Cerpen Silvester Petara Hurit (Majalah Sastra Pusat, Edisi 21/2022)
EBA membungkus sesak di dada. Ketika tahu orang-orang yang dulu ditampung dan dijadikan saudara oleh leluhurnya mengambil buah sirih dan pinang, merapalkan mantra kutuk dan serapah bagi dirinya. Kepada pohon, hutan dan batu-batu keramat seantero kampung, mereka menyebut namanya sebagai celaka. Pecundang yang telah membuat kampung Horowako kehilangan muka.
Siapa yang sesungguhnya telah membuat kampung ini kehilangan muka?
Mereka telah kobarkan spirit perang. Membangunkan yang kelihatan dan tak kelihatan: dewa-dewi alam, pusaka-pusaka sakti, tempat-tempat keramat yang berenergi kuat. Tujuannya untuk mempertebal diri. Jadi lebih besar, lebih berat untuk menindih dan melindas energi saingan, mempengaruhi dan menggerakkan orang-orang agar menjatuhkan pilihan pada Ama Leba.
“Perempuan tak boleh pimpin kita,” kata ketua lembaga adat Desa Horowako.
“Ini soal harga diri,” tambah yang lain.
“Dimana wibawa kita sebagai kampung sulung?”
“Perempuan tak bisa duduk di koko blolon,” tandas ketua lembaga adat di hadapan tetua kampung.
Maka ketika panitia pemilihan kepala desa (pilkades) menetapkan Ina Gunu sebagai salah satu calon kepala desa, maka seluruh tetua adat bersatu menentangnya. Setiap malam mereka berkumpul menyusun isu dan strategi kampanye.
“Ini perang. Tak ada pilihan selain menang!” kata ketua-ketua lembaga adat berapi-api di hadapan tim pendukung Ama Leba dari marga raja tuan.
Formasi perang dibentuk mendampingi Ama Leba ketika kampanye pemaparan visi-misi calon kepala desa. Perang terhadap Ina Gunu, perang terhadap perempuan, perang terhadap yang bukan marga raja tuan.
Walaupun belepotan dan tak konstruktif, pemaparan visi-misi Ama Leba disambut tepuk tangan dan riuh sorak-sorai. Sebaliknya walau terukur dan lebih realistik, pemaparan visi-misi Ina Gunu disambut sungut dan cibiran. Pendukungnya diam-diam karena berhadapan dengan elit kampung yang punya kuasa untuk menekan dan mengancam. Mereka adalah raja tuan yang punya kuasa atas tanah. Ketika bicara sebagai raja tuan, siapa yang berani melawannya?
Saat minggu tenang persiapan pemungutan suara pilkades, Ama Leba dan timnya merasa sudah di puncak kemenangan. Dukun-dukun terbaik telah disiapkan dengan tugas masing-masing. Tiga orang raja tuan sudah ditentukan sebagai pemilih pertama di masing-masing tempat pemungutan suara untuk melapangkan jalan bagi segala kekuatan yang tak kelihatan bekerja.
Daftar pemilih tetap sudah dibagikan ke semua tim sukses. Mereka sudah menghitung berapa warga yang tak masuk dalam daftar tersebut. Kendaraan baik roda dua maupun roda empat sudah disiagakan termasuk siapa yang harus mempengaruhi panitia.
“Bagaimana dengan warga yang sudah hadir ini? Apa mereka tak boleh pilih hanya karena tidak ada namanya dalam daftar pemilih tetap?” pancing Ama Polu.
“Ini aturan. Pemilih yang tak terdaftar tak boleh pilih!” tegas ketua panitia.
“Tapi mereka adalah warga desa ini yang punya hak memilih kepala desanya,” Ama Polu menaikan suaranya.
“Ini sudah aturan,” ketua panitia tetap bertahan.
“Panitia tidak becus. Apa saja kerjanya sampai warga sebanyak ini tak terdata?!” Ama Polu menekan.
