Cerpen, Kompas, Yanusa Nugroho

Bunga Kamboja dan Kucing Mati

Bunga Kamboja dan Kucing Mati - Cerpen Yanusa Nugroho

Bunga Kamboja dan Kucing Mati ilustrasi Firman Lubis/Kompas

3.8
(13)

Cerpen Yanusa Nugroho (Kompas, 09 Oktober 2022)

YANG turun dari langit itu es batu. Sebesar sirtu, mungkin ada yang nyaris sebesar bola pingpong. Begitu saja turun tanpa didahului ramalan cuaca. Bergelatak keras di atap-atap rumah. Berdeplok-deplok di lantai tanah, juga di aspal hitam yang selalu lengang itu. Anak-anak kecil berteriak-teriak girang menyaksikan es jatuh dari langit. Mereka mencoba memunguti, tapi dicegah.

“Benjol, baru tahu rasa….” begitu ucap entah siapa.

“Sakit?”

“Coba, sana. Tapi nggak boleh nangis, ya….”

Es masih berjatuhan, tiba-tiba disapu angin keras. Dahan pohon trembesi itu patah, berderak dan gemerasak jatuh. Dahan itu melintang, memotong badan jalan beraspal hitam. Angin seperti membetot apa saja yang tegak di atas tanah. Banyak gubuk di pinggir kali yang terangkat beberapa meter dan dihempaskan tak jauh dari situ. Jangan kau tanya bagaimana penghuninya. Belum selesai angin menggila, hujan sangat deras menghempas, disusul geledek menggelegar, kilat menyambar. Sebatang pohon kelapa tersambar petir, menjelma obor raksasa di tengah badai air yang menggila. Di jalanan, banyak kendaraan menepi sambil menyalakan lampu sein berkedip. Jarak pandang hanya 10 meter, siapa yang berani nekat berkendara.

***

Di depan sebuah rumah, yang letaknya di jalan kecil beraspal, seekor kucing mati. Ada sisa genangan darah dari luka di kepalanya.

Di dekat kucing mati itu tumbuh pohon kamboja. Bunganya cukup banyak dan berwarna merah dan kuning. Satu pohon tetapi berbunga dua warna. Dan seusai badai itu, menyaksikan tubuh malang si kucing, kamboja menggugurkan bunga-bunganya. Selebihnya, sepi. Selebihnya, bumi basah, dingin dan sunyi yang menggelimang. Ada kucing mati dengan luka di kepalanya. Tak ada lagi sisa es batu dari langit.

Ada laki-laki menggandeng anak kecil lima tahun. Tiba-tiba seperti mematahkan pembicaraan si ayah sebelumnya, si kecil berlari menuju si kucing mati.

“Ayaah… si empus matiii….” teriaknya. Ada nada sedih yang sangat dari teriakannya. Selebihnya hanya kebekuan. Si ayah mendatangi anaknya, yang masih lima tahun itu, menggendongnya dan mengajaknya pulang. Si anak, seperti tak rela, mengulang-ulang ucapannya sambil menangis, “Si empus matiii, si empuusss matiii….”

“Ya, sudah… sudah… empus sudah mati, mau diapain….” bisik ayahnya mencoba menghibur. Tapi si anak malah memberontak turun. Dia seolah ingin menuntaskan kesedihannya melihat si kucing yang mati dengan luka di kepalanya, dengan darah yang masih menggenang di sekitar kepalanya; sebagian terbawa sisa hujan, seakan membentuk lukisan aneh yang sulit dicerna.

Si ayah tetap berusaha menghibur anaknya, tetapi si anak seakan makin terluka. Dia meraung. Kilat bekerjap di langit kelabu. “Mau hujan lagi, de, pulang yuk….” bujuknya.

Baca juga  Menebang Pohon Silsilah

Si anak tetap meraung dan ndeprok di dekat si kucing mati. Celananya basah, dan dia tak peduli. Bajunya basah dan dia tetap meraung. “Empus matiii… empus matiii….”

Hujan pun turunlah. Si ayah meraih anak laki-laki kecil itu. Si anak berontak dan kian menunjukkan dukacitanya. Di tengah derai hujan, si bapak jongkok di dekat anaknya, yang menangisi kucing mati di dekat pohon kamboja.

Sebuah mobil berhenti di dekat mereka. “Ada apa, Bim?”

Si ayah mendongak dan menceritakan apa yang terjadi. Si pengendara mobil mengajak si ayah dan anaknya untuk masuk ke mobil dan pulang. Tapi, si anak kecil itu makin melolong. Apa pun ucapan bujukan dari dua lelaki dewasa itu seolah makin melukai jiwanya yang hijau.

