Cerpen, Pikiran Rakyat, Putu Wijaya

Surat kepada Setan (Monolog)

Surat kepada Setan (Monolog) - Cerpen Putu Wijaya

Surat kepada Setan (Monolog) ilustrasi Istimewa

3.5
(6)

Cerpen Putu Wijaya (Pikiran Rakyat, 19 November 2005)

SATU

HARI ini usiaku 60 tahun. Radio mengobral lagu-lagu kebangsaan sejak subuh buta. Tepat pukul sepuluh pagi di lapangan parkir ada upacara menaikkan sang saka merah putih. Anak-anak menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan mengharukan. Sementara rumah-rumah sederhana di sepanjang rel kereta api membuat sungai merah putih yang berliku panjang. Rakyat jelata berlomba naik pohon pinang. Ibu-ibu rumah tangga tarik tambang. Penyandang cacat bertanding voli duduk. Bapak-bapak main sepak bola dengan memakai daster. Gadis-gadis kecil berlomba menangkap belut.

Sementara di permukiman mewah orang-orang masih tidur mendengkur menikmati hari libur. Banyak yang tak mau mengibarkan bendera. Untuk apa, kata mereka. Apa kibaran bendera satu hari bisa mengubah kebrengsekan yang sudah berkerak puluhan tahun?

Aku sendiri kelaparan. Gusti Allah, kataku bersemedi, apalagi yang bisa aku ganyang sekarang. Mulutku asem, harus olah raga sebab perutku gembung kebanyakan angin. Aku harus mengunyah, kalau tidak makan badanku lemes. Kalau lemes bagaimana aku bisa jaim?

Tapi aku tidak mau asal kenyang, aku mau makan enak. Lebih lezat, lebih mahal dari yang dimakan oleh orang lain. Itu baru namanya nikmat. Jadi supaya puas, ukurannya bukan lagi jumlah, itu matematika kuno, sekarang harus nomor satu, pokoknya lebih dari orang lain baru uenak tenan. Karena itu, bukan hanya asal enak, ngapain. Mereknya yang lebih penting. Dan merek yang bisa dipercaya hanya yang datang dari mancanegara. Paling sedikit yang dibeli di Singapura. Segala yang impor itu jaminan mutu, buatan Indonesia alah lebih banyak menipu. Makanya korupsi penting, itu sudah profesi yang paling afdol untuk melipatgandakan rezeki. Harga proyek satu juta, bodo kalau ongkos bikinnya tidak bisa diteken jadi sepuluh perak, lainnya digerogoti. Jangan takut, rakyat sudah biasa ditipu semalam suntuk. Mereka malah ketagihan.

Maaf lagi-lagi aku ngelantur, maklum usia sudah uzur. Buat manusia, 60 tahun bagai mobil yang mau parkir, jalannya ekstra waspada supaya jangan kecebur kali atau digebuk polisi. Tapi buat negara, 60 tahun masih kenceng-kencengnya, bagai pengantin di malam pertama. Bisa tiga kali semalam. Maksudku tiga kali bangun, mungkin bisa empat lima kali. Ada yang mengaku sepuluh kali. Lho, jangan salah, terpaksa bangun karena masih ada saja tamu kasep yang mau kasih selamat.

Jadi bukan soal makan atau tidak, tapi mau makan apa hari ini, Pak, kataku mengadu pada bupati. Tapi cepat-cepat aku disuruh pergi menjumpai pak wali. Dari kantor wali kota aku dikirim ke gubernuran. Sebelum gubernur menyarankan datang ke presiden aku ingatkan bahwa presiden sedang repot mengurus perdamaian dengan GAM, jadi lebih baik Beliau saja yang berperan. Apa yang bisa aku makan, Bapak Gubernur?

Walah, ente ini bagaimana, Indonesia kaya-raya, makan saja kok repot, kata gubernur. Sikat saja itu orang-orang tua, para pengemis, penganggur, dan anak-anak tanggung yang kerjanya bikin kerusuhan, sekalian bikin bersih kota, daripada sweeping orang-orang asing atau rumah judi. Itu kan bisa mengurangi pendapatan abdi-abdi negara yang sudah susah-payah mengamankan Anda. Ayo!

