Cerpen Terjemahan, Edgar Allan Poe

Topeng Maut Merah

Topeng Maut Merah - Cerpen Edgar Allan Poe

Topeng Maut Merah ilustrasi Istimewa

5
(2)

Cerpen Edgar Allan Poe

“MAUT MERAH” telah lama menghancurkan negeri ini. Tiada wabah lain yang menyebabkan kematian sebesar ini, semengerikan ini. Darah adalah Perwujudannya dan segelnya—merah darah yang menakutkan.

Awalnya muncul rasa nyeri yang menikam, dan rasa pening yang menyerang tiba-tiba, lalu pendarahan hebat di pori-pori, yang berakhir pada kematian. Bercak merah tua pada tubuh dan terutama wajah si korban menjadi kutukan wabah yang membuat si korban dijauhkan dari pertolongan dan belas kasihan sesamanya.

Kejang-kejang, perkembangan, dan berhentinya penyakit itu pada diri korban hingga merenggut nyawanya hanya berlangsung setengah jam.

Namun Pangeran Prospero orang yang periang, berani, dan cerdik. Ketika separuh penduduk di daerah kekuasaannya berkurang akibat terjangkiti wabah itu, dia mengumpulkan seribu teman-teman yang sehat walafiat dan periang dari antara para bangsawan kerajaannya di tempat kediamannya.

Bersama mereka, dia mendiami tempat pengasingan yang luas dari salah satu bangunan biaranya yang seperti istana. Bangunannya luas dan megah, kreasi sang pangeran yang memiliki selera eksentrik, tapi mengesankan.

Tembok yang kokoh dan tinggi berdiri mengelilinginya. Pada tembok ini terdapat pintu besi. Para pegawai kerajaan, setelah memasuki bangunan ini, membawa serta tungku perapian dan palu besar serta mengelas gembok pintu. Mereka memutuskan untuk tidak membawa masuk peralatan yang memicu timbulnya keputusasaan atau kegilaan.

Persediaan makanan dan minuman di biara itu begitu melimpah. Dengan tindakan pencegahan seperti ini, mereka yang tinggal di dalamnya mungkin bisa terbebas dari penularan penyakit.

Dunia luar bisa menjaga dirinya sendiri. Sementara itu, sungguh bodoh bila bersedih hati atas apa yang sudah terjadi, atau merenungkannya. Sang pangeran telah menyediakan semua keperluan untuk bersenang-senang. Ada pelawak, aktor, penari balet, pemain musik, wanita cantik, serta minuman anggur. Semua ini dan keamanan tersedia di dalam bangunan biara. Tanpa ada “Maut Merah”.

Menjelang pengujung bulan kelima atau keenam sejak masa pengasingan itu, dan ketika wabah penyakit merajalela dengan dahsyatnya ke mana-mana, Pangeran Prospero menghibur seribu temannya dengan menyelenggarakan pesta topeng yang paling megah dan tidak biasa.

Suasana pesta topeng itu sungguh memuaskan. Namun, aku akan jelaskan terlebih dulu ruangan-ruangan yang menjadi tempat berlangsungnya pesta itu. Ada tujuh ruangan—berukuran luas dan besar. Namun di dalam istana-istana lain, ruangan semacam ini membentuk pemandangan yang memanjang dan lurus—jika pintu-pintu lipatnya digeser ke belakang hampir ke dinding di sisi lain—sehingga pandangan ke seluruh ruangan jarang terhalangi.

Di sini kondisinya sangat berbeda; sebagaimana mungkin bisa diduga dari kecintaan sang pangeran akan sesuatu yang aneh. Ruang-ruangnya sangat tidak beraturan sehingga pandangannya tidak bisa terarah ke seluruh ruangan sekaligus.

Ada belokan tajam di setiap dua puluh atau tiga puluh meter, dan di tiap tikungan terhampar pemandangan baru. Pada sisi kanan dan kiri, di tengah masing-masing dinding, terdapat jendela Gotik berbentuk tinggi dan ramping yang menghadap ke arah sebuah koridor tertutup yang menyusuri liku-liku ruangan. Jendela-jendela ini terbuat dari kaca berwarna dengan corak beragam sesuai dengan warna dekorasi masing-masing ruangannya.

Jikalau ruangan yang terletak paling timur bernuansa, misalnya, biru—maka jendelanya pasti dicat biru. Ornamen dan tapestri di ruangan kedua bernuansa ungu, maka di sini kaca jendelanya berwarna ungu. Ruangan ketiga bernuansa hijau seluruhnya, dan begitupun jendelanya. Ruangan keempat dilengkapi dengan perabotan berwarna jingga—kelima putih, keenam violet.