Si pemilik rumah, mungkin karena melihat ada mobil berhenti di depan rumahnya, ditambah ada seorang laki-laki dan seorang anak jongkok di cuaca berhujan, segera melongok dari teras. “Ada apa, Pak?”

Laki-laki yang dipanggil Bim menjawab bahwa anaknya tak mau dibawa pulang.

“Kenapa?”

“Ini ada kucing mati….”

“Ooo… kasihan. Kucingnya, ya?”

“Bukan.”

Si penanya kehilangan kata-kata, lalu berucap: “Hujan, lho… masuk sini….”

“Adee… pulang, yuuuk.. ayah kebasahan, nih, ade juga…. Yuuk?”

“Enggaaak… empus matiii.…”

“Iya… empus sudah mati.…”

“Bawa pulaang… empus matiii.”

“Kok, dibawa pulang, de? Kan, sudah mati?”

“Bawa puuulaaaang.”

“Yuuk, ade… naik mobil, nanti om antarin pulang….” bujuk yang di mobil, tanpa turun dari mobilnya.

“Nggak mauuu! Empus bawa pulaaang… empus matiii.”

Si ibu muda pemilik rumah itu keluar membawa dua buah payung besar. Yang satu dibuka, yang satu masih kuncup. Sesampainya di dekat pohon kamboja, diserahkannya payung yang masih menguncup itu kepada si ayah, yang lalu mengembangkannya. Si ibu tegak di bawah payung putihnya. Si ayah jongkok mengembangkan payung hitamnya, memayungi dirinya dan si ade. Mobil itu masih berhenti dengan nyala lampu sein yang berkedip. Selain isakan dan gumaman si ade, yang seperti merapal mantra “si empus matiii, si empus matiii” selebihnya, bumi basah, dingin dan sunyi yang menggelimang. Ada kucing mati dengan luka di kepalanya.

“Ayah, empus mati… bawa pulaaang….” rengek si ade memecah keheningan.

“Kan, sudah mati, de…” jawab si ayah agak jengkel.

“Bawa pulaaang… empus matii….”

“Buat apa dibawa pulang, empus sudah mati! Sudah tidak bisa diajak main lagi.”

“Ini kucing ade, ya?” tanya si ibu muda.

“Bukan. Entah kucing siapa, tapi selalu main ke rumah kami. Ade selalu ngasih makan dan jadi teman mainnya.” Jawab si bapak seolah menumpahkan kekesalannya. Si ibu muda terdiam.

Baca juga  Pengusaha Idealis

Si ibu muda masuk ke rumah dan keluar membawa tas plastik ukuran besar.

“Mungkin sebaiknya dibawa pulang saja, Pak. Kasihan si ade kedinginan.”

“Untuk apa bawa kucing mati?”

“Bawa pulaaang… empus matiii… bawa pulaang, ayaah….” dan tangisnya pecah lagi.

Dengan kejengkelan yang tertahan, si ayah memasukkan si kucing mati yang basah oleh darahnya sendiri dan air hujan ke dalam kantong plastik. Si ade terdiam seketika, menghapus air matanya, berdiri dan menggandeng tangan ayahnya. Si ayah bingung. Menyerahkan payung hitam kepada si ibu muda, memandang sesaat kepada si pemilik mobil—yang kelihatan lega sekali karena dua orang basah kuyup itu tak jadi mengotori mobilnya—dan berjalan bersama anaknya.

Si ibu muda masuk rumah, yang segera diserbu pertanyaan dua anaknya yang sejak tadi nongkrong di depan televisi. Si ibu hanya diam, tersenyum dan wajahnya mengatakan “tak ada apa-apa.”

***

“Si empus mau diapain, de?” tanya si ayah mencoba memahami pikiran anaknya.

“Dikubur, ayah… kasihan, empus mati.”

“Iyaa, dikubur di mana?”

“Di tanah, ayah.”

“Di tanah mana, ade? Rumah kita kan di atas. Nggak ada halamannya.”

Tapi, si ade rupanya tak mau tahu apakah mereka berumah di petak-petak rusun, atau di istana. Yang dia tahu, si empus harus dikubur: kasihan.

Sesampai di pinggir kali, sebelum menyeberang ke rusun tempat tinggal mereka, si ayah berkata bahwa sebaiknya si empus dikubur di pinggir kali saja. Setelah diberi penjelasan berkali-kali bahwa tak mungkin mengubur si empus di rumah mereka, karena tak ada halaman bertanah di sana, barulah si ade menurut. Ketika sudah mendapat persetujuan, kini si ayah bingung, bagaimana menggali lubang untuk kuburan si empus?

