Cerpen, Danarto, Horison

Godlob

Godlob - Cerpen Danarto

Godlob ilustrasi Zaini/Horison

5
(1)

Cerpen Danarto (Horison Nomor 1 Tahun III, Januari 1968)

GAGAK-GAGAK hitam bertebahan dari angkasa, sebagai gumpalan-gumpalan batu yang dilemparkan, kemudian mereka berpusar-pusar, tiap-tiap gerombolan membentuk lingkaran sendiri-sendiri, besar dan kecil tidak keruan sebagai benang kusut. Laksana setan maut yang compang-camping mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga mereka loncat ke sana loncat kemari, terbang ke sana terbang kemari, dari bangkai atau mayat yang satu ke gumpalan daging yang lain. Dan burung-burung ini jelas kurang tekun dan tidak memiliki kesetiaan. Matahari sudah condong, bulat-bulat membara dan membakar padang gundul yang luas itu, yang di atasnya berkaparan tubuh-tubuh yang gugur, prajurit-prajurit yang baik, yang sudah mengorbankan satu-satunya milik yang tidak bisa dibeli: nyawa! Ibarat sumber yang mati mata airnya, hingga tamatlah segala kegiatan, perahu-perahu mandeg dan kandas pada dasar sungainya dan bayi menangis karena habisnya susu ibu.

Tiap mayat berpuluh-puluh gagak yang berpesta pora bertengger-tengger di atasnya, hingga padang gundul itu sudah merupakan gundukan-gundukan semak hitam yang bergerak-gerak seolah-olah kumpulan kuman-kuman dalam luka yang mengerikan.

Suara-suaranya sebagai kaleng-kaleng yang ditendang-tendang di atas lantai ubin, merupakan panduan suara lagu-lagu maut yang dahsyat, tak henti-hentinya memenuhi seluruh padang bekas pertempuran itu, jalinan-jalinan nada yang kacau-balau seolah setan-setan itu ketakutan oleh ancaman setan-setan lain atau sebuah persidangan dimana terjadi perdebatan-perdebatan yang tak menentu, dengan hasil yang gilang-gemilang, yaitu kemampuan membiarkan rakyat berkaparan di tong-tong sampah.

Senjata berserakan di mana-mana. Beberapa senapan dengan sangkur terhunus, menancap di sisi-sisi mayat dengan topi bajanya terpasang di atas. Mungkin seorang teman sempat berbuat begini, sebelum dia sendiri ditolong oleh teman lainnya diberi tanda begitu.

Beberapa ekor gagak bermain-main dengan granat dan beberapa ekor yang lain menyeret-nyeret tali pinggang yang penuh peluru. Yang lain kelihatan hinggap di atas bren sambil menggaruk-garuk tubuhnya dan merentang-rentangkan sayapnya.

Bau busuk, anyir, menegang-negang seluruh bentangan padang gundul itu, hingga udara siang hari hingar-bingar oleh daging-daging yang menguap dan malam hari terasa pengap, seolah-olah mayat-mayat itu ada dalam kaleng.

Kalau angin bertiup keras, maka bau itu terbang ke mana-mana jauh dan jauh sekali, seolah kabar-kabar buruk yang diwartakan kepada tiap hidung, untuk dirasakan bersama, bahwa perang itu busuk. Tetapi prajurit adalah prajurit, ia tabah akan semua perintah, walaupun bagaimana bentuk dan beratnya, dan perang itu pun berjalan lancar dan memuaskan dengan hasil yang gilang-gemilang, yaitu pembunuhan berpuluh-puluh ribu manusia sebagai babatan alang-alang. Ya, manusia adalah alang-alang.

Matahari makin condong, bagai gumpalan emas raksasa yang bagus, membara menggantung di awang-awang dan pelan-pelan mau menghilang di balik bukit sana.

