Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 27 Maret 1983)
DARI jauh, kulihat perempuan itu masih tafakur menghadapi gundukan tanah yang ditimbuni karangan bunga banyak sekali. Suaminya telah berkubur di situ.
Angin membawa debu dari jalan raya. Kuburan mana yang boleh sepi sekarang ini?
“Aku tak bisa membayangkan kehidupan tanpa dirinya,” katanya suatu ketika.
“Pasti hatiku akan merasa remuk dan redam, menangis berkepanjangan, meraung ke langit dan melolong-lolong seperti orang gila,” katanya lagi, membayangkan upacara penguburan.
Ternyata tidak. Ia tidak menangis. Dulu, ketika ibunya meninggal, ia juga tidak menangis meskipun katanya sedih sekali.
“Kematian itu seperti bunga mekar yang kemudian gugur,” katanya, “seperti matahari senja yang tenggelam ke balik cakrawala. Seperti air yang menjadi uap, dan menjadi air lagi.”
Kudengar itu di antara aroma ratus dan suara gambang yang dimainkannya sendiri.
Apakah pendapatnya berlaku bagi mayat-mayat yang dibuang dari jembatan dalam kegelapan malam seusai pembantaian? Kami menyaksikannya bersama dari balik semak-semak di tepi sungai, sambil saling berpegangan dengan gemetar.
“Orang-orang tanpa Tuhan, mampus kalian!”
Mereka dengar teriakan semacam itu.
Namun aku tidak ingin memotong aliran suara gambang nan tenang dengan pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Bahkan kami tidak pernah membicarakannya sama sekali!
Suaminya kini sudah tiada. Tinggal jasadnya yang ada di dalam tanah. Sedangkan sesuatu yang menghidupi suaminya itu, yang membuatnya bisa bergerak dan tertawa-tawa, yang membuat suaminya bisa berpikir tangkas dan pandai mencari uang kini sudah tidak ada lagi.
Apakah sesuatu itu? Perempuan itu tak pernah memikirkannya.
Orang-orang sudah lama meninggalkan kuburan. Semuanya. Mereka percaya perempuan itu tidak akan menangis tengkurap sambil menggali-gali tanah ingin menyusul suaminya. Mereka tentunya tahu, setahu mereka, betapa perempuan itu bukan hanya tabah, melainkan juga setia.
Mereka berdua, dalam dunia yang gombal, adalah pasangan ideal.
Kusaksikan perempuan itu, di depan tanah merah menggunduk tempat suaminya kini terpendam.
***
Bunga-bunga di karangan itu bergerak-gerak sedikit. Ada daun kamboja jatuh, matahari bergeser makin ke barat. Perempuan itu mengusapkan saputangan ke wajahnya. Masih ada sisa panas dari siang, tapi sebentar lagi hari akan benar-benar jadi kelam.
Ia masih berdiri, tak bergerak setapak pun. Sedangkan aku sudah dari tadi mencari tempat teduh, menduduki salah satu nisan dan menatapnya diam-diam dari kejauhan. Aku melihat ke sekeliling, seluas mata memandang hanya kuburan saja berderet-deret. Di ujung sana tembok-tembok memutih bagaikan cakrawala yang memisahkan dunia orang hidup dan dunia orang mati.
Dan senja pun menelungkupi kota, juga di pekuburan keluarga itu, di seberang tembok tampak cahaya terang dari lampu listrik, suara-suara kehidupan bergaung sayup-sayup.
Di kuburan itu aku sendiri sebetulnya tak tahu persis apa yang dipikirkan perempuan itu. Aku hanya melihat ia berdiri lama sekali, sampai langit berwarna malam. Aku mengira-ira apa yang di batin perempuan itu berdasarkan apa saja yang pernah ia ceritakan kepadaku, sepuluh tahun yang lalu.
Kini aku teringat kembali semua itu, mimpi buruk setiap suami yang merasa bisa memiliki istrinya.
Dulu aku sering kasihan melihatnya, tetapi perasaanku terhadapnya cukup mendua, apakah harus kukasihani atau harus kubenci, karena tak pernah melepaskan istrinya itu.
“Saya sudah tahu kok, Dik, saya tahu semuanya,” katanya kepadaku dulu, yang membuatku tercekat membisu, “titip istri saya.”
Itulah istri yang terlalu dicintainya, karena mampu memijat sambil mengalunkan tembang dengan penuh perasaan—yang juga dilakukan kepadaku.
***
Langit gelap kemerah-merahan ketika kulihat akhirnya perempuan itu berbalik. Langkahnya kecil dan ringan di balik kain yang selalu rapi sejak dulu. Betapa hebatnya kisah di balik kain itu. Ia berjalan di sela deretan nisan yang terhampar dengan riwayat masing-masing, menuju ke gerbang, yang akan menghubungkannya kembali dengan dunia ramai.
Aku masih ragu-ragu, akan menyapanya atau tidak, ketika dari gerbang itu terdengar sepotong lagu, melayang dari radio transistor penjual sate kambing di pinggir jalan.
apakah Tuhan bermain drama?
apakah Tuhan bermain drama? [1]
Sepintas lalu, aku teringat kembali mayat-mayat yang dibuang dari atas jembatan pada malam itu.… ***
.
.
Yogya-Jakarta, Maret 1983 / Jakarta, Oktober 2013
.
.
Catatan:
[1] Dari lagu Drama (1980), dimainkan Kelompok Kampungan, digubah oleh Bram Makahekum.
Senja di Kuburan, dari Hampir Malam di Yogya, Kompas, Minggu 27 Maret 1983. Belum pernah dibukukan.
.
Senja di Kuburan.
Leave a Reply