Aneh, si ade tiba-tiba menggunakan jari-jarinya untuk mengeruk tanah. Si ayah sempat terpaku, lalu buru-buru ikut menggaruk tanah dengan tangan kosong. Si ayah masih sulit mencerna bahwa anaknya mengajarinya bagaimana menggali tanah dengan tangan kosong. Si empus dibungkus plastik dan dimasukkan ke lubang. Ade menimbuninya dengan tanah. Tampak sekali dia berhati-hati menimbuni si empus. Hujan masih turun seperti orang menangis berkepanjangan.

***

“Yaaa… Allooooh, yaa Tuhaankuuu… kenapa sampai basah dan kotor gini, sih? Emang nyarinya sampai mana, sih, ayah? Kamu, itu, bandel kalau dibilangin, yaa….” dan sederet panjang kata-kata yang menghambur dari bibir si ibu. Si ayah hanya membisu. Selain karena kedinginan dan basah, dia hanya ingin segera ganti baju, menyeduh kopi dan menikmati kretek dengan harum cengkehnya.

Baca juga  Tidak Ada Perayaan Hari Ini

“Di mana tadi ketemunya?”

“Kompleks.”

“Yaa, Alloh, deee… bandel, kamu, yaa… dibilangin, kalau maen jangan jauh-jauh.”

“Tapi si empus mati, buuu.”

Si ibu terdiam sesaat mencoba menghubungkan ucapan anaknya dengan kenyataan yang sedang dihadapinya. Tak terlintas di ingatannya bahwa empus adalah seekor kucing. Lalu, sambil tetap mengomel, si ibu memandikan anaknya, mengganti bajunya dengan yang kering. Di luar terdengar suara televisi tetangganya menikmati dangdut. Si ayah menikmati kreteknya, di semacam beranda, di luar ruangan.

***

Di rumah si ibu muda, televisi curve 55 inci menyiarkan orang-orang muda membanggakan koleksi Lamborghini Huracan 580 Spyder dan Rolls-Royce Phantom Coupe. Kedua anaknya sesekali berkomentar “bagus, yaa…” atau yang satunya mengatakan “Beli, dong ma, keren, kan.”

***

Si ade tertidur. Dia bermimpi bermain dengan si empus tak bernama dan entah siapa yang punya. Mereka terikat oleh kegembiraan bermain yang tulus. Pertemanan yang tak bisa diwakili kata-kata. Si empus berlarian di plafon kamar yang kecil itu dan si ade menyusul. Mereka berkejaran gembira di dunia yang jungkir balik. Si ade tertawa-tawa di dalam mimpinya. Kebahagiaannya menembus dunia nyata. Si ibu melihat wajah si ade tersenyum-senyum dalam tidurnya.

Di luar, hujan masih turun. Tidak terlalu lebat, tetapi lebih basah daripada gerimis. Langit kelabu gelap dengan sesekali diterangi cahaya kilat. Kamboja berbunga dua itu tampak lebih tua dari biasanya. Batangnya seperti melengkung tunduk dan bunga-bunganya seperti ditaburkan di tempat si kucing mati; yang kini hanya tinggal sisa darah kehidupannya, yang mengalir membentuk semacam lukisan aneh di pinggir jalan.

Besok masuk tanggal satu Ramadan; orang-orang memborong bahan makanan. ***

.

.

Yanusa Nugroho, lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. Cerpennya, “Orang-orang yang Tertawa”, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dalam kumpulan cerpen berjudul Diverse Lives—editor: Jeanette Lingard (1995). Beberapa kali mendapatkan penghargaan di bidang sastra. Cerpennya, “Selawat Dedaunan”, mendapat Anugerah Cerpen Terbaik Kompas 2012.

Firman Lubis lahir di Bandung, 1975. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Tertarik dan bergabung dalam beberapa organisasi sketsa. Beberapa kali terlibat pameran bersama, yang terakhir Marakayangan Drawing di Bandung 2022.

.

Bunga Kamboja dan Kucing Mati. Bunga Kamboja dan Kucing Mati. Bunga Kamboja dan Kucing Mati. Bunga Kamboja dan Kucing Mati.

Loading

Average rating 3.8 / 5. Vote count: 13

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Anak kecil memang lebih jernih batinnys melihat sesuatu…

Leave a Reply

error: Content is protected !!