Ruangan ketujuh diselimuti tapestri-tapestri beledu hitam yang menggantung dari langit-langit dan menutupi dinding-dinding, hingga menyentuh lantai yang berbalutkan karpet dari bahan dan nuansa warna yang sama. Namun hanya di ruang ini sajalah, warna jendela-jendelanya tidak sesuai dengan warna dekorasinya.

Kaca jendela di sini berwarna merah tua—warna darah yang gelap. Nah, tidak satu pun ruangan dari ketujuh ruangan tadi yang dilengkapi dengan lampu atau kandil bercabang, meski ada begitu banyak ornamen keemasan yang tersebar di mana-mana atau menggantung dari langit-langit. Tiada cahaya apa pun yang berasal dari lampu atau lilin di dalam ruangan itu.

Baca juga  Sepasang Mata Anjing Biru

Namun di koridor-koridor yang menghadap ruangan, di seberang tiap jendela, berdiri sebuah meja berat berkaki tiga yang menopang perapian kecil yang memantulkan sinarnya melalui kaca berwarna sehingga menerangi seluruh ruangan dengan begitu terangnya.

Dan cahaya itu menciptakan banyak rupa yang fantastis dan mencolok. Tapi di ruangan sebelah barat atau ruang bernuansa hitam, efek cahaya perapian yang mengalir dari perabotan yang digantung hingga ke kaca jendela berwarna merah darah, sungguh mengerikan dan menciptakan penampilan yang begitu liar pada wajah siapa pun yang memasukinya sehingga hanya segelintir tamu yang cukup berani menjejakkan kakinya di dalam ruangan ini.

Di sinilah pula terdapat jam raksasa dari kayu eboni yang bersandar pada dinding sebelah barat. Bandulnya berayun ke kanan dan kiri dengan dentang yang monoton dan tak jelas. Ketika jarum jam menyelesaikan putaran penuhnya, yang menandakan satu jam telah berlalu, dari paru-paru jam yang terbuat dari logam kuningan terdengar suara yang jelas, nyaring, dan dalam, serta sangat berirama. Tapi nadanya sungguh ganjil sehingga selang setiap satu jam, para pemain orkes terpaksa berhenti memainkan alat musik sejenak, untuk mendengarkan bunyinya.

Dan, para tamu yang berdansa terpaksa menghentikan gerakannya lambat-laun sehingga terciptalah kebingungan sesaat dari seluruh tamu. Sementara bunyi genta lonceng masih berdentang, tamu yang paling bergembira menjadi pucat, dan mereka yang lebih tua dan tenang menyapukan tangannya ke atas kening, seolah kebingungan dalam lamunan atau renungan mereka.

Ketika gaung dentang jam berhenti sepenuhnya, gelak tawa yang pelan menyebar ke seluruh tamu. Para pemain musik saling bertatapan dan tersenyum gugup dan bodoh seraya membisikkan sumpah, kepada satu sama lain, bahwa bunyi genta jam berikutnya tidak akan menimbulkan perasaan yang sama dalam diri mereka.

Lalu setelah selang enam puluh menit, mencakup tiga ribu enam ratus detik dari Waktu yang berlalu, jam kembali berdentang, dan reaksi bingung dan takut muncul seperti sebelumnya. Topeng Maut Merah.

Meskipun begitu, pesta poranya tetap meriah dan mengagumkan. Selera sang pangeran memang aneh. Dia cermat dalam memilih warna dan efek. Tidak dipedulikannya dekorasi-dekorasi yang sedang tren saat itu. Rancangannya berani dan mencolok, serta desainnya memancarkan kecemerlangan yang kasar.

Ada beberapa orang yang menganggapnya gila. Tapi para pendukungnya merasa dia tidak gila. Rasanya penting untuk mendengar, melihat, dan menyentuh dirinya agar merasa yakin bahwa dia memang waras.

Sang pangeran sendirilah yang sebagian besarnya mengatur ornamen berlebihan yang dapat dipindah-pindah dari ketujuh ruangan itu, dan terkadang mengatur pesta besar-besaran seperti ini. Dia juga yang meminta agar para tamu pesta mengenakan karakter-karakter unik. Memastikan mereka semua berpenampilan ajaib, tidak wajar.

Maka, para tamu pesta memakai kostum-kostum yang membuat tamu lainnya terbelalak, kostum-kostum yang gemerlapan dan menciptakan ilusi, sebagaimana yang pernah diperlihatkan dalam pertunjukan sandiwara terkenal Hernani.

Ada sosok-sosok dengan kostum penuh hiasan rumit yang menampilkan letak anggota tubuh yang tidak sesuai dan perlengkapan yang tidak pantas. Ada pula selera-selera gila seperti gaya orang sinting. Ada banyak sosok yang cantik, memalukan, ganjil, mengerikan, dan tidak sedikit juga yang bisa membangkitkan rasa jijik. Topeng Maut Merah.