Aku kaget. Lho, gubernur, bapak serius? Jangan berkata begitu. Masak terus terang mengakui abdi-abdi negara itu melindungi judi. Betul itu? Kalau didengar oleh wartawan, sekarang juga kursi bapak bisa dicopot! Mereka kan sekarang sudah garang. Dan, ingat, itu bukannya tanggung jawab bapak juga!

Hahaha, guberbur tertawa, aku hanya guyonan katanya sambil menepuk pantatku, maaf bahuku. Ini campur sari. Kalau serius terus kita bisa cepat mampus. Ngurus rakyat yang semuanya mau enak sendiri, itu makan hati. Kalau tidak hati-hati, aku bisa mati berdiri. Jadi terpaksa sedikit pakai komedi. So what gitu lho! Oke, jadi ente datang untuk cari makan?

Baca juga  Sumeleh

Iya, Pak, apa lagi! Itu kan bagian tugas bapak sebagai pemimpin rakyat, bukan hanya urusan perut kami.

Tenang, itu gampang, dik, katanya sambil menunjuk seribu orang TKI yang tidak jadi diekspor ke luar negeri sebagai pembantu karena “N.G.”. Itu semua aja ambil. Habis kalau nggak mati, pulangnya babak belur semua seperti Nirmala Bonar. Yang selamat, dipereteli di bandara oleh calo-calo yang kejemnya ngaujubilah, lupa bahwa ibunya juga perempuan yang susah cari makan. Itu saja, kata gubernur, silakan ambil semuanya, habiskan biar nggak jadi makanan koran. Lho, iya kan? Koran itu lho, televisi apalagi, edhan sekarang. Makin rusuh beritanya, makin banyak iklannya, makin tinggi oplagnya, makin nomor satu rating-nya. Namanya juga cari makan.

Lho, bapak kok nyuruh saya makan orang? Itu kan kanibal, Pak. Memangnya saya ikan Arwana? Emangnya saya, Bapak?

Ya, itu terserah. Ini negeri demokrasi. Bapak kan hanya menunjukkan peluang, silakan berjuang. Mainkan saja bolanya yang sekarang siap ditendang, aku masih banyak urusan. Jadi mohon diizinkan pamit demi melanjutkan pekerjaan. Masak mentang-mentang pejabat tidak berhak liburan, itu kan perikemanusiaan!

Sebelum sempat dicegah, gubernur sudah kabur. Lalu seribu perempuan, calon-calon pembantu yang “enji” itu datang berlari menyerbu. Yaaaaaa! Ya, Tuhan, kalau hanya empat, masih bisa kuatasi, ini seribu! Dengan dua ribu tangan yang menggapai-gapai mau menggerayangi barangku, maaf, maksudku menggerayangi tubuhku, minta dilindungi, aku jadi keenakan maksudku kewalahan, lalu tak sadar aku berteriak supaya mereka jangan ngamuk.

Awasssssss! Jangan terlalu dekat, Mbak, Ibu, Dik, sayang, aku bisa koit. Malah nanti tidak bisa melihat! Mundur! Udah ah! Di situ saja, aku sudah tahu kok, jumlah kalian seribu, semuanya sudah kena tipu dan sekarang mau mengadu. Betul nggak? Betul!!!!!

Jawab mereka seru. Tetapi terus terang aku belum tahu mesti ngapaian dengan semua kamu. Apa yang bisa beta lakukan. Kan daku manula yang sudah rongsokan, masak mau duel dengan seribu perempuan yang kelaparan, maksudku tidak punya pekerjaan. Bukan hanya pekerjaan, kami juga sudah tidak punya kehormatan!

Ya, Tuhan, jadi kalian semua sudah tidak perawan? Jeger, aku ditampar sampai mental. Seribu pasang mata melotot mau membakar mulutku yang sudah becek lepas kontrol.

