Angga T Sanjaya, Cerpen, Koran Tempo

Cupu Kiai Panjala

Cupu Kiai Panjala - Cerpen Angga T Sanjaya

Cupu Kiai Panjala ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

0
(0)

Cerpen Angga T Sanjaya (Koran Tempo, 09 Oktober 2022)

KAU pulang tepat waktu, persis ketika mori pembungkus tiga guci pusaka Kiai Panjala akan dibuka dan dibaca sesepuh desa. Selepas sore, Senin Wage, ketika semburat merah saga perlahan memudar, lalu senja buta utuh memugar, aku akan menunggumu seperti biasa di muka gardu, tepat di sisi utara rumah Lek Mun. Seperti dulu, kita akan melihat lagi bagaimana pusaka bekerja. Memeram tanda, mencuri peristiwa dari tangan waktu yang papa.

“Bagaimana, apakah kali ini kau bersedia?”

***

Bukankah sudah lama sekali sejak kali pertama kita ikut Lek Mun menyambangi rumah Kiai Dwija Sumarta, keturunan ketujuh trah Kiai Panjala, tempat ketiga cupu itu disimpan selama dua belas bulan?

Kita lihat saat itu, lelaki perempuan membentang dari garis halaman hingga bagian dalam rumah Kiai Dwija. Mereka duduk bersila selurus batang tela, menghadap seorang lelaki tua yang mulai membaca warna dan bercak noda yang dipercaya menggambar rahasia.

Kala itu, lelaki tua yang tidak lain Kiai Dwija duduk setenang batu. Sesekali tangannya menyibak mori, memilin, mendekatkan kain dengan mata, lalu membaca dengan seksama. Guratan ombak di keriput kening dan ruas matanya seperti memberi aba-aba pada kita semua agar tak lupa melirihkan suara. Di sebelah kanan guci, tergelar sebuah tampah sesaji, minyak wangi jenis Fanbo diletakkan di atas bunga kanthil, kenanga, dan mawar. Kemenyan dinyalakan. Aroma dan asap mengepul memenuhi ruangan, mengitari ingkung, nasi gurih, adrem, srondeng, dan peyek putih yang tampak megah membelakangi Kiai Dwija.

Lek Mun yang sudah lebih dulu bersila kemudian menarik kita. Aku yang goyah sedikit roboh. Setelahnya kau ikut pula meletakkan tubuh.

Di tengah pembatas bilik bambu setengah lutut dan dibuat persegi itu, Kiai tidak di dalamnya sendiri. Lima hingga enam lelaki lebih muda ikut mengelilingi guci. Sesekali menggelar dan menyibak mori, sesekali ikut menyusuri bagian yang dianggap teka-teki. Kesemua lelaki memakai jarik dan sorjan khas abdi dalem Kraton Mataram.

Acara masih lama, rasa penasaranmu kian meraja.

“Cupu Panjala itu apa?” kalimatmu lirih menerpa.

Lek Mun sudah mewanti-wanti pada kita, jika hendak ikut tidak boleh banyak bicara. Tapi ah, dasar kau. Sejak umur belasan, kau memang sudah terkenal banyak bertanya dan urakan. Di dalam kelas, bukan sekali-dua kali saja kalimatmu membuat resah guru-guru kita.

Pernah suatu kali di kelas tujuh, ketika pelajaran mengulas alat reproduksi, kau menunjuk bagian selangkangan gambar organ manusia, kemudian bertanya, kenapa milikmu bentuknya berbeda, sembari telunjukmu menukik ke arah kelaminmu. Terang saja, beberapa temanmu tertawa, sedangkan aku dan siswi lainnya menyisipkan rasa malu di guratan senyum yang utuh tertelungkup telapak tangan. Untung saja Bu Narti kala itu begitu sabar menjelaskan kepadamu bahwa kamu lelaki, sedangkan yang kau tunjuk pertama adalah alat reproduksi wanita. Dengan lugu dan santainya kau mangut-mangut dengan ibu jari dan telunjuk menjepit dagu. Gelagatmu persis seperti orang dewasa yang baru saja mengerti sesuatu.

Baca juga  Tentang Tujuh Dosa

Kembali lagi pada pertanyaanmu. Saat itu Lek Mun yang tidak tertarik menjawabmu, justru membuatmu mengulang suara, kali ini lebih keras sehingga membuat Lek Mun nampak waswas.

“Lek, Lek Mun, cupu Kiai Panjala itu apa?” Tanganmu menarik-narik kain pakaian yang menempel di lengannya.

“Benda pusaka.” Jawab Lek Mun singkat, tidak kalah lirih dengan kalimatmu pertama.

“Pusaka?”

“Tiga buah guci, Semar Tinandu, Kalang Kinantang, dan yang terkecil Kenthiwiri. Yang dibuka Kiai sekarang itu namanya Semar Tinandu.” Kalimat tergesa dengan wajah memburat tegang memberimu tanda bahwa kau harus segera berhenti bertanya.

