Cerpen Kak Ian (Pontianak Post, 18 September 2022)
MUSIM penerimaan siswa baru pun tiba. Pengambilan rapor pun begitu, sudah usai pula. Tapi tidak dengan lelaki beranak satu itu. Ia tidak begitu senang karena anak sulungnya itu, kini sudah lulus dari sekolah dasar—dan akan pindah ke sekolah baru. Pindah tingkat—dari seragam putih merah menuju ke seragam putih biru. Begitu yang ia ketahui saat istrinya pulang dari sekolah seusai menerima rapor dan juga menerima kelulusan anaknya.
Mansur, nama lelaki itu. Ia malah dibuat tujuh keliling ketika mengetahui anaknya yang bernama Yusuf sudah lulus dari SD—dan itu berarti ia harus segera memutar otaknya. Tidak lain mencari uang untuk kelanjutan pendidikkan anaknya yang belum lama sudah mimpi basah itu. Apalagi Yusuf, anak lanang semata wayangnya itu sudah berpesan padanya beberapa hari yang lalu. Jika lulus dan mendapatkan peringkat pertama anak ingusan itu ingin melanjutkan sekolahnya, kalau bisa sampai tinggi. Begitu keinginannya.
“Yah, kalau nanti aku lulus dan mendapatkan peringkat pertama. Aku ingin sekolahku dilanjutkan, ya!” ucapan itulah yang terus mengiang di gendang telinga Mansur akhir-akhir ini.
Mansur mendapati keinginan anaknya itu ia pun bingung. Bagaimana caranya ia bisa mengabulkan keinginan anaknya. Sedangkan dirinya tidak lagi bekerja setelah motor satu-satunya sebagai mata pencaharian sebagai ojek online itu pun dibegal saat pulang mengantarkan penumpangnya. Motor miliknya dirampas paksa—dan membiarkan dirinya masih bisa bernapas. Tidak dibunuh secara brutal seperti tayangan-tayangan di TV saat menayangkan berita kriminal.
Saat itu tempurung kepala Mansur terus diganggu oleh keinginan Yusuf yang meminta untuk dilanjutkan bersekolah. Hingga kehadiran Tinah, istrinya, yang sudah di hadapannya pun tidak ia hiraukan. Ini ia malah terkejut saat istrinya itu sudah berada di depannya.
“Ah, kamu bikin kaget aku saja!” tukas Mansur.
Saat itu Mansur sedang melamun di teras rumahnya yang sederhana sekali. Tinah pun langsung mengutarakan isi kepalanya pada suaminya itu. Atau, sebagai penyambung lisan dari permintaan Yusuf. Anak lelaki mereka satu-satunya.
“Yusuf, anak kita itu katanya, jika lulus dan peringkat pertama ia minta bisa disekolahkan kalau bisa di sekolah favoritnya. Aku sendiri tidak yakin apakah bisa mengabulkan keinginannya itu?”
Mansur yang mendengarkan ucapan Tinah hanya bisa mendengus. Menghela napas dalam-dalam. Lalu ia membakar sebatang kretek untuk menutupi keresahan hatinya itu. Satu sisi sebagai seorang Ayah, ia ingin membahagiakan anak semata wayangnya itu. Tapi di sisi lain saat ini ia tidak lagi memiliki pekerjaan setelah motornya raib dirampas begal.
“Ya, sudah nanti aku usahakan cari pinjaman pada Bang Tato. Semoga saja ada kemurahan hati si juragan kambing itu,” lirih Mansur sambil netranya menatap langit malam. Sesekali disumpal oleh kretek lalu menghempaskan limbah asap itu dari moncong mulutnya.
Usai itu Tinah pun meninggalkan Mansur seorang diri. Tinah berharap suaminya itu bisa mengaminkan keinginan Yusuf, anak mereka agar bisa meneruskan pendidikkanya. Lanjut sekolah ke jenjang SMP.
Saat itu udara malam begitu dingin. Mansur masih di teras rumahnya. Akhirnya pikirannya melayang pada pertemuan dirinya dengan Bang Tato di musala seusai menunaikan salat asar. Si juragan kambing itu meminta bantuan pada dirinya untuk menjaga kambing-kambingnya yang akan dijual itu—dan Mansur pun mengiyakan.
