerombolan kunang-kunang telah masuk ke dalam kamarku. Sosok bayangan hitam tanpa kepala melintas dari arah kamar mandi.
Aku bergegas bangun dari tempat tidurku. Aku begitu ketakutan. Sosok bayangan hitam itu seakan hendak menerkamku. Aku berlari sekuat tenaga dan membuka pintu kamarku. Aroma busuk menyengat. Belatung-belatung menjijikan disertai nanah berhamburan keluar dari tubuh bayangan hitam itu. Aku bertambah panik. Kulihat boneka-boneka kayu yang ada di sudut ruangan tamu hidup. Dengan gesit mereka berjalan ke arahku sembari membawa sebilah pisau. Aku menangis histeris, isak tangisku tak mampu kubendung.
Aku berusaha untuk menghindar dan terus berlari. Sosok bayangan hitam itu semakin ganas hendak membunuhku. Boneka-boneka kayu yang menyeramkan itu satu persatu melemparkan sebilah pisau tajam secara bergantian ke arahku. Ketakutanku sudah di ambang puncak.Yang ada dalam pikiranku, aku harus keluar secepatnya dari rumah terkutuk ini. Bergegas aku berlari untuk membuka pintu, tapi pintu itu terasa berat untuk dibuka.
Aku menjerit histeris. Selangkah lagi sosok bayangan hitam itu mendekatiku. Kubuka kembali pintu depan rumah berkali-kali, namun tak bisa dibuka padahal pintunya tidak terkunci. Aku pasrah, sosok bayangan hitam itu hendak mencekikku. Aku merintih ketakutan sembari memejamkan kedua mataku. Mendadak pintu rumah terbuka. Kulihat mas Arsya telah berdiri di hadapanku. Bergegas aku berlari dan memeluknya dengan erat.
“Ada sosok bayangan hitam yang akan menghabisi nyawaku, Mas.”
“Di mana sosok bayangan hitam itu, Sayang? Aku sama sekali tak melihatnya.”
“Aku tidak berbohong, Mas.”
“Percayalah kepadaku.”
“Ayo, Mas, ikut denganku, akan kutunjukkan satu hal penting kepadamu.”
“Mas tahu kan boneka-boneka kayu yang ada di sudut ruangan tamu itu. Kulihat tadi boneka-boneka itu hidup. Mereka berjalan begitu gesit ke arahku seakan ingin membunuhku.”
Aku menarik tangan mas Arsya dengan tergesa-gesa. Kami berdua berjalan menuju ke kamar di mana boneka-boneka kayu tersebut dipajang. Betapa terkejutnya aku. Ternyata boneka-boneka itu tersusun rapi di dalam lemari kaca, bahkan tak ada yang berkurang satu pun.
“Lihat, Sayang, bonekanya semuanya ada di sini. Mana mungkin mereka hidup dan berjalan.”
“Mungkin tadi kau sedang bermimpi. Bisa jadi kau juga kelelahan. Atau jangan-jangan kau begitu rindu kepadaku hingga bermimpi yang aneh-aneh.”
“Ada hal penting yang ingin kusampaikan kepadamu, Mas. Kumohon mengertilah. Aku sering mengalami kejadian-kejadian yang aneh di rumah ini. Kau harus tahu, Mas. Betapa gilanya aku menghadapinya sendirian bila mas tak ada bersamaku.”
Perlahan air mataku jatuh berguguran dari kedua mataku. Isak tangisku tak mampu tertahankan.
“Sayangku, janganlah menangis. Aku tak sanggup melihatnya,” mas Arsya memelukku dan menciumku.
“Ada hal yang aneh di rumah ini. Sebuah rahasia besar seakan menyelimuti rumah ini. Kita pindah saja dari rumah ini, Mas.”
“Jangan takut, kita akan selalu bersama.”
Setelah aku menceritakan semua kejadian-kejadian aneh yang kualami di rumah ini, mas Arsya meluangkan waktunya untuk mengunjungi rumah Bantur. Ia tak lain adalah pembantu dari pemilik rumah ini. Tentunya ia tahu perihal rumah ini. Semoga segalanya dapat terjawab.
Awalnya Bantur tak berkenan menerima kedatangan kami. Tapi setelah mendengarkan ceritaku tentang hal-hal aneh yang sering kualami di rumah tersebut, hal itu membuat hati Bantur terenyuh dan tergerak hatinya untuk menerima kedatangan kami ke rumahnya.