Kehormatan dan kehormatan itu berbeda pak, teriak pemimpinnya. Ternyata bekas calonya juga. Yang satu kehormatan di atas perut, yang bernama harga diri. Itu sudah kikis habis karena terpaksa kami gadaikan, tapi tak sanggup menebus agar dikembalikan. Yang lain, kehormatan yang lokasinya di bawah perut ini, tapi itu hari ini tidak kita bicarakan. Kami hanya minta satu saja. Jangan cuma janji mau menyejahterakan, carikan kami pekerjaan buat makan! Tanpa makan bagaimana bisa bertahan? Edhan!

Lho, aku sendiri juga mau makan, jangan suruh aku mengurus nasib kalian.

Kalau bapak juga mau makan, itu namanya lempar batu sembunyi tangan, lalu siapa lagi yang bisa kami harapkan?

Yang lain-lain! Kan banyak. Itu lho para konglomerat!

Ah, mana sempat! Semuanya juga mengaku melarat!

Kalau begitu lapor para wakil rakyat!

Apalagi wakil rakyat! Mereka sedang baku hantam untuk melindungi rakyat!

Lha, kamu kan rakyat?

Bukan!

Ah, bukan? Lalu kamu siapa?

Kami perempuan. Perempuan bukan rakyat karena dianggap tidak masuk hitungan! Ya, kami selalu dikorbankan! Makanya kami selalu menuntut persamaan! Kalau terus-terusan cuci-tangan tidak mau menghiraukan, kami akan turun tangan!

Tiba-tiba, semuanya membuka pakaian. Waduh, aku penggemar gambar porno dan suka nonton penari strip yang sekarang mulai disuguhkan di kafe. Tapi seribu orang, amit-amit. Apalagi setelah telanjang bulat semua, mereka berlari datang menyerbu. Satu orang, empat orang, aku masih kuat ladeni, tapi ciloko seribu orang, lebih baik aku kabur. Tapi ngibrit ke mana lagi, sekelilingku sudah dikepung, aku akan habis terganyang dalam ronde pertama. Akhirnya aku meloncat keluar, yaak, dan terbangun dari mimpi.

Baca juga  Sembahyang Makan Malam

Ya Tuhan, puji syukur, untung Kau ciptakan alam kesadaran, untuk menyelamatkan diri kalau sudah tidak ketulungan. Aku terbangun dari mimpi buruk. Alhamdulillah. Tapi aduh masih ada dua yang katut, sanggulnya tersangkut sepatuku lalu ikut tersembul keluar sambil memegang kakiku. Jangan pegang ini bukan punya kamu. Tapi dia menggigit, aduh pangeran, enak-enak geli tapi aku tidak mau ditarik kembali ke alam mimpi, lalu aku sentakkan. Jangan ditarik, nanti pedot, di mana cari serepnya nggak ada yang jual, aduh, aduh, aduh, aduh jadi melar ini. Isin aku! Aku terpaksa menarik dan menyentakkan, yaaaaaak! Dan berhasil? Beres! Tapi nanti dulu, celanaku merosot, celana dalamku ikut melorot mereka tarik. Aku jadi pindang, bebas tanpa hambatan! Aku berteriak dan mencoba menutupi auratku yang bebas hambatan. Tolonggggggg!

Tiba-tiba aku terkejut. Ternyata, ternyata, maaf nyuwun ngampuro, I am so sorry, tidak ada kata lain yang bisa menggantikan ucapan ini, kemaluanku sudah hilang. Kok bisa hilang, ya? Hilang, Bang, hilang. Padahal tadi masih gagah di sini. Wong aku eman-eman kok. Coba periksa sekali lagi. Ya Tuhan, benar, blas hilang! Aduh, aduh bagaimana aku bisa hidup tanpa kemaluan. Jangan-jangan sejak tadi, sejak kemaren-kemaren, sejak 30 tahun, sejak 60 tahun yang lalu, tanpa aku sadari, aku sudah kehilangan kemaluan. Jangan-jangan kita semua memang tidak punya kemaluan lagi.