Dari kejauhan, beberapa orang terlihat mengangkat Semar Tinandu keluar dari petak bambu. Diikuti lelaki-lelaki yang sama membawa guci yang lebih kecil, Kalang Kinantang, meletakkannya di hadapan Kiai Dwija, dilingkari sesepuh lainnya.

Mereka membaca hingga satu jam lamanya, di hadapan Kiai dengan tiga puluh lembar kain sudah dibuka. Setelah tiba giliran Kentiwiri, kau terlihat mulai resah dan tak lagi betah.

Tiga kali sudah kau menggeser dan mengganti posisi badan. Kedua belah kakimu yang sebelumnya terlipat ke belakang sebagai tumpuan badan, kini kau pajang selurus badan. Tubuhmu kau rubuhkan, bersandar di lengan kanan Lek Mun yang masih tampak tekun. Sesekali kau menoleh ke kiri mengadap ritual, menandai prosesi yang tak kunjung henti. Selebihnya tatapanmu lepas memudar.

Baru sekitar pukul sepuluh lebih tiga puluh, seluruh kain mori lengkap dimaknai. Kau melirikku dengan raut muka lega, menarik napas dalam-dalam seperti sesuatu yang berat telah tuntas kau lepaskan.

Udara malam membasuh tubuh, mengupas kulit, saat itu kita berjalan menembus petang. Bayang beberapa orang di depan samar-samar ditelan remang, sekaligus beberapa lainnya tampak mengekor di belakang. Kau melaju di baris paling kanan, diiringi gesekan sandal jepitmu yang sengaja kau tempa di jalan tanah berbatu.

“Tiga cupu yang disimpan dalam kotak kayu tadi sudah berusia lebih dari lima ratus tahun. Badannya dibungkus kain mori tebal, sebanyak lebih dari seratus lembar.”

Suara Lek Mun menguar, mengisi kekosongan. Aku menatapnya benar-benar, sembari sesekali kepalaku mangut-mangut tanda mendengar.

“Apakah cupu benar-benar bisa meramal?” tiba-tiba pertanyaanmu terlempar, seolah menunjuk keraguan.

“Sepertinya begitu.”

“Buktinya?”

“Menurut cerita Uyut Uti, belasan tahun lalu, mori cupu kiai berturut-turut berisi gambar angka tiga belas terbalik di sisi selatan yang berarti pertanda kesialan, sisi utara ada gambar puncak mesjid bermakna keinginan menegakkan kebenaran, sisi timur ada gambar gunung menunjuk suatu tempat, dan sisi barat ada darah kering cukup lebar yang berarti akan ada kematian massal.”

“Bulan Oktober tahun itu, banyak jasad ditemukan di dasar gua tidak jauh dari desa. Jika keduanya dihubungkan, maka gambar-gambar itu seperti tuntas merangkai peristiwa.”

Baca juga  Meruwat Kakung

“Jadi, cupu benar-benar bisa meramal ya?”

Lek Mun menjawabmu dengan dua anggukan kepala. Kau diam selurus pandangan. Memaku wajah yang suntuk memikirkan sesuatu.

Saat itu, aku tidak tahu pasti, hal macam apa yang mengganjal di benakmu. Hingga di kemudian waktu, sampai kita sama-sama remaja (dan mulai menyimpan rasa), aku tahu, memaksamu mempercayai ramalan cupu hanyalah perbuatan yang sia-sia dan tidak berguna.

Tahun-tahun berikutnya bahkan tidak satu pun kau hadir ketika cupu dibuka dan dibaca di rumah Kiai Dwija. Setidaknya hingga saat ini.

***

Dua puluh tahun berlalu sejak hari itu dan hampir satu dasawarsa lewat sejak terakhir kita bertemu. Kau datang ke sebuah kota yang nampak di televisi dengan banyak lampu menyala, gedung menjulang, dan jalan-jalan tumpang-tindih seperti rel tamiya yang kini kesepian dan tertegun di pelataran Lek Mun. Kota yang pelan-pelan menambahkan spasi di antara kata pulang dan rindu di lembar hatimu. Setelah pungkas sekolah disusul keputusanmu pergi ke Ibu Kota, Umakmu berusaha tampak tegar. Hari-hari ia pangkas dengan merawat bunga dan bercocok tanam di sepetak sawah warisan. Belum genap seribu hari bapakmu mati, dan harus menatapmu melangkah pergi. Hati Umak mana yang tidak digerogoti sepi?

Lalu bagaimana denganku? Tak perlu kau tanyakan lagi, bagaimana beratnya hati seorang perempuan yang menunggu tanpa kepastian dari seorang lelaki. Kalimat yang tak saling kita ucapkan, tapi aku yakin kita sama-sama merasakan.

Selama itu pula, hanya sebuah surat mendarat di rumah Umakmu dua tahun lalu. Aku membantu membacakan suratmu dengan pelan-pelan. Sambil beberapa waktu terjeda lantaran kutambahkan dengan kalimat yang berbeda. Bukankah kau tahu Umakmu tidak cakap membaca? Apalagi angka tua yang merayapinya membuat pendengaran dan pikirannya tak lagi tajam mencerna. Jangan-jangan kau lupa?

