Ana Mustamin, Cerpen, Kompas

Tas Jinjing

5
(3)

Untuk pertama kali ia menyadari memelihara teroris dalam kamarnya. Teroris yang awalnya ia kenal sebagai sahabat. Tapi—sebagaimana biasanya—kesadaran selalu terlambat. Ia menyadari semuanya ketika serentetan bom meledak, dan dunianya terlanjur luluh lantak.

Tapi ia belum mati. Dan tidak ingin mati. Meski jiwanya kini belah, layaknya bumi merekah. Ia harus bertahan untuk menyelamatkan bagian kecil yang tersisa dari miliknya. Bagian yang ia yakini sanggup menjinakkan bom yang mungkin datang sesudahnya. Bom yang barangkali lebih dahsyat.

Maka ketika teror terus mengguncang, ia bergeming. Seperti pagi ini. Ia masih bergelung di bawah selimut, ketika suara-suara itu menggedor dinding telinganya. Suara yang kerap berubah menjadi runcing, menusuk jantungnya. Suara mengintimidasi.

Mendengar itu, kantuknya hilang. Matanya yang semula terkatup, kini memicing, lalu membeliak sebelum akhirnya meredup perlahan saat kesadarannya pulih.

Teror di pagi buta itu berwujud tas jinjing–sebuah barang yang pernah ditemuinya di gerai khusus di Canton Road, Tsim Sha Tsui, Hongkong. Tas itu dibandrol dengan harga ribuan dolar. Bukan harga itu yang membuatnya jatuh hati. Itu cukup mahal untuk ukuran kantongnya. Tapi karena ia begitu khas, dengan pola tartan, dan warna dasar yang hampir selalu bernuansa khaki—paduan yang dianggapnya paling mewakili sosoknya.

Saat itu, ia ingat, musim dingin baru saja lewat. Ia tengah didera bimbang, mematut-matut tas koleksi terbaru musim semi itu, ketika mendengar suara rendah. “Kamu sudah bekerja keras, sayang. Dan jika suka, kamu berhak memilikinya.” Suara yang lunak tapi tegas. Ketika ia menoleh, ia menemukan sepasang mata penuh dukungan. Mata yang menenteramkan. Diam-diam, hatinya bersorak. Mereka memang pernah menyepakati satu hal: boleh membeli barang yang diinginkan untuk merayakan keberhasilan. Tak terkecuali barang mewah.

Siapa mengira di kemudian hari barang itu menjelma menjadi zat berbahaya? Mula-mula ia hanya melihat mobil yang berhenti di depan lobby, memuntahkan isinya. Lalu empat kepala tergesa melewati pintu kaca, menyeret langkah gegas seperti mengejar kilat. Selebihnya lampu blitz yang berkilauan, pewarta yang saling berebut berdesakan. Dan teriakan serta pertanyaan yang menggantung di udara….

Ia melihat semuanya dengan kerongkongan tercekat. Ia tahu persis, satu di antara empat orang itu tengah menjinjing tas. Yang ia tidak sadari, jika ternyata tas itu akan mengganas. Lihatlah, benda itu sekarang membesar. Siapa pun dengan mudah bisa memperhatikan detilnya. Tas dengan tekstur sangat halus, dikerjakan dengan ketelitian dan tingkat presisi yang tidak diragukan.

“Ini hanya satu dari sekian koleksi tas mewah yang dimilikinya…,” seorang perempuan, dengan senyum yang mirip seringai, menjelaskan dengan rupa yakin.

Baca juga  Pertalian Ken Arok dan Purwwa

Setelah peristiwa itu, dalam sekejap, tas itu menjelma virus ganas. Mewabah menjangkiti semua penduduk, terutama perempuan. Barang itu muncul di mana-mana, merontokkan iman. Di media sosial, diperbincangkan hampir tanpa henti. Seolah tidak ada urusan lain yang lebih genting. Di telepon genggam, gambarnya muncul sebagai pesan berantai, lengkap dengan komentar yang meski lucu namun sarkastis. Masyarakat di negerinya memang terkenal lentur dan super kreatif—bisa menertawai penderitaan sendiri, dan menjadikan penderitaan orang lain sebagai lelucon.

Dan akhirnya, di luar dugaannya, perempuan yang terjangkit virus itu menjelma menjadi idiot. Seperti robot yang digerakkan remote control. Mereka memiliki perilaku serupa. Ke mana pun melangkah, dan dalam kesempatan apa pun, selalu menjinjing tas yang sama. Para artis papan atas tak mau ketinggalan. Mereka menggelar konferensi pers, hanya untuk membicarakan topik yang baginya lebih mirip sampah. Sekadar agar punya alasan untuk menunjukkan tas. Para artis ini tampil mirip satu sama lain, seperti manekin.

