Cerpen, Gandi Sugandi, Kedaulatan Rakyat

Manusia Kantong Plastik Hitam

Manusia Kantong Plastik Hitam - Cerpen Gandi Sugandi

Manusia Kantong Plastik Hitam ilustrasi Joko Santoso (Jos)/Kedaulatan Rakyat

4
(2)

Cerpen Gandi Sugandi (Kedaulatan Rakyat, 07 Oktober 2022)

“KE mana ya Harnadi, katanya usai Asar, akan mampir di warung ini, lalu minum-minum bir bersama-sama?” tanya Maman.

“Tunggu saja sepuluh menitan lagi. Biasa kan dia, uang yang disimpan dalam kantong plastik hitamnya dari hasil menjual tanah, suka dipamer-pamerin dahulu? Jadi makan waktu.” Dayat menjawab.

“Iya betul.”

“O iya, apakah kau masih ingat, sudah berapa kali Harnadi menjual tanah?”

“Aku kira, ya sekitar 6 kalilah menjual tanahnya. Dia selalu menjualnya sebidang-sebidang, tidak sekaligus semua tanahnya.”

“Ya, dan uangnya selalu habis untuk foya-foya bersama kawan-kawannya yang banyak itu. Sebentar lagi, kita juga akan kecipratan rezeki. Eh, aku sudah tidak tahan nih ingin minum. Kita pesan saja?”

“Ya pesanlah, lagi pula aku yakin, Harnadi tidak akan mangkir,” Dayat menjawab.

Maman lalu bertanya pada pemilik warung pengkolan desa ini, “Apakah bisa pesan dahulu dua botol bir, empat bungkus saset kacang tanah dan dua bungkus rokok?”

Pemilik warung mengangguk. “Ya boleh. Aku juga sudah tahu, Harnadi kan dikenal sebagai seorang pemurah dan tentang uang, bisa dipercaya.”

Kemudian, semua pesanan pun terserak di meja. Dua botol bir tutup botolnya telah terbuka. Mamanlah yang pertama kali menuangkan air bir ke dalam gelas. Sebelum meminumnya, menawari pemilik warung, “Ayo ikutan minum?”

Namun, pemilik warung menolak. “Tidak usah, terima kasih. Kalau kalian berdua minum, kesadaran kalian kan akan berkurang. Kalau aku ikutan minum, kesadaranku juga sama akan berkurang. Nanti kalau ada apa-apa, siapa yang akan menolong kalian? Aku, juga tidak akan bisa menjaga barang-barang jualan.”

Baca juga  Sebuah Risalah Vaksinasi

Maman dan Dayat mengangguk hampir berbarengan.

Keduanya kemudian minum bir seteguk demi seteguk, diselingi makan kacang tanah garing. Asap rokok kretek, tak henti mengepul—asapnya tak tentu arah karena tertiup angin kecil.

Usai habis satu batang rokok di bibir Maman, tampak Harnadi yang bertopi hitam berjalan menuju arah warung, di tangan kanannya, tertenteng kantong plastik hitam berisi uang.

Maman berseru. “Tuh kan, apa kubilang? Harnadi tidak akan ingkar janji.”

Harnadi, semakin mempercepat berjalan. Kantong plastik hitamnya diacung-acungkan. Di warung, Maman dan Dayat menjadi tersenyum-senyum.

Saat Harnadi tiba, langsung saja memesan bir. Pemilik warung, gegas melayani.

Harnadi, Maman dan Dayat kemudian minum-minum bersama diselingi obrolan-obrolan. Obrolan-obrolan yang nyerempet porno, juga sesekali terdengar.

“Apakah kita tidak bosan hanya minum?” Harnadi bertanya.

“Kau terus saja foya-foya. Sudah, segini saja cukup, memang kau ingin apa lagi?” Maman balik bertanya.

“Ya, kita cari hiburan.”

“Hiburan apa?” Kali ini Dayat nimbrung.

“Hiburan yang dapat membuat lelaki merasa damai,” jawab Harnadi seraya tertawa.

“Aku mengerti itu. Di mana? Kapan?” Maman bertanya.

“Nanti malam, kita akan ke satu tempat di kota ini. Ikut kan?” Harnadi mengajak.

“Ikutlah.”

Maman dan Dayat menjawab hampir berbarengan.

Pemilik warung hanya menggelengkan kepala.

***

Saat malam, usai Maman dan Dayat melampiaskan nafsu, langsung pulang. Namun, Harnadi bermalam di tempat itu di satu kamar itu bersama seorang wanita.

***

Pagi-pagi, Harnadi melamun di kamar karena semua uang dari kantong plastik hitamnya ternyata hilang, yang berarti, tidak lagi memiliki sepetak tanah pun. Disumpah-serapahinya wanita itu.

Lalu dengan lunglai, ke[1]luar dari kamar. Sebelum meninggalkan tempat, ditujunya bak sampah, berharap dapat kembali menemukan kantong plastik hitam. Dengan tangan kosong, dipilah-pilahnya semua isi sampah. Nihil.

Baca juga  Lorong Jiwa Senyap

Meskipun begitu, satu kantong plastik hitam yang masih baru, diambilnya juga. Dia bawa. Di pikirannya lalu berkecamuk perasaan bersalah, bercampur baur dengan rasa penyesalan. Mengapa selama ini, setiap setelah selesai menjual tanah hanya berfoya-foya?

Harnadi tidak pulang ke rumah menemui anak-anak dan istri karena merasa malu, juga merasa berdosa. Di kota ini, Harnadi kemudian berjalan tak tentu arah. Saat melihat kantong plastik hitam, berhentilah Harnadi untuk mengambilnya.

Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, Harnadi hanya berkeliling kota—dengan tetap berharap dapat menemukan kantong plastik hitamnya.

Satu bulan kemudian, di depan satu kios pasar kecamatan, pemilik warung pengkolan melihat Harnadi yang berpakaian kotor, dekil, juga di beberapa bagiannya robek-robek. Selain itu, di tangan Harnadi juga terjinjing kantong plastik hitam—namun bukan lagi berisi gepokan uang, tetapi dua buah bata merah. ***

.

.

Bandung, September 2022

*) Gandi Sugandi, alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000. Saat ini bekerja di Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan.

.

Manusia Kantong Plastik Hitam. Manusia Kantong Plastik Hitam.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!