Dari ujung padang gundul itu, berderak-derak sebuah gerobak tanpa atap yang ditarik oleh dua ekor kerbau. Kelihatan di dalamnya dua orang laki-laki. Seorang anak muda terbaring parah di atas jerami. Yang seorang lagi adalah tua, tetapi masih kelihatan kuat. Gerobak itu bergerak lambat, terlalu lambat, dan karena keadaan jalan yang tidak rata, banyak lubang-lubang bekas meledaknya bom-bom atau peluru-peluru meriam hingga kedua penumpang itu terangguk-angguk, bahkan kadang-kadang terbanting pada dinding gerobak. Kerbau-kerbau itu berjalan gontai dan lemah, seolah-olah sudah segan untuk menarik kedua penumpangnya dan ingin berhenti saja. Tiap kali gerobak itu melewati gerombolan gagak-gagak yang sedang pesta itu, gerombolan itu sejenak bubar dan berjingkat-jingkat untuk kemudian datang mengerumuni mayat itu lagi. Begitu tiap kali, dari gerombolan yang satu ke gerombolan yang lain, hingga mengingatkan lalat-lalat yang diusir dari koreng kerumunannya.

“Bangsat, kamu sinting!” bentak orang tua itu sambil memukul beberapa ekor gagak ke sana kemari yang tiba-tiba menyerang gerobak itu.

“Kau kira! Kau kira!” ia memukul seekor yang hinggap di kepala anak muda yang berdarah itu.

“Kau kira kami bangai-bangkai?” Tetapi pukulan meleset dan mengenai kaleng hingga berderang terpelanting jauh dan burung itu terbang tertawa-tawa.

Baca juga  Kehidupan di Dasar Telaga

Ia meloncat mengambil kaleng itu.

Kemudian gerobak itu dibiarkannya jalan di muka, ia terpukau berdiri. Pandangannya berkeliling. Raut mukanya menyeringai menatap gerombolan gagak-gagak mengerumuni bangkai-bangkai itu. Puluhan, ratusan, memenuhi padang itu. Kemudian ia lari dan tertawa-tawa, meloncat ke dalam gerobak.

“Anakku,” katanya sambil memapah anak muda itu.

“Kau lihat. Kau lihat. Baru sekarang aku takjub atas pemandangan ini. Kau lihat.”

“Ayah, cukuplah,” jawab anak muda itu sambil merebahkan dirinya di atas jerami lagi. “Bukankah aku kemarin-kemarin juga terbaring seperti mereka, sebelum Ayah mendapatkan aku?”

“Yah, seperti mereka, sebelum aku mendapatkan kau! Dan berhari-hari tangan-tanganmu yang lemah itu menggapai-gapai untuk mengusir burung-burung yang menyerangmu. Dan hidungmu yang mewarisi hidung ibumu itu sudah cukup kebal untuk bau busuk bangkai kawan-kawanmu atau musuh-musuhmu. Dan udara menghantarkan kuman-kuman untuk mengunyah sedikit demi sedikit luka-lukamu yang parah itu.”

“Ayah, cukuplah,” keluh prajurit muda itu sambil membetulkan balutan luka-lukanya yang kotor dan membusuk itu.

“Kau masih ingat sajak ‘Sang Politikus’?” tanya orang tua itu. Tapi karena kata-kata itu seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, maka anak muda itu tidak menjawab. Orang tua itu lalu berdiri, tangannya merentang dan memandang sekeliling:

.

Oh, bunga penyebar bangkai

di sana, di sana pahlawanku tumbuh mewangi

.

Ia berhenti deklamasi, sejenak ia termangu, sedang tangannya masih tetap terentang, lalu meledaklah tawanya dan bubarlah gerombolan gagak di kanan kirinya.

“Sajak itu cukup baik, cukup bermutu, bukan?” kata orang tua itu. “Anakku, kau tahu bedanya sajak yang dibuat oleh seorang politikus dan seorang penyair?’’

Orang tua itu lalu memandang berkeliling lagi.

“Kalau ada seorang yang menderita luka datang kepada seorang politikus, maka dipukullah luka itu, hingga orang yang punya luka itu akan berteriak kesakitan dan lari tunggang langgang. Sedangkan kalau ia datang pada seorang penyair, luka itu akan di elus-elusnya hingga ia merasa seolah-olah lukanya telah tiada. Sehingga tidak seorang pun dari kedua macam orang itu berusaha untuk mengobati dan menyembuhkan luka itu. Bagaimana pendapatmu, Anakku?”

“Ayah, cukuplah.”

Dan gagak-gagak itu bubar dan berkerumun kembali. Lalu ganti berganti: bau busuk-kerbau gontai, bau busuk-sore redup, bau busuk-derap gerobak, bau busuk-kaok gagak.

“Malam datang, Anakku. Sedang gagak-gagak itu masih belum juga kenyang.”