Tanpa banyak berpikir Mansur pun langsung menuju ke rumah Bang Tato. Ia sangat menaruh harap pada juragan kambing itu agar mau meminjamkan uang padanya lebih dahulu sebagai pengganti upahnya saat nanti menjaga kambing-kambing itu ketika malam tiba. Mansur sangat berharap sekali.
Setiba di rumah Bang Tato ternyata hasilnya nihil. Mansur tidak mendapatkan pinjaman uang sepersen pun untuk membayar uang pangkal sekolah untuk Yusuf. Tapi ia malah dianggap pengganggu istirahat tidur juragan kambing itu bahkan diusir pula.
Akhirnya, dengan gontai Mansur pun meninggalkan rumah Bang Tato penuh kepedihan seusai ia diusir karena dianggap pengganggu. Hingga udara malam itu ia rasakan begitu sesak sekali. Seakan-akan oksigen tak lagi mampu ia hirup.
***
“Yah, sebentar lagi penerimaan siswa baru mau ditutup! Yusuf berharap ayah punya uang untuk bayar uang pangkalnya dulu.”
Mansur pun kembali mendengar ucapan Yusuf. Kali ini ia tidak khawatir lagi pada anaknya itu. Yusuf pasti bisa melanjutkan sekolahnya lagi.
Saat itu Mansur sedang menghitung uang di teras rumah sambil memisahkan mana bagian untuk uang pangkal atau uang masuk sekolah Yusuf dan juga uang belanja Tinah nantinya.
“Iya, sabar, Sayang! Besok akan dibayar kok uang pangkal untuk sekolah kamu,” ujar Mansur lembut sambil mengusap rambut Yusuf. “Besok minta saja sama ibumu,” lanjutnya.
Yusuf yang mendengarnya pun sangat bahagia sekali. Karena ia bisa melanjutkan sekolah. Usai itu ia meninggalkan ayahnya seorang diri di teras.
Tidak lama kemudian Tinah pun keluar dari ruang dapur. Saat itu ia membawa nasi dan lauk pauk seadanya untuk makan malam. Apalagi Yusuf sudah sejak tadi menunggu di meja makan sambil memegang perutnya.
Setiba di meja makan Tinah pun menata nasi dan lauk pauknya. Kemudian memanggil Mansur, suaminya itu untuk makan malam. Namun saat ia sudah berada di meja makan, mendadak, tidak ada rasa lapar sama sekali. Ia terlihat lesu dan termenung.
Namun saat sedang termenung itulah Mansur dikejutkan oleh suara Tinah, “Tadi pagi saat aku sedang berbelanja sayur-mayur di Mang Toha, tukang sayur keliling. Aku mendengar dari bisik-bisik ibu-ibu kampung ini. Mereka bilang ada salah satu warga di kampung kita ada yang kehilangan beberapa kambingnya.”
Mansur yang mendengarkan ucapan Tinah seketika itu, ia langsung teringat pada malam buta yang dingin. Saat itu ia mengedap-endap membawa beberapa kambing milik Bang Tato untuk dijual. Itu ia lakukan setelah dirinya ingin meminjam uang baik-baik pada juragan kambing itu, tapi ditolak mentah-mentah sekaligus dihardik. Padahal uang yang akan ia pinjam untuk menyekolahkan Yusuf ke sekolah baru. Tapi Bang Tato tidak memberi pinjaman padanya.
Membayangkan hal itu mendadak Mansur merasakan bagai memberikan bara api pada keluarganya. Ia menjadi tidak berselera untuk menyatap lauk pauk pada malam itu. Ia pun keluar kembali ke teras rumah sambil merafal permohonan pada Tuhan-Nya agar mengampuni segala perbuatannya. Ia tahu apa pun yang dilakukannya itu adalah kekeliruan dan sebuah kesalahan.
Dan Mansur pun dilema malam itu. Apakah uang hasil menjual kambing dari mencuri ia berikan pada Yusuf atau tidak? Tapi jika tidak diberikan, Yusuf tidak akan melanjutkan sekolah kembali. Mansur benar-benar tidak tahu berbuat apa malam itu. ***
.
Uang Pangkal.
Bangsu
mansur simalakama, apakah mansur jujur atau tetap pura pura gak tahu. enak baca ceritanya, selalu ada konflik batin. Mansur harus tobat