Cerpen, Radar Mojokerto, Reni Asih Widiyastuti

Di Atas Tiga Roda

Di Atas Tiga Roda - Cerpen Reni Asih Widiyastuti

Di Atas Tiga Roda ilustrasi Radar Mojokerto

5
(5)

Cerpen Reni Asih Widiyastuti (Radar Mojokerto, 09 Oktober 2022)

BECAK itu dielus-elus oleh Mbah Kisno sebelum dikayuhnya dari Malang ke Semarang. Ia memang tidak ingin menggunakan jasa angkut, lantaran menurutnya itu termasuk sebuah pemborosan. Beberapa anaknya di kampung halaman—Sayung-Demak, sempat mengatakan akan mengirimkan jasa angkut. Namun, lagi-lagi ia menolak dengan keras. Lebih baik uangnya ditabung untuk biaya kebutuhan sehari-hari, begitu yang ia ucapkan kepada anak-anaknya.

Mbah Kisno sendiri bisa sampai di Malang karena diajak oleh Mbah Tarmo—kawannya yang hendak pulang kampung. Keduanya naik kereta api. Sesampai di Malang, Mbah Kisno menginap di rumah Mbah Tarmo. Beberapa hari kemudian, ia mengutarakan kepadaMbah Tarmo, kalau ia ingin membeli sebuah becak. Awalnya Mbah Tarmo kaget dan bertanya kepadanya.

“Buat apa kamu beli becak, No?”

“Loh, kok buat apa ta? Aku itu ndak mau cuma diam di rumah. Aku pengin jadi tukang becak. Orang tua kayak kita ini bisanya apa? Paling ya salah satunya jadi tukang becak ta?”

“Betul juga apa katamu, No. Tapi kan kamu sudah beternak ayam, apa kurang?” Mbah Tarmo menatap kawannya lekat-lekat.

Tak kandhani, aku itu bukannya tamak dan ndak bersyukur karena sudah jadi peternak ayam broiler selama bertahun-tahun. Tapi kalau tubuhku ndak bergerak, rasanya bakalan cepat capek, Mo.”

Mendengar penjelasan Mbah Kisno, Mbah Tarmo tidak lagi berkomentar. Hanya menganggut-anggut dan lekas menemani kawannya itu untuk membeli sebuah becak. Tak butuh waktu lama untuk melakukan transaksi. Becak seharga tiga juta rupiah langsung terbeli tanpa aksi tawar-menawar. Mbah Kisno mengeluarkan uang tunai dari dalam kantong plastik berwarna hitam.

Di kantong plastik itu pula bersemayam sebuah handphone sederhananya. Ia lekas menyerahkan uang kepada si penjual. Si penjual terlihat semringah, begitu pun Mbah Kisno. Mbah Kisno menuntun becak barunya dan ia pun izin pamit kepada Mbah Tarmo.

Baca juga  Rindu Tak Mati-mati

“Mo, matur nuwun sudah menemaniku beli becak ini,” ucap Mbah Kisno dengan mata berkaca-kaca.

Ndak usah begitu, No. Kamu juga sudah menemaniku pulang kampung, kan? Kita impas. Satu sama.” Mbah Tarmo merangkul erat pundak kawan karibnya sembari menahan air matanya supaya tidak menetes.

“Aku pamit ya, Mo. Doakan aku supaya bisa jadi tukang becak yang sukses.”

“Aamiin.”

Keduanya berpisah. Mbah Tarmo dengan mobil pribadinya. Sedangkan Mbah Kisno dengan becak barunya.

Mbah Kisno mengayuh becaknya hingga tiba di Semarang dua pekan kemudian. Sejak saat itu, ia menjadi tukang becak. Melupakan ayam-ayamnya di kampung halaman. Ya, ribuan ayam yang biasanya saban hari tak pernah absen ditengok, mendadak harus kehilangan sang tuan. Mbah Kisno memasrahkan semua ayam kepada salah satu anaknya—Jupri. Walau budidaya ayam itu tergolong sukses, entah kenapa Mbah Kisno masih ingin mencari uang dari hasil jerih payahnya sendiri. Bahkan, ia begitu memercayai Jupri untuk menjaga ayam-ayam tersebut.

***

“Wah, kalau bapak jadi tukang becak terus, kita bisa jadi juragan sungguhan, Tik!” ucap Jupri suatu hari kepada istrinya-Dartik.

“Ta-tapi, Kang. Apa sampean ndak kasihan sama bapak?”

Mata Dartik mulai berkaca-kaca. Ia rindu kepada bapak mertuanya yang memang sudah sepuh itu. Sejujurnya, beberapa bulan setelah kepergian Mbah Kisno ke Semarang, ia kerap ingin diam-diam menyusul. Namun, ia tidak punya cukup alasan untuk diberikan kepada Jupri. Apalagi anak-anaknya juga ingin ikut dengannya. Akhirnya, keinginan itu hanya bagai uap, membubung lalu hilang disapu angin.