Coba. Yang jujur aja! Itu yang paling belakang sana coba periksa, jangan tertawa, apa? Masih ada, tapi tinggal separo katanya. Ini yang di depan kelihatan geli, kenapa Mas? Oh! Memang tidak hilang, katanya, tapi sekarang jadi kembar. Lihat ini dua! Waduh bahaya! Kemaluan tidak perlu banyak, satu saja asal yang mantap, karena kalau kebanyakan kita juga repot. Aku juga hanya punya satu, tapi sekarang sudah hilang. O, tidak! Sudah ada lagi, tapi, ya, Tuhan kenapa sekarang bercabang-cabang!

Cabangnya tambah banyak. Di cabangnya tumbuh cabang lagi. Ganas seperti akar tunjang. Panjang-panjang, kenceng lagi. Seperti gurita menggapai-gapai. Dia hidup sendiri. Menjurai ke segala arah. Apa saja mau ditonjok dan dibelit. Ganas dan lapar. Ya Tuhan, aku juga dibelit. Kakiku, seluruh tubuhku dililit. Tanganku tidak lagi berfungsi, otakku juga beku. Hanya mataku dan mulutku yang masih bisa dipakai. Aduh aku sudah dihajar habis oleh kemaluanku sendiri. Tolongggggg!

DUA

INI pasti perbuatan setan. Setanlah yang sudah bertugas membayang-bayangi kehidupan manusia dengan kegelapan. Dari dulu sampai sekarang, segala malapetaka berasal dari setan. Setanlah yang sudah membuat negeri ini terpuruk oleh berbagai macam musibah. Krisis ekonomi, kegoncangan politik, separatisme, disintegrasi, narkoba, judi, bom, terorisme, tsunami, bencana banjir, televisi semakin ganas, brutal dan asosial, korupsi dan harga-harga naik lagi! Semuanya karena ulah setan. Termasuk perselingkuhan. Setan mau menyulap bangsa dan negeri kita ini menjadi kerikil yang cakar-cakaran. Dan itu akan kejadian karena kita tidak sanggup melawan setan. Kita hanya bisa membenci, mengutuk, menghujat dari jauh, tanpa berbuat apa-apa. Setan tidak pernah kalah apalagi menyerah.

Apa pun yang kita lakukan pasti sia-sia. Sudah waktunya kita harus ganti taktik. Sebaliknya dari membenci. Sebab itu hanya memboroskan enersi. Kita harus berhenti membuat jarak, lalu merangkul. Memeluk setan supaya dia merasa akrab, lalu berjalan bersebelahan, berpegangan tangan, bagai prajurit yang saling setia kawan, sebab kita sama-sama berjuang. Mari bergotong-royong dengan setan!

Tapi jangan lupa, itu semua hanya taktik dan strategi, bukan tujuan. Begitu setan lengah dan mulai percaya sama kita, pelan-pelan lehernya kita bekuk, lalu masukkan belati ke tenggorokannya supaya urat nadinya putus. Kita gorok dia supaya tamat riwayatnya, supaya kita benar-benar bebas dan mereka mati dalam arti yang sesempurna-sempurnanya.

Yak. Sudah waktunya menulis surat kepada setan. Sekarang. Jangan ditunda lagi.

Baca juga  Pekerjaan Terakhir Bapak

“Merdeka! Horas! Sahabat sejati, Setan yang baik hati. Di mana pun kini kau berada, aku menyampaikan salam hormat dan cinta. Mari akhiri permusuhan, bergotong-royong menggarap kesempatan demi masa depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan. Selama kita saling dengki dan curiga mencurigai, hasilnya akan kurang memadai. Masa lalu yang tidak produktif harus diakhiri. Mulai detik ini, kita bahu-membahu, dalam satu barisan yang padu. Semua laba kita bagi rata. Kalau perlu kau sembilan puluh persen, aku sisanya. Aku tunggu balasanmu secepatnya, setan!”