Ada banyak bayang-bayang mimpi yang hilir-mudik ke dalam ketujuh ruangan. Dan bayang-bayang mimpi ini berdansa gila-gilaan, mengikuti corak warna dari setiap ruangan, dan membuat alunan musik orkes yang ingar-bingar seolah hanya gaung dari langkah mereka.

Baca juga  Kesetiaan

Tak lama kemudian, terdengar dentang jam eboni yang berdiri di dalam ruangan berbalutkan kain beledu. Selama sesaat, semuanya hening, suasana menjadi senyap sehingga yang terdengar hanyalah bunyi dentang jam. Bayang-bayang mimpi berdiri terpaku di tempatnya. Namun gema genta lonceng pun lenyap—mereka berhasil bertahan dan sekejap kemudian—gelak tawa yang ringan menyebar ketika mereka mulai bergerak lagi. Topeng Maut Merah.

Kini alunan musik kembali membahana, dan bayang-bayang mimpi bergerak dengan semangatnya, berlenggak-lenggok dengan lebih riang daripada sebelumnya. Rupa mereka warna-warni menyerupai aneka warna jendela yang dilalui sinar perapian dari meja berkaki tiga. Tapi ke ruangan ketujuh yang terletak paling barat, sekarang tiada seorang pun tamu bertopeng yang berani memasukinya.

Malam pun semakin larut. Ada cahaya yang lebih merah mengalir melalui kaca-kaca jendela berwarna merah darah; dan tirainya yang hitam pekat tampak menakutkan. Bagi mereka yang melangkahkan kakinya di atas karpet berwarna hitam, terdengarlah bunyi genta yang teredam dari jam eboni yang ada di dekat mereka. Bunyinya terdengar lebih tegas dari suara lain yang tertangkap telinga mereka yang sedang asyik bersuka ria di ruang-ruang lain.

Ruangan-ruangan lain ini penuh sesak, dan di dalam sana berdenyut dengan cepat jantung kehidupan. Pesta pora terus bergulir dengan meriah, hingga akhirnya mulai bergema suara dentang jam yang menandakan tengah malam. Musik pun berhenti mengalun, seperti yang tadi kuceritakan; dan gerak gerik para pedansa mereda; segala sesuatu dihentikan, tercipta keheningan yang menggelisahkan sebagaimana sebelumnya. Namun sekarang ada dua belas kali dentangan yang diperdengarkan lonceng jam, dan mungkin semakin lama jam berdentang, semakin banyaklah pikiran yang menjalar ke dalam benak mereka yang tadi bersenang-senang.

Dan sebelum gaung-gaung terakhir dari dentang terakhir sepenuhnya sirna, banyak tamu pesta di tengah kerumunan yang menyadari kehadiran satu sosok bertopeng yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan. Setelah desas-desus tentang kemunculan orang baru ini tersebar luas dengan sendirinya dari satu tamu ke tamu lain, akhirnya dari seluruh tamu timbul suara bisikan, gumaman, yang menyatakan celaan dan keterkejutan, lalu berubah menjadi kengerian, ketakutan, dan kejijikan.

Di dalam ruangan yang dipenuhi sosok-sosok bertopeng seperti yang telah kulukiskan, mungkin seharusnya penampilan yang aneh tidak membangkitkan perasaan seperti itu. Malahan kebebasan berpakaian di pesta bertopeng malam ini hampir tak terbatas; tapi sosok itu berpenampilan berlebihan melampaui kekejaman Raja Herodes, dan bahkan melampaui batas-batas tata krama sang pangeran yang tanpa batas.

Dalam hati sanubari seorang yang paling tidak berperasaan sekalipun, ada perasaan-perasaan tertentu yang jika dibangkitkan akan menimbulkan reaksi emosional. Bahkan bagi orang-orang yang tidak memedulikan hidup dan mati, ada hal-hal tertentu yang tidak bisa dijadikan bahan lelucon.

Seluruh tamu kini merasa bahwa pakaian dan perilaku sosok asing ini sama sekali tidak lucu ataupun sopan. Sosok itu berperawakan tinggi dan kurus kering, dari kepala hingga ujung kaki terbalut kain pembungkus mayat. Topeng yang menutupi wajahnya persis menyerupai wajah mayat yang menjadi kaku. Namun semua ini mungkin masih bisa diterima oleh para tamu yang marah, andaikan sosok bisu itu tidak bertindak terlalu jauh dengan berpura-pura mirip Maut Merah. Pakaiannya tepercik darah—dan kening lebarnya, dengan seluruh wajahnya terciprat merah tua darah. Topeng Maut Merah.