“Akomodir saja. Sederhana kok. Mereka dapat menggunakan nama, nomor induk kependudukan dan nomor urut pemilih tetap yang tidak hadir. Aman kan?” Ama Kian mantan pengawas pemilu yang paling berpengalaman memberi jalan keluar.
Ketua panitia tak berkutik.
***
Begitu mengetahui sudah unggul perolehan suaranya, Ama Leba memeluk Ama Kian di celah sempit antara dinding kantor desa dan aula. Ama Leba sudah menjanjikan jabatan sekretaris desa kepada Ama Kian. Dalam hitungan menit semua sepeda motor yang sudah dilepas saringan knalpotnya mulai beraksi tak peduli lagi bahwa panitia masih merampungkan kerja penghitungan. Mobil-mobil pick up meraung-raung pawai keliling kampung lengkap dengan toa dan peralatan sound system. Suara raung kendaraan, teriak olok, cibiran, nungging pantat diarahkan ke rumah-rumah yang dipastikan bukan pendukung Ama Leba. Sepanjang malam pesta, berliter-liter arak dikeluarkan. Beberapa orang menari sambil mengangkat kursi tinggi-tinggi sebagai bentuk olok-olok terhadap pendukung Ina Gunu. Selain siaran langsung, per lima menit secara bergantian mereka menaikan status di Facebook. Tujuannya membuat panas hati pendukung Ina Gunu.
Begitu gembiranya, Ketua Badan Permusyawaratan Desa Horowako, disingkat BPD, meraih microphone.
“Langgar laut bergelora: mari bergembira! Di sini kuning emas, di sana kuning tai!” Disambut tepuk tangan dan gelak tawa yang dipanjang-panjangkan.
“Di sini menari sampai cungkil matahari. Di sana menangis sampai cungkil tai mata.” Gemuruh tawa semakin menjadi-jadi. Ada yang merespon dengan sengaja berguling-guling di tanah.
“Ini karena leluhur ada di pihak kita; kekuatan adat benar-benar terbukti,” lanjutnya dengan serius.
“Kelebihan satu surat suara tadi, saya sangat yakin, itu surat suaranya leluhur. Mereka hadir memberi tanda,” kata-katanya menghipnotis semua yang ada di tenda malam itu.
***
Ina Gunu menenangkan pendukungnya yang tidak puas.
“Ini pilkades bukan perang. Kita terima semua ini dengan lapang dada dan jiwa besar.”
“Tapi mereka berlebihan. Merayakan kemenangan dengan cara mengejek dan menghina kita padahal kita sama-sama satu kampong,” kata seseorang di antara mereka.
“Mereka menghalalkan segala cara. Memasukkan pemilih yang tak terdaftar dan menggelembungkan 48 suara.”
“Itu sudah jelas kerja orang berpengalaman,” sambung yang lain dengan kesal.
“Kelicikan dan kebohongan seperti orang tersesat. Cepat atau lambat akan mencari jalan pulang,” lanjut Ina Gunu.
“Apakah leluhur berpihak terhadap kecurangan? Saya tidak yakin itu!” kata seseorang dengan nada marah.
“Kalau tidak puas, kita sampaikan kecurangan ini 2×24 jam kepada Panitia Penyelesaian Sengketa Pilkades tingkat kabupaten,” usul Ama Tobi seorang yang dianggap lebih mengerti.
“Kami yang kurang sekolah ini siap dukung kalau ada jalan untuk itu.”
“Demi mencari kebenaran dan keadilan. Segala sesuatunya harus dimulai dengan niat dan motif yang benar,” sambung Ina Gunu.
Semua mata tertuju pada Eba. Berharap ada pandangan atau persetujuan ihwal rencana gugatan. Ia diam tak bicara.
***
“Ini orang pintar punya kerja. Sudah jelas-jelas menang, kenapa Surat Keputusan Bupati membatalkan pelantikan kepala desa kita?” kata ketua lembaga adat memprovokasi peserta rapat.