“Sejak lama rumah itu sudah menjadi wingit.”
“Wingit? Apa maksud pak Bantur?”
“Kami berdua tak mengerti.”
“Wingit itu artinya angker.”
“Angker,” sahut mas Arsya sembari menatap tajam ke arahku.
“Apakah orang yang menawarkan rumah itu tak menceritakan perihal yang sebenarnya kepadamu?”
“Beliau sama sekali tak menceritakan apa pun kepada saya.”
“Bisakah pak Bantur menceritakan perihal rumah itu kepada kami? Kasihan sekali istri saya selalu mengalami hal-hal aneh ketika berada di rumah sendirian.”
“Semasa hidupnya, majikan saya adalah orang yang baik. Tapi sayang, hidupnya berakhir dengan tragis. Nyawanya harus tewas di tangan anak kandungnya sendiri. Beliau hanya memiliki seorang anak lelaki saja. Anak lelaki yang kerap kali membangkang kepada kedua orang tuanya. Beliau berharap anak itu mampu menjadi cahaya bagi hatinya.”
“Sungguh sayang anak yang dibesarkan dengan ketulusan kasih sayang berubah menjadi serigala ganas yang tega memangsa ayah kandungnya sendiri,” sahut pak Bantur sembari menyembunyikan kepedihan hatinya.
“Sang anak tak terima dengan keputusan ayahnya. Sebelum meninggal dunia, sang ayah tak mewariskan sepeser harta pun kepada anaknya. Semua hartanya ia infaqkan ke panti asuhan dan beberapa masjid dan panti jompo. Saking marahnya dengan keputusan ayahnya, akhirnya ia nekat menghabisi nyawa ayah kandungnya sendiri dengan sebilah pisau tajam.”
“Tragisnya, setelah membunuh nyawa ayahnya, sang anak mengubur jasad ayahnya di gudang tua di belakang rumah. Beberapa minggu setelah kejadian itu, sang anak dihantui rasa bersalah atas perbuatannya sendiri hingga ia tak sanggup menguasai gejolak hatinya sendiri.
Tepat di malam bulan purnama, sang anak memutuskan untuk gantung diri di atas pohon gandaria. Disinyalir oleh banyak orang, rohnya hingga kini masih gentayangan. Hal itu yang menyebabkan rumahitu menjadi wingit.”
“Lantas apa yang harus kami lakukan saat ini?”
“Tinggalkan rumah itu secepatnya sebelum boneka-boneka kayu itu mencari mangsa yang baru,” ucap pak Bantur dengan tegas.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku dan mas Arsya segera mengemasi barang-barang dan bergegas pergi dari rumah ini. Untunglah teman sekantor mas Arsya merekomendasikan kepada kami sebuah rumah kontrakan yang lebih bagus dan nyaman. Kami berdua begitu semangat untuk pindah ke rumah yang baru. Semoga rumah itu menjadi peneduh kedamaian dalam hati.
***
Seusai membereskan barang-barang, tanpa terasa malam telah pekat pada kekentalannya. Aku dan mas Arsya terperanjat bukan main saat kami membuka koper yang berisi pakaian ternyata di dalamnya ada dua boneka kayu.
Siapa pula yang meletakkan dua boneka tersebut di dalam koper pakaian? Aku dan mas Arsya sama sekali tak ada memasukkannya ke dalan koper. Boneka tersebut sama persis dengan boneka yang ada di rumah kontrakan yang sebelumnya.
Kami berdua juga terperanjat bukan kepalang saat melihat segerombolan kunang-kunang berkerumun mengelilingi pohon gandaria yang ada di samping rumah. Bukankah pohon yang ada di depan rumah kontrakan yang baru adalah pepohonan sonokeling, tapi mengapa sekarang berubah menjadi pohon gandaria. Pohon yang sama persis dengan pohon yang ada di rumah kontrakan yang lama.
Aku dan mas Asrya saling beradu pandang ketika dua boneka itu membuka kedua matanya. Mendadak mereka bangun dan mengarahkan sebilah pisau tajam ke arah kami berdua. Apakah boneka-boneka kayu itu telah mendapatkan mangsa yang baru?
Malam senyap, teriakan menerjang. Burung gagak berkicau parau menyanyikan tembang-tembang kematian di puncak malam yang penuh dengan kegetiran. ***
.
.
(Tanjung Morawa Medan Sinembah, Gang Mumi 2020)
.
Wingit. Wingit. Wingit. Wingit. Wingit.
Leave a Reply