Keadaan telah gelap gulita, hanya sekali-kali jauh di sana melayang-layang pistol cahaya, mencari-cari nyawa yang masih hinggap di badan.

“Kalau malam gelap seperti ini, aku sangsi apa besok matahari sanggup menembusnya. Semuanya menyaksikan saya. Siang berganti siang. Malam berganti malam. Tidak ada sesuatu yang baru dalam hidup kita. Rutin. Rutin.”

“Ayah, cukuplah. Bagiku semuanya memastikan. Tidak ada yang menyangsikan walaupun keadaannya rutin, rutin belaka. Semuanya kita sudah diatur. Tanpa kuminta dan di luar pengetahuan saya, lahirlah saya dari rahim ibuku yang bersuamikan Ayah,” ia berhenti bicara karena napasnya tersengal-sengal. Dan roda-roda gerobak berderak-derak, sedang dua ekor kerbau ogah-ogahan.

“Aku anak bungsu. Kenapa aku tidak minta sebagai anak sulung? Aku kagum kepada tentara. Aku ingin memasukinya. Aku dilarang. Perang pecah dan membawaku ke sana. Sekarang aku luka parah, mungkin bisa hidup terus, mungkin sebentar nanti mati. Tapi kini aku bisa berkata bahwa tentara itu baik. Semacam manusia yang percaya kepada manusia lain, sehingga kepasrahan ini mampu mendorongnya untuk mengorbankan segala-galanya, harta bendanya, keluarganya, dan nyawanya.”

“Ya, manusia yang mulia di mata Tuhan,” kata orang tua itu.

“Ayah, kenapa aku tak memilih lapangan yang lain? Seandainya pilihanku itu sesuatu bencana bagiku, sang nasiblah yang mengantarkan aku ke sana, jadi seharusnya manusia merasa senang juga.

Apa yang ada ini mempunyai pasangan-pasangan. Kalau sesuatu meleset dari pasangannya, manusialah yang salah mengerjakannya. Satu senti meleset mengakibatkan melesetnya seratus senti yang lain.”

Baca juga  Mansur Ingin Pulang

“Sebagaimana perang ini terjadi, umpamanya, bukanlah begitu, Anakku?” tukas ayahnya. “Ada setetes yang tidak beres di kalangan atas, yang mengakibatkan puluhan, ratusan, ribuan jiwa manusia hancur. Dan yang setetes itu harus diselidiki betul-betul. Mungkin perkara sepuluh persen komisi atau membela celana kotor yang cengeng. Atau tentang kebenaran bibir cewek.”

“Ayah, cukuplah,” potong anak muda itu, sambil menggeliat dan mengaduh karena menahan sakit.

“Mungkin. Seratus satu kemungkinan. Tetapi sesuatu yang sudah menjadi bubur, tidak guna disesali. Yang terang, aku sudah bekerja sebaik-baiknya, O, Nasibku….”

“Nasibkulah, Anakku! Nasibkulah yang menyebabkan aku berbicara, sehingga tidak cukup sekian saja. Aku sudah menyerahkan empat nyawa anak-anak kepada sang Politikus dan tidak ada sesuatu pun yang kuterima. Sekarang ia merenggut anakku yang terakhir dan nyawa yang paling kusayangi, kau! Kau! Sesuatu yang bagaimanakah dan bentuk kebenaran macam apakah menghalalkan itu semuanya? Anakku! Anakku! Tak bisa kutanggungkan lagi….”

“Ayah, cukuplah! Cukuplah!”

“Belum cukup! Aku harus memutuskan sesuatu yang hebat, biar aku tidak dirugikan habis-habisan! Lihatlah, Anakku! Lihatlah! Gelap gulita dan pekat. Saking gelapnya hamper-hampir aku tak bisa melihat tubuhku sendiri. Tidak ada setitik cahaya pun. Florence Nightingale telah digondol gagak-gagak. Lembah kebenaran sudah diganti padang kurus kesangsian. Kau lihat di sana, katedral telah disapu habis rata dengan tanah dan sekarang—ditumbuhi semak belukar. Kau lihat di sana masjid digerayangi cacing-cacing dan ulat-ulat. Kau lihat di sana, perawan-perawan telah disekap di kamar-kamar. Kau lihat di sana, kursi-kursi pemerintahan sudah digadaikan. Apakah yang bisa diharapkan lagi, Anakku?”