Surat aku masukkan ke pos tanpa membubuhkan nama atau pun alamat. Tukang pos pasti tahu ke mana harus dibawa. Siapa yang tidak tahu rumah setan. Kalau toh tukang posnya bego, setan sendiri pasti akan langsung mengambil surat itu, sebab dia tahu apa yang harus dia lakukan. Namanya juga setan.

Lalu aku menunggu. Berhari-hari, berminggu-minggu, setahun, lima tahun, kalau perlu sampai 30 tahun aku akan tetap setia menanti. Ternyata tidak ada jawaban. Aku panik. Jangan-jangan setan menolak. Jangan-jangan ia sudah tahu akal bulusku mau mengguntingnya dalam lipatan. Jangan-jangan ia sudah di-upgrade hingga tidak bisa lagi dikecoh. Setan kan selalu lebih hebat dari manusia. Kenapa aku jadi lupa?

Rasa takut mulai menusuk. Sukmaku bergetar, ngeri kalau-kalau setan menyerang karena merasa terhina. Habis aku sudah memperlakukannya seperti idiot. Sebentar-sebentar kalau ada mobil berhenti di depan rumah, aku panik, siap kabur. Tapi jebulnya itu hanya pegawai negeri yang pulang naik angkot sebelum selesai jam kantornya. Kan Jumat. Ketakutan makin membengkak, aku ngos-ngosan terhimpit. Akhirnya aku coba mengatasi dengan ekstasi, tapi semakin diatasi, semakin menjadi-jadi.

Dengan panik aku mengunjungi psikolog. Tapi alumni mancanegara itu mengulangi lagi nasihat basi, aku harus berpikir positif. Jangkrik. Aku balik ke rumah dan akhirnya berdoa.

“Tuhan, ini tidak adil, aku kan makhluk ciptaan-Mu. Tak mungkin Kau tidak mencintai yang Kau ciptakan sendiri. Lindungi aku. Jangan biarkan setan menang. Aku bersumpah kalau manusia yang menang, aku jamin dunia ini akan lebih indah. Orang tidak perlu mati sebelum masuk surga, sebab dunia bisa kami bikin jadi surga oleh rasa cinta yang pada dasarnya juga adalah karunia-Mu kepada kami juga!”

Doa membawa ketenangan. Akhirnya aku pasrah. Cemas sudah membuatku berpikir. Dengan berpikir muncul ide-ide baru. Takut adalah bagian dari karunia untuk membuat peradaban manusia sempurna.

Waktu itu kringgg, kringggg, tukang pos datang. Ada surat untuk Anda, katanya sambil tersenyum sopan, silakan diterima. Aku mengurut dada lega, syukurlah, akhirnya tiba. Orang sabar kasihan Tuhan. Setelah membubuhkan tanda tangan tanda terima, lalu penasaran surat aku buka:

“Merdeka! Horas! Kawan sejati, Setan yang baik hati. Di mana pun kini Anda berada, aku menyampaikan salam hormat dan cinta. Mari akhiri permusuhan, bergotong-royong menggarap kesempatan demi masa depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan. Selama kita saling dengki dan curiga-mencurigai, hasilnya akan kurang memadai. Masa lalu yang tidak produktif harus diakhiri. Mulai detik ini, kita bahu-membahu, dalam satu barisan yang padu. Semua laba kita bagi rata. Kalau perlu kau sembilan puluh persen, aku sisanya. Aku tunggu balasanmu secepatnya, setan!”

Ya Tuhan ini kenapa jadi begini, aku bukan setan, aku bukan setan, aku bukan setannnnnn! Aku bukan setan…, kata Setan. ***

.

Surat kepada Setan (Monolog). Surat kepada Setan (Monolog). Surat kepada Setan (Monolog). Surat kepada Setan (Monolog). Surat kepada Setan (Monolog). Surat kepada Setan (Monolog).

Loading

Average rating 3.5 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!