Cerpen, Kedaulatan Rakyat, Regent Aprianto

Sisa Tembakau Bakari

Sisa Tembakau Bakari - Cerpen Regent Aprianto

Sisa Tembakau Bakari ilustrasi Joko Santoso (Jos)/Kedaulatan Rakyat

4
(2)

Cerpen Regent Aprianto (Kedaulatan Rakyat, 14 Oktober 2022)

AKU merokok untuk pertama kali, setelah tak pernah menyentuh barang itu sama sekali. Kini aku malah pandai menggambar awan di langit yang sedang kosong. Ke mana gumpalan putih itu. Apa awan takut arak-arakan orang mati.

“Masuk, Den. Semua sudah menunggu.”

Orang-orang dengan pakaian serba putih itu sudah sesak di dalam rumah. Aku tak ingin masuk sekarang bukan karena apa, aku hanya takut mengganggu tidur Bakari. Aku tahu betul dia lelah sekali.

Beberapa orang paruh baya dengan ratapannya sudah cukup membuat rumah kecil yang dulu selalu sepi itu bising kali ini. Sejak beberapa tahun silam ditinggalkan, Bakari bersama ayam aduannyalah yang menempati rumah itu. Jadi wajar saja, orang-orang di kampung tanggul lebih suka menyebutnya rumah ayam.

Rumah kandang ayam yang dihuni bujang lapuk, tepatnya. Entah karena prinsip hidup, atau memang tak suka merepotkan, Bakari enggan menikah. Padahal tahun ini, jika umurnya tersisa sedikit saja, dia harusnya merayakan ulang tahun emas kesendiriannya. Separuh abadnya yang sepi.

Aku sendiri yakin, dia belum benar-benar pergi. Masih bisa hidungku mengenali aroma kopi dan tembakau yang biasa kudapati di telapak tangannya saat pamit balik ke Makassar. Aroma yang juga sering kudapati di tangan Bapak. Mereka memang dua orang yang nyaris mirip. Orang baru mungkin akan bingung membedakan mana Bakari dan mana Bapak. Sebab keduanya akan sama-sama tertarik jika ditawari rokok dan kopi, lalu tersenyum dengan bibir yang legamnya pun mirip.

Beberapa pekan lalu aku sebenarnya mengunjungi Bakari di tempat kerjanya. Di sebuah percetakan kecil, di salah satu lorong Rappokalling. Sama sekali tak kulihat ada sinyal kematian di wajahnya. Dia terlihat seperti biasa, ceria-ceria saja. Bahkan dengan raut syukurnya, dia memberiku beberapa lembar rupiah dan kaos polos.

Baca juga  Selepas Bapak Meninggal

“Bapak, kabarnya bagaimana?”

“Masih begitu-begitu saja, Om.”

Aku bercerita tentang Bapak yang terkadang engah gegara rokok, dan Ibu yang selalu mengomel kalau Bapak kedapatan jajan rokok di warung. Bakari sekadar tertawa tipis. Gigi kuningnya sedikit menyembul. Mungkin begitu caranya menertawakan saudaranya sendiri. Wajah lusuhnya yang termakan usia itu, persis seperti wajah Bapak saat pulang kerja lalu mendapati secangkir kopi hangat di meja. Meski lusuh, masih bisa tersenyum.

Di perantauan, terlepas dari kemiripannya dengan Bapak, Bakari sudah kuanggap seperti orang tua. Saat pembayaran uang semester atau sewa kos mulai masuk waktu tenggat, Bakari-lah yang menanggung semua biayanya. Karena itu aku sangat segan padanya.

Semua kenangan itu adalah kilas balik sebelum kudapati secarik surat kabar dengan berita penangkapan Bakari sebagai gembong narkoba. Aku sempat kecewa sebab Bapak dengan teganya sempat merahasiakan kabar itu.

“Dia disergap tengah malam, Den. Cuma saya yang lihat,” kata Ingku, tetangga rumah ayam di kampung tanggul.

Aku semakin geram saat Bakari dikabarkan meninggal di rumah sakit sepekan berikutnya. Brengsek! Keparat berseragam itu selalu menghalangiku bertemu dengannya, sebelum dan sesudah Bakari mati.

Aku pun yakin, kematiannya pasti tak lepas sangkut-pautnya dengan mereka. Setahuku selama hidup Bakari tak pernah mengeluh punya penyakit. Tidak. Dia tidak mati karena penyakit. Seseorang pasti membunuhnya.

“Sudah. Umur tak ada yang tahu, Den,” kata Bapak sebelum menandaskan seruput terakhirnya suatu sore.

“Memang tak mungkin bangkit lagi, Pak. Tapi apa harus mati seaneh itu?”

Aku yakin, interogasi untuk seorang gembong narkoba lintas kota tidak akan berjalan biasa-biasa saja. Ungkap sipir yang sempat kutanyai, Bakari kerap mengeluh sakit di dadanya setelah interogasi selesai. Penyidik biadab itu pasti sudah sangat kelewatan pada orang tua seperti Bakari.

Baca juga  Kinanti

Belum selesai aku bergumam, Bapak gegas masuk ke dalam rumah. Sebuah mobil hitam asing berhenti di seberang halaman. Mobil yang rupanya membawa beberapa lelaki berpostur tegap. Mereka setengah berlari ke arahku. Aku menatap heran setelah salah seorang dari mereka menodongkan pistol. Tiga yang lainnya bergerak masuk ke dalam rumah. Setelah suara teriakan, seketika terdengar letusan.

***

Bagaimana bisa aku tak menyadarinya. Pertanyaan itu yang berputar di kepalaku saat berhadapan dengan selembar koran dengan headline berita ‘Menyingkap Jaringan Big Brother’. Koran kusut itu hampir saja robek sebab dibaca berulang kali.

Saat itu langit sedang kosong lagi. Aku memantik macis kayu, membakar lintingan terakhir. Sekarang yang tersisa hanya sejumput tembakau Bakari dan sedikit ingatan tentang Bapak yang ditembak mati.

“Benar-benar mirip, kan?” Seperti ada dua orang yang serentak berbisik. ***

.

.

(Gowa, 2019)

*) Regent Aprianto, lahir di Gorontalo , 24 April 1998. Alumnus Bahasa dan Sastra Arab UIN Alauddin Makassar. Menulis puisi dan cerpen yang terbit di media cetak.

.

Sisa Tembakau Bakari. Sisa Tembakau Bakari. Sisa Tembakau Bakari.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!