“Buat apa kasihan sama bapak, Tik. Bapak kan punya teman dekat, siapa namanya? Tar ….” Jupri menanggapi ucapan Dartik dengan entengnya.

Baca juga  Pintu Terlarang

“Pak Tarmo?”

“Iya, Pak Tarmo. Kalau ada apa-apa, paling bapak telepon Pak Tarmo. Lha wong kita nawari bantuan saja bapak ndak mau. Kamu ingat ta? Jangan pura-pura lupa kamu.”

“Bu-bukan begitu maksudku, Kang. Bapak memang menolak tawaran kita, tapi setidaknya kita tilik.”

“Alah … sudah, sudah! Pokoknya aku ndak mau kalau kamu tilik bapak!”

Dartik benar-benar menangis. Ia sungguh tidak mengira kalau suaminya memiliki pemikiran seburuk itu kepada bapak kandungnya sendiri. Apalagi uang hasil usaha beternak ayam sering digunakan untuk sesuatu yang tidak jelas, bisnis misalnya. Bisnis itu yang kata Jupri akan menghasilkan pundi-pundi uang, nyatanya tak pernah terjadi. Setiap kali ditanya soal keuntungan, Jupri hanya menjawab, “Sabar, nanti bakal ada. Kamu juga bisa menikmatinya.”

Untungnya, meski bisnis tersebut tidak jelas hingga sekarang, tetapi budidaya ayam broiler masih berjalan dengan baik. Oleh karenanya, Dartik mulai melupakan bisnis suaminya itu. Hanya saja, rindu kepada bapak mertuanya kian bertambah. Namun apa daya, Jupri selalu melarangnya untuk menemui Mbah Kisno. Suatu malam, ia pernah hampir berhasil menyusul Mbah Kisno, tetapi Jupri mengetahui dan menggagalkan semuanya. Sia-sia sudah rencana Dartik malam itu.

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Hingga tak terasa, sudah lima tahun Mbah Kisno menjadi tukang becak dan mangkal di depan sebuah bank. Selama itu, ia tetap bersyukur meski pendapatannya dari narik mengalami pasang surut. Ia seolah setia pada profesinya.

Namun, suatu hari kesehatannya menurun. Ia mudah lelah, narik pun semaunya. Ujung-ujungnya, hanya tidur-tiduran di atas becak. Sekali tempo saja pulang kampung dan malah mengeluarkan ongkos. Secara logika, sudah berkali-kali rugi. Namun, ia tetap bertahan sebagai tukang becak.

Baca juga  Si Tokoh Fiksi

Malam itu, setelah selesai menunaikan ibadah salat tarawih di masjid terdekat, Mbah Kisno tidur di atas becaknya. Salah seorang satpam di bank yang sudah akrab dengannya terlihat heran lantaran mengira ada sesuatu yang tidak beres.

“Ssttt … Nang, Danang, sini! Coba kamu perhatikan Mbah Kisno!” ucap Budi seraya menyuruh Danang lebih mendekat kepadanya.

Danang yang baru saja selesai dari kamar mandi pun sedikit berlari menghampiri Budi. Pandangannya seketika mengarah ke Mbah Kisno yang tengah tertidur pulas di atas becak. Kemudian ia justru menatap Budi dengan heran.

“Mbah Kisno cuma tidur begitu, kukira ada apa, Bud.”

“Ck. Dari tadi Mbak Kisno tidur terus, Nang!”

“Ya biarkan saja ta.”

Danang dan Budi masih saja memperdebatkan soal Mbah Kisno. Setelah ditunggu hingga satu jam, Mbah Kisno belum bangun juga, posisi tidurnya pun masih tetap sama. Dengan perasaan takut, Danang mencoba membangunkan.

“Mbah? Mbah?”

Hening. Tak ada jawaban. Danang dan Budi saling melirik. Budi pun mengambil alih giliran, ia yang memanggil seraya menyentuh pundak Mbah Kisno. Saat itulah, tubuh Mbah Kisno roboh di atas tiga roda yang menyangganya. ***

.

.

Semarang, April 2022

RENI ASIH WIDIYASTUTI. Kelahiran Semarang, 17 Oktober 1990. Cerpen dan puisi alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang ini telah dimuat di berbagai media, seperti: Radar Bromo, Radar Mojokerto, Radar Madiun, dan Radar Kediri. Buku tunggalnya telah terbit, yaitu Pagi untuk Sam (StilettoIndieBook, Juni 2019)

.

Di Atas Tiga Roda. Di Atas Tiga Roda.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!