“Adat tidak kenal politik. Sudah menang untuk apa menggugat?” sambung yang lain.
“Kambing sudah siap kami bunuh. Siapa dalang dibalik kegagalan ini, dialah yang bertanggung jawab atas darah yang ditumpahkan,” tukas yang lain.
“Sumpah adat tidak main-main. Panas. Cepat atau lambat pasti kena akibatnya.”
“Kami tidak mau diperintah penjabat dari luar!” sambar yang lain dengan nada tinggi.
“Kalian sudah buat apa? Sekolah tinggi tapi pulang buat rusak ini lewo.”
Suara-suara itu bagai anak panah yang bertubi-tubi dilesatkan kepada Eba. Ia dituding sebagai biang gagalnya pelantikan kepala desa terpilih. Ia berusaha tenang walau telinga dan hatinya panas.
***
Suasana kampung pasca pemilihan kepala desa terasa makin seram. Orang-orang tak berani keluar rumah karena di jalan-jalan terdengar gaduh seperti kelompok besar peronda malam. Ada sejumlah warga yang coba mengintip tapi tak melihat apa-apa. Bisik-bisik, derap langkah, lolong anjing, tangis musang, lengking kuda, kotek ayam, derik ular menjelma paduan suara sumbang yang membuat bulu kuduk berdiri.
Siapa yang telah membangunkan mahkluk gaib dari alamnya? Kini mereka bagai tersesat masuk ke frekuensi ruang manusia. Mereka diundang sebagai balatentara perang. Mahkluk-mahkluk yang tak kelihatan itu butuh darah supaya bisa bertahan di alam manusia. Maka ketika tak ada yang dapat dibantai, mereka didera siksa kehausan yang sangat hebat. Sebagai bentuk protes, mereka meneteskan darah segar di meja kerja aparat desa dan di beberapa rumah tetua adat.
Melihat darah segar yang tak wajar, Laba bersama semua aparat pemerintahan desa mengambil kapas membalutkannya lalu pergi kepada Ata molang untuk melihatnya. Itu juga dilakukan oleh tetua adat yang mengalami kejadian serupa. Ata molang melihat hal yang sama bahwa bala bantuan dari alam gaib tak menemukan musuhnya.
“Kesalahan terbesar kalian adalah mengundang kekuatan alam gaib untuk berperang melawan sesama warga sekampung,” jelas Ata molang.
“Tujuan kami adalah menang,” jelas Nopot aparat Desa sekaligus tim sukses Ama Leba.
“Pilkades, kan, bukan perang, bukan pertumpahan darah. Kalian kelewatan. Semua ada porsi dan aturannya”
“Kekuatan alam gaib juga punya aturan?, tanya Ama Lowak sepupu dari ketua lembaga adat.
“Justru kita manusia yang suka tabrak aturan. Urusan pilkades cukuplah jadi urusan manusia!”
“Apa yang harus kami lakukan?”
“Kekuatan alam gaib butuh asupan darah ketika berada di alam manusia. Kurbankanlah beberapa anak ayam dan kambing sebagai pengganti nyawa kalian!”
Setelah dari Ata molang ketua Lembaga adat menghimpun aparat desa, tetua adat, ketua BPD berkumpul di rumah ketua panitia pemilihan kepala desa Horowako. Mereka bersepakat untuk dari rumah ke rumah menyampaikan ke warga desa bahwa Eba telah menjual nyawa beberapa warga kampung kepada mahkluk gaib yang bertabiat jahat. Juga telah memakai suanggi untuk menyusahkan siapa yang tak mendukung saudarinya dalam perhelatan pilkades kemarin. Bahwa Eba adalah otak di balik gagalnya pelantikan kades terpilih. Kini ia memakai kekuatan gaib dan menjadikan warga desa sebagai tumbalnya.