Sang pangeran berjalan mendekat dengan gerakan lambat dan sikap angkuh, menyeruak di antara para tamu. Ketika memandang sosok hantu ini, Pangeran Prospero terlihat mengejang, awalnya karena gemetar rasa ngeri atau jijik yang hebat. Tapi, sesaat kemudian, keningnya memerah karena marah.

“Siapa yang berani?” tanyanya dengan suara serak pada para tamu yang berdiri di dekatnya. “Siapa yang berani mengejek kita dengan olok-olok yang menghina ini? Tangkap dia dan buka topengnya, supaya kita tahu siapa yang harus kita gantung saat matahari terbit, dari menara!”

Baca juga  Sepatu (2)

Di ruangan paling timur atau yang bernuansa birulah sang Pangeran menyerukan kata-kata ini. Suaranya membahana ke seluruh tujuh ruangan dengan lantangnya, karena sang pangeran adalah pria bertubuh besar dan tegap, dengan satu lambaian tangannya saja alunan musik menjadi hening.

Di ruangan biru ini berdirilah sang Pangeran, dengan sekelompok tamu yang pucat pasi di dekatnya. Awalnya, saat dia membuka suara, terdengar sedikit gerakan kaki yang bergegas dari kelompok ini menuju ke sosok pengacau itu, yang saat itu juga berdiri sangat dekat.

Dan sekarang, dengan langkah elegan, tenang dan berhati-hati, sosok itu bergerak makin dekat kepada sang Pangeran. Namun sejak sosok bisu itu membangkitkan rasa kagum yang tak terlukiskan dari seluruh tamu, ternyata tidak seorang pun yang menjulurkan tangannya untuk menangkap sosok itu. Karenanya, tanpa rintangan, sosok misterius itu melewati sang Pangeran dalam jarak satu meter.

Dan sementara kumpulan tamu, seolah dengan satu desakan hati, menjauh dari tengah ruangan mendekati dinding, sosok itu berjalan dengan bebasnya. Tapi dengan langkah yang sama mantap dan teraturnya, sosok itu melewati ruangan biru menuju ruangan ungu—melalui ruangan ungu menuju ruangan hijau—melalui ruangan hijau ke ruangan jingga—terus bergerak lagi ke ruangan putih—kemudian ke ruangan violet, sebelum terlihat ada gerakan pasti dari para tamu untuk menangkapnya. Topeng Maut Merah.

Saat itulah, Pangeran Prospero, yang menjadi jengkel karena amarah dan rasa malu akan kekecutan hati yang sempat dirasakannya sesaat, berjalan terburu-buru melalui keenam ruangan itu. Sementara tiada seorang pun yang mengikutinya karena rasa ngeri yang amat sangat menyelubungi mereka semua.

Sang pangeran mengangkat tinggi-tinggi sepucuk belati, dan dengan tergesa-gesa telah mendekati sosok itu dalam jarak sekitar satu meter, ketika sosok itu, setelah mencapai sudut terjauh di ruangan beledu, berbalik tiba-tiba dan menghadap ke arah pengejarnya. Terdengar jeritan keras, dan belati yang tadi digenggam sang pangeran pun jatuh berkilat ke atas karpet hitam, dan segera setelahnya, rebahlah tubuh Pangeran Prospero yang tak lagi bernyawa.

Lalu, dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian dari serbuan rasa putus asa, segerombolan tamu pesta langsung menyerbu masuk ke ruangan hitam, dan begitu melihat sosok bisu, yang tubuh tingginya berdiri tegak dan bergeming dalam bayangan jam eboni, mereka terengah-engah dalam rasa ngeri yang tak terkatakan saat mendapati kain pembungkus mayat dan topeng mirip mayat itu tidak diisi oleh makhluk nyata.

Sekarang jelaslah kehadiran Maut Merah. Dia datang seperti seorang pencuri di malam hari. Dan satu demi satu menjatuhkan tamu pesta di ruangan yang berlumuran darah yang tadi menjadi tempat berlangsungnya pesta pora, dan setiap mereka mati dalam posisi tubuh yang putus asa.

Dan gema dentang jam eboni lenyap seiring dengan matinya tamu terakhir. Nyala api di meja berkaki tiga pun padam. Kegelapan dan kebinasaan serta Maut Merah menguasai segalanya. *** Topeng Maut Merah.

.

.

Edgar Allan Poe (19 Januari 1809–7 Oktober 1849) lahir di Boston, Massachusetts, AS. Dia adalah penulis, penyair, editor, dan kritikus sastra asal Amerika, yang menjadi bagian dari Gerakan Romantis Amerika. Paling dikenal karena cerita-cerita misterinya nan mengerikan, Poe adalah salah satu perintis penulis cerita pendek Amerika, dan sering dianggap sebagai pencipta genre fiksi detektif.

.

Topeng Maut Merah.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!