Aku pertegas padanya bahwa kau seorang wartawan. Tugasmu mencari berita tanpa kenal jam. Umakmu mengangguk pelan. Pekerjaanmu sebagai wartawan, memaksamu pergi selepas subuh dan baru selesai setelah petang. Umakmu kembali mengangguk pelan. Aku juga katakan, kau tidak pernah pulang lantaran di Jakarta sedang banyak demo dan kerusuhan. Dan, sebagai wartawan, tugasmu harus hadir di antara banyak kejadian. Kali ini Umakmu hanya diam, diikuti tampang muram, dengan semburat tenggelam dan mata yang tergenang. Aku mencoba menenangkan. Kukatakan padanya, setelah pekerjaanmu di Ibu Kota, sudah beberapa bulan kantor menempatkanmu bekerja di Yogyakarta. Umakmu tampak begitu senang. Wajahnya yang semula sepekat lubang sumur tua kini sedikit menyala.

Hari ini akhir tahun sembilan-sembilan, dua puluh empat bulan selepas surat itu kubacakan, kau memilih pulang. Sejatinya aku tak tahu keyakinan macam apa yang merasukimu tiba-tiba sehingga kau memutuskan untuk pulang. Mungkin benar kata orang, selama tali ari-ari utuh tertanam, kerinduan bakal tunjam mengakar.

Baca juga  Buah dari Kesabaran

Maka sudah kukatakan, pagi tadi, kau datang tepat waktu ketika tiga buah guci, Semar Tinandu, Kalang Kinantang, dan Kenthiwiri, akan dibaca dan dimaknai Kiai malam hari nanti. Maka, seperti biasa, aku akan menunggumu di gardu, tepat pukul tujuh. Tidak perlu bicara, berdebat perkara cupu dan ramalan-ramalannya. Anggap saja kau benar, bahwa cupu hanyalah cerita reka-reka yang dibangun oleh nenek moyang kita. Sebab, aku hanya ingin berdua, mengenang masa kecil kita satu per satu. Itu saja.

“Bagaimana, apakah kali ini kau bersedia?” Pagi tadi, kalimat terakhir yang baru saja tuntas kuucapkan telah kau balas dengan satu anggukan. Saat itu, wajahmu terang, berhias rekah senyuman, persis seperti bulan sabit di tengah kegelapan.

Maka malam ini, tepat pukul tujuh, aku sudah ada di gardu. Pandanganku melesat, menjarah kegelapan, berharap seseorang datang dari kejauhan. Namun sudah hampir setengah jam, langkah kakimu yang dulu biasa kau gesekan ke tanah berbatu tidak juga terdengar beradu dari selatan gardu.

Sepertinya benar, tidak pernah ada pilihan bagi perempuan yang menunggu kepastian.

Kulangkahkan kakiku sembari kuat-kuat menahan sesuatu yang hendak tumpah dari mataku. Malam ini kutekadkan, cukup aku sendirian melihat cupu Kiai Panjala dibuka dan dibaca para sesepuh desa.

***

Pagi hari, Lek Mun datang ke rumahku, sepucuk surat di tangannya ia ulurkan kepadaku. Kuperhatikan benar-benar nama yang rebah di pojok kanan bawah, sepenggal nama, Fuad Syafrudin.

Surat ini kutulis pagi hari, setelah kau bertanya, apakah malam nanti aku bisa bersamamu melihat cupu. Aku memang bersedia. Namun sejujurnya, jika tiba-tiba aku harus secepatnya meninggalkan desa. Surat ini mewakili keberadaanku untuk memohon maaf kepadamu. Dengarkan baik-baik, sebelum aku pulang, dua orang tentara mencariku di hampir seluruh pelosok Yogya karena sebuah berita tentang pemilihan bupati. Ceritanya panjang dan tidak sempat kutulis sekarang. Maka jika surat ini tiba ada padamu, saat itu aku telah pergi, mencari tempat lain untuk bersembunyi. Tak perlu kau risaukan aku. Jaga Umak dan dirimu. Salam.

Setelah membaca suratmu, kepedihanku lenyap. Namun sebuah kecemasan yang lebih menyakitkan datang layaknya hujan. Tiba-tiba, aku ingat sesuatu, ramalan cupu. Berturut-turut empat gambar disampaikan, angka tiga belas (kali ini tidak terbalik), kursi tanpa satu kaki, pohon tumbang, dan semburat darah kering.

Entah kenapa ingatanku deras mengarah padamu. ***

.

.

Jejak Imaji, 2021

Angga T Sanjaya, dosen Prodi Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan. Lahir di Gunungkidul, 7 Juni 1991. Kini tinggal di Yogyakarta. Bergiat di komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang.

.

Cupu Kiai Panjala. Cupu Kiai Panjala.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!