Beberapa warga terbakar amarah. Batu-batu berukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa sudah siap di tangan. Sebentar lagi bakal hancur kaca jendela dan atap rumah Eba sumber segala rusuh. Seperti berebut bicara mereka mengeluarkan, kecaman, umpatan dan kutuk terhadapnya.
“Jangan pakai kekerasan fisik, nanti kita berurusan dengan aparat keamanan. Penjara kita jadinya,” kata Ketua BPD.
“Jadi apa yang tepat untuk membuat keder bangsat itu?” tanya seseorang.
“Kita minta molang lewo, tetua adat bikin ritus pemungkas. Mengerahkan segala kekuatan yang tak nyata untuk menggempurnya malam ini,” usul yang lain.
“Bila perlu dengan semua orang pintar. Gempur sekalian serempak di jam 12 malam ini.”
“Remukan dia! Kita minta molang lewo mengelap wajah kita supaya kita bisa lihat bersama dengan mata sendiri bagaimana ia hancur dicabik-cabik!”
“Saya tak sabar membunyikan genta kematian di gereja besok pagi.”
“Mati sekalian dengan keluarga dan anjing peliharaannya!”
***
Dengan mantra yang didaraskan beramai-ramai oleh tetua adat, seluruh kekuatan alam gaib yang diundang hadir. Ular kepala tujuh dengan ekor bercabang, kuda berleher dua, gajah bertanduk tujuh, rusa yang terluka, buaya bermata empat, kerbau merah bertanduk sebelah dijamu dengan darah kambing perawan. Diminta tolong untuk menghabisi Eba tepat di tengah malam.
Semua dipersiapkan sesuai rencana. Ada 10 dukun terbaik turut serta. Jam 23.30 semua sudah di rumah molang lewo. Molang lewo sudah membasuh muka 11 orang sebagai saksi bagaimana jiwa Eba diinjak dan dicabik-cabik. Kalau jiwanya sudah binasa, raga sebagai kendaraan akan segera terbujur kaku.
Seperti menyaksikan film layar lebar, tepat jam 12 segala kekuatan itu bergerak menuju rumah Eba. Anjing melolong, ayam-ayam berkotek-kotek, kucing mengeong panjang, babi-babi di kandang bergerak ketakutan. Suasana mencekam bikin bulu kuduk berdiri. Kuda berleher dua tampak tinggi seperti pohon tuak, gajah bertanduk tujuh serupa rumah berlantai dua, luka rusa selebar diameter sumur kampung yang siap menyedot siapa pun. Pergerakan mereka serupa badai puting beliung yang meneror dan membuat semua pucat dan gemetar. Malam segemuruh longsoran bebatuan raksasa.
Melihat dahsyatnya gelombang kekuatan tersebut sudah pasti bahwa dalam hitungan menit bahkan detik Eba akan menjelma perkedel kentang yang remuk terinjak-injak. Dalam jarak sepelemparan batu dari rumah Eba, semua seperti berhenti. Ada semacam benteng gaib. Di sana Eba tampak tenang dengan kepala berpendar cahaya putih dibingkai warna kuning emas dan biru yang lebih terang dari biru langit. Aneh bin ajaib. Semua mahkluk gaib itu tunduk-hormat menyembahnya. ***
.
.
Lewotala, Flores Timur, Awal April 2022
.
Daftar istilah:
Koko blolon: bagian tengah rumah adat tempat urusan krusial dibicarakan dan diputuskan
Raja tuan: bangsawan dalam tatanan Suku Lamaholot
Lewo: kampung
Ata molang: dukun
Molang lewo: dukun penjaga kampung
Suanggi: penyihir
.
.
Silvester Petara Hurit. Tinggal di Lewotala, Flores Timur, NTT. Menulis cerpen, esai dan lakon. Mendirikan Nara Teater. Bergiat mengembangkan iklim teater dan sastra di Flores Timur.
.
Pilkades. Pilkades.
Leave a Reply