Ya, dalam hitungan singkat, semua orang membicarakan tas itu, menguliknya dari berbagai perspektif. Popularitasnya melambung melampaui popularitas seorang presiden yang hanya bisa prihatin setiap peristiwa memilukan menimpa negeri ini.

Tas ini memang istimewa, kata perempuan di depannya. Bentuknya yang elegan bahkan menarik minat salah satu keluarga istana dan menjadikan mereknya sebagai label resmi kerajaan. “Tidak mengherankan, jika banyak wanita cantik mengoleksinya. Meski harus memperolehnya dengan cara tidak terpuji. Menjadi bagian dari gratifikasi seks, misalnya!”

Ia tahu, bom kembali mengguncang kamarnya. Karena ia merasa langit tiba-tiba runtuh. Tanah bergoyang. Dinding gemeretak. Ia terhempas, dan mendengar lolongan pilu di sepanjang lorong hatinya. Suhu ruangan pun mendadak meningkat tajam, membuatnya seperti terpanggang bara, terbakar. Ia sulit bernafas. Ia terbatuk dan tersedak berkali-kali. Sampai di dengarnya suara itu….

“Mamah… mamah…, tivi dimatikan, ya?” Jemari sedingin es menyentuh lengannya.

Kamar yang semula terasa sempoyongan, kini tegak kembali. Suara gemuruh menghilang, berganti suara bening. Di depannya, putri tunggalnya berdiri mengawasi dengan cemas.…

“Mamah seharusnya tidak perlu menonton tivi….”

Tapi kita tidak boleh kalah dengan teroris, sayang. Tukasnya membatin, antara nyeri dan geram. Ia tidak pernah memberi hak kepada perempuan di layar kaca itu untuk menyerangnya, menyudutkannya, apalagi menyebutnya sebagai pelacur!

Menyadari itu, matanya mengilat. Ia lantas bangkit menyibak selimut, kemudian meraih putrinya yang sesunggukan. Kita tidak boleh kalah, anakku! Tidak boleh!

***

PAGI ini ia akan berhadapan dengan penyidik lembaga pemberantasan korupsi terkait kasus penangkapan dirinya bersama lelaki yang kini menjadi pejabat negara dan dituduh melakukan tindak pencucian uang itu. Ia memutuskan kembali menenteng tas. Tak ada yang bisa menahannya untuk tidak melakukannya. Ia bahkan memilih tas yang jauh lebih mewah dibandingkan yang disorot kamera televisi pertama kali saat mereka digelandang. Mengapa tidak?

Baca juga  Segelas Air yang Mirip Perasan Lemon

Membawa tas atau tidak, toh tak ada bedanya. Para teroris itu punya skenario sendiri. Seperti tayangan yang dia saksikan dua hari lalu.

Mula-mula kamera hanya melakukan close-up pada tas jinjingnya. Setelah itu, mata dari balik kamera mulai rakus membidik semua yang terkait dengan tas itu. Mulai dari jemarinya yang ramping, tungkai kakinya yang jenjang, kulitnya yang bersinar, bulu matanya yang mengerjap indah, hingga rambutnya yang tersapu nuansa coklat mahogani.

“Kapan anda bertemu pertama kali dengan bapak?” Kamera mulai merayapi bibirnya yang rekah.

Apakah ia harus menjawab bahwa lelaki itu telah berusaha mengacaukan hidupnya sejak hampir dua puluh tahun lalu? Apakah ia harus menjelaskan bahwa ia telah menampik tawaran cintanya yang bertubi-tubi sejak mereka masih sama-sama di bangku SMA?

Matanya berlamur lamun. Susah payah ia menggenapkan ingatan tentang lelaki itu. Sosoknya nyaris tidak pernah masuk dalam pertimbangannya. Musim-musim singgah menorehkan berbagai kisah. Cinta tumbuh dan layu. Namun nama lelaki itu tetap alpa dalam kenangan. Lalu, apa yang harus dia ceritakan?

“Kami berteman sejak SMA,” ujarnya, akhirnya.