“Ayah, cukuplah. Seharusnya keluarga kita berbangga. Perang yang susul-menyusul, kita telah mampu menyumbangkan tenaga kita.”

“Berbangga? Aku telah kenyang dengannya. Sekarang aku harus memutuskan sesuatu yang hebat, biar aku tak dirugikan habis-habisan. Anakku, aku minta sumbanganmu?”

“Apa maksud Ayah?”

“Lukamu cukup parah, bukan?”

“Aku tidak tahu….”

“Tiap hari banyak orang-orang berbondong-bondong di batas kota dari pagi hingga petang atau dari petang hingga pagi untuk menjemput, kalau-kalau suaminya, saudaranya, anaknya, kawannya, pulang dari pertempuran. Betapa setianya mereka. O, seandainya mereka tahu apa yang terjadi sesungguhnya di padang gundul ini! Ibumu akan menyambutmu, juga kawan-kawanmu, juga para tetangga. Engkau sejenak akan dikagumi untuk kemudian dilupakan selama-lamanya.”

“Ayah! Apakah Ayah tidak bisa melihat hikmah yang terkandung dalam semua kejadian ini?”

“Tidak! Aku tidak melihatnya, sebab di situ memang tidak ada apa-apa!”

Beberapa ekor gagak menubruk-nubruk dinding gerobak. Sedang udara dingin menusuk-nusuk malam yang lengang itu.

“Supaya aku tidak terlalu rugi. Supaya nasibku sedikit lebih baik, aku minta sumbanganmu.”

“Apa maksud Ayah sebenarnya?”

“Anakku. Aku ingin kau jadi pahlawan.”

“Ayah???”

“Begitu bukan sajak sang Politikus?”

.

Oh, bunga penyebar bangkai

di sana, di sana, pahlawanku tumbuh mewangi

.

“Betapa lezatnya sajak itu, Anakku. Apakah kau tidak bisa melihat kenikmatan pembunuhan dalam sajak itu?”

“Ayah???”

Orang tua itu bangkit dan seandainya ada cahaya yang menerangi wajahnya, akan tampak betapa tegang urat-uratnya dan menyeringai merah. Lalu ia berkata keras-keras, “Anakku, maafkan ayahmu. Kau harus kubunuh!”

“Ayah! Dengan cara demikiankah ayah menghalalkan? Aku dan Ayah adalah dua manusia. Di mata Tuhan, kita masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Aku mempunyai Sang Nasib Pengasuhku sendiri! Ayah diatur oleh yang lain!”

“Anakku, kali ini pengasuhmu menyerahkanmu kepadaku!”

“Tidak! Tidak mungkin! Pengasuhku bekerja konstruktif!”

“Tidak selalu! Sekali-kali ia boleh nyeleweng!”

“Ayah!!!”

“Anakku!!!”

“Ayah….”

“Anakku….”

***

Sehari sehabis pengangkatan prajurit muda itu sebagai pahlawan oleh para pembesar di balai kota, maka pagi harinya iring-iringan jenazah yang panjang itu menuju makam pahlawan dengan kemegahan upacara militer. Banyak pengiring yang menangis. Anak semuda dia dengan keyakinannya, terlalu sayang untuk pergi.

Suasana siang terasa sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Anak-anak tidak bermain-main di halaman seperti biasanya. Angin bertiup keras, hingga keadaan jalan yang panas kemarau itu penuh bertebaran debu-debu.

Baca juga  Cumbu Ular

Hari berikutnya, sehabis penguburan, matahari mencambuk-cambuk kulit, ketika tiba-tiba jalan di depan balai kota digemparkan oleh seorang perempuan membopong mayat.

Orang berduyun-duyun menuju kepadanya, hingga suasana hiruk-pikuk. Masing-masing saling tanya-menanya apa yang terjadi:

Siapakah wanita aneh itu? Tidak jijikkah ia? Aduh, seorang perempuan yang berani. Benar? Mayat pahlawan kemarin? Digali lagikah ia? Ya, Tuhan, oleh tangan ibunya sendiri. Jadi, yang membopong itu ibunya? Aduhai, satu paduan yang bagus: Ibu Pertiwi membopong Pahlawannya. Bukan begitu. Kenapa tidak demikian? Tampaknya suatu pemandangan yang mengerikan.

Mau dia apakan? Ada sesuatu yang salah? Bagaimana mungkin?

Kemudian para pembesar pada keluar dari balai kota dan turun mendapatkan orang-orang. Dalam sekejap saja, orang-orang yang berkerumun itu sudah sama banyaknya dengan rombongan pengantar jenazah kemarin. Lalu di antara orang-orang yang mengelilingi perempuan dengan mayat itu, tersembullah seorang tua yang serta-merta berhadapan dengan peristiwa itu.

“Ini dia orangnya! Ia adalah suamiku, namun sejak kugali mayat anakku ini, ia telah kuceraikan. Semalam ia telah bercerita panjang lebar tentang garis depan. Akhirnya ia pulang membawa tipuan-tipuan buat kita. Mayat ini sama sekali bukan pahlawan. Dan seandainya ia sanggup bangun, ia akan berkata kepada kita bahwa ia tidak ingin jadi pahlawan. Aku tahu tabiat anak-anakku. Dialah! Orang laki-laki ini yang membikinnya jadi pahlawan!

“Dia membunuhnya! Dia menipu kita!”

“Sebaliknya, aku kena tipu oleh mereka!” Tangis laki-laki itu sambil menunjuk dengan garangnya kepada para pembesar. Yang ditunjuk melongo dan menarik dadanya undur.

“Kita semuanya kena tipu mentah-mentah. Lihatlah aku! Keluargaku ludes! Tidak ada sesuatu yang kudapatkan!”

“Pengkhianat!’’ teriak para pembesar bersama-sama.

“Menurut hukum yang bagaimanakah seorang berhak menyebut orang lain pengkhianat atau pahlawan? Kemarin kubawa mayat anakku, anak yang penghabisan dari empat orang lainnya yang sudah hancur duluan. Perang demi perang telah memeluk anak-anakku dengan mesranya. Dalam sekejap mata mayat ini diangkat jadi pahlawan. Aku sudah mengira, kusudah tahu. Sementara kalian dengan berkaleng-kaleng air mata mengantarkannya ke kuburan, aku dengan tertawa terpingkal-pingkal!”

“Dengan berpijak pada nilai-nilai objektif, akan tidak ada tipuan-tipuan,” kata para pembesar bersama-sama.

“Adakah nilai-nilai objektif?”

“Semuanya adalah subjektif!”

“Apa yang kau harapkan sekarang?” kata para pembesar bersama-sama.

“Apa yang bisa aku harapkan dari kalian?”

Lalu laki-laki itu memandang sekeliling, menatapi wajah demi wajah:

“Kalian orang-orang kecil, sekali-kali boleh pergi ke garis depan. Hingga kita bisa juga bicara tentang perang.

“Lihatah, Sang Politikus! Ia bicara tentang negara, tentang perang, tentang ekonomi, tentang sajak, tentang kebun binatang, tentang perempuan. Sudah diborongnya semua. Lantas kita disuruh bicara tentang apa?

“Oh, perutku terasa muak! Mual! Hingga mau muntah saja!”

Tiba-tiba perempuan itu mencabut pistol dari pinggangnya dan sejenak menggelegar bunyinya memenuhi sudut-sudut kota dan robohlah laki-laki tua yang ada di hadapannya itu. Perlahan perempuan itu berjongkok di depannya. Air matanya meleleh.

Suaminya menggeliat menoleh kepadanya:

“Perang demi perang berlalu, iseng demi iseng berpadu.” Kemudian ia meraih mayat anaknya dan jatuh.

Suasana hening. Sekaliannya dipaku di tempat berdirinya masing-masing.

Perempuan itu berdiri. Dengan wajah termangu ia memandang ke atas:

“Oh, nasibku, nasibku. Sedang kepada setan pun tak kuharapkan nasib yang demikian.” ***

.

.

Leles, 13 Agustus 1967

.

Catatan:

Godlob = nafsu amarah

.

.

Danarto. Lahir di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940 dan meninggal di Jakarta, 10 April 2018. Seorang cerpenis dan pelukis. Kumpulan cerpennya antara lain: Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000), dan Kacapiring (2008).

.

Godlob. Godlob. Godlob. Godlob. Godlob. Godlob. Godlob Godlob. Godlob. Godlob.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!