Cerpen, Kompas, Putu Wijaya

Eyang

Eyang - Cerpen Putu Wijaya

Eyang ilustrasi Kompas

4.3
(3)

Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 20 Oktober 2013)

DAN Lebaran pun datang lagi. Persoalannya belum bergerak. Harga kebutuhan pokok naik. Masyarakat panik. Heboh mudik. Korban jiwa di jalanan bikin galau dan arus balik dapat dipastikan akan tetap kacau.

Aku sendiri punya persoalan buntu, yang tak bisa dipecahkan. Walau sudah setengah mati banting tulang, hasilnya hanya cukup untuk bayar uang pangkal sekolah anak-anak.

Sempat ada cucunguk yang menawarkan bagaimana mendapat SKM, dan KGS—kartu yang bisa menolong mengurangi beban. Tapi apa daya hati kecil menolak. Akhirnya kesombongan itu terkumpul membuat bangkrut di puncak Ramadhan.

Sementara, orang suka-ria jor-joran merayakan Hari Kemenangan, kami sekeluarga teriris kesunyian. Untungnya tak ada anak-anak yang ngomel. Mungkin ibunya sudah berhasil mencuci otak mereka. Paling tidak untuk menyakiti hati bapaknya yang sudah keok.