Celakanya, penjelasan itu tidak terlalu menarik untuk dikutip. Termasuk bagian yang mengisahkan bahwa ia baru bertemu kembali lelaki itu dua bulan lalu dalam penerbangan Melbourne-Jakarta. Bahwa mereka sepakat makan malam di restoran—bukan di kamar sebagaimana diberitakan–di sebuah hotel bintang lima karena ia diminta mendesain interior sejumlah apartemen milik sang pejabat. Apa yang salah?

Tapi pekerja media lebih kreatif dari yang ia duga. Para peneror itu memiliki persediaan imajinasi yang jauh lebih berwarna ketimbang sebuah cerita tentang hubungan bisnis. Kisah-kisah melodrama yang mereka tayangkan selalu menjanjikan oase bagi penonton yang dahaga.

Yang membuat perasaannya sangsai bukan main, adalah ketika menyaksikan rekaman close-up bagian tubuh dan wajahnya ditayangkan berdampingan dengan potongan-potongan gambar tak senonoh lelaki yang ditangkap bersamanya. Lelaki yang ternyata memilih tidur dengan banyak perempuan….

“Cinta pertama umumnya memang cinta sejati. Karena itu, meskipun mengencani puluhan perempuan, dia tetap memperjuangkan perempuan cantik yang dicintainya sejak SMA,” demikian opera di layar kaca itu. Karena ia cinta sejati, maka ia disinyalir menjadi penerima aliran dana terbesar dari penghasilan haram lelaki itu. “Tak hanya tas mewah. Tapi diduga juga kendaraan dan apartemen!” pungkas sang pembawa acara.

Kini, di hadapan penyidik ia kembali dihadapkan pertanyaan-pertanyaan serupa. Dalam empat kali enam puluh menit, ia harus menjawab tidak kurang dari tiga puluh pertanyaan. Kapan ia mengenal lelaki itu pertama kali? Apakah mereka berkencan? Apakah ia ikut mendorong penyalahgunaan kewenangan? Apakah ia tahu bahwa lelaki itu melakukan tindak pencucian uang? Apakah ia menerima barang-barang mewah, menerima tas jinjing? Apakah…?

Baca juga  Wajah Itu Membayang di Piring Bubur

Pertanyaan-pertanyaan yang mengaduk-aduk seluruh isi perutnya dan membuatnya ingin muntah….

***

ANGIN sore mengayuh awan perlahan. Menggugurkan bunga kamboja. Musim merambat, membawa kenangan bergulir.

Hari ini, semua terasa terekam slow-motion. Ia masih berlutut di samping makam suaminya. Mengais serpih kenangan. Saat mereka menganyam kisah-kisah musim semi ketika saling berangkulan di Canton Road….

“Jangan pernah merasa bersalah jika harus menguras tabungan untuk sebuah tas, sayang…,” suara dari masa lalu itu masih nyaring di telinganya. “Kita sudah bekerja keras selama setahun….”

Kejadian itu masih hangat, belum genap tiga bulan ketika kecelakaan naas di jalan tol merenggut nyawa ayah dari putrinya, setahun silam. Dan di sore ini, cerita apa yang akan dikisahkannya ke almarhum suaminya itu?

Bahwa tas jinjing yang mereka beli sebagai hadiah kerja keras, kini menjelma virus ganas yang mendatangkan epidemi?

Suaminya pasti tak percaya jika ia menyatakan bahwa tas itu telah menyulap perempuan di negeri ini menjadi idiot. Suaminya juga pasti akan terbahak-bahak jika ia menceritakan betapa tas itu telah memberikan inspirasi melimpah bagi para peneror media yang menyebut dirinya pekerja kreatif itu. Bukankah kemarin ia mendapatkan tawaran menjadi model iklan tas dan bermain sinetron?

Mengingat itu, ia ingin ikut terbahak. Tapi yang tercetak di wajahnya justru senyum patah. Di atas makam, tungkai daun kamboja ikut rontok dipermainkan angin gelisah.

“Kita pulang ya, Mah?” putrinya yang masih enggan bersekolah sejak ia ditangkap di restoran hotel, menyentuh halus lengannya.

Ia mengangguk, pasrah. Di batas cakrawala, sore kian renta. Awan yang semula berwarna timah kini beralih tembaga.

Ia meraih tas jinjingnya, dan mengibaskannya untuk membebaskan tas itu dari jumput tanah makam yang melekat. Ia lantas beranjak, tanpa peduli bahwa dalam jarak beberapa meter di seberang pandangan, sejumlah moncong kamera terus memangsa gerak-geriknya. Kamera itu mengoyak tubuh dan jiwanya dengan buas. Tanpa ampun. ***

 

Kota Wisata, 1 Juli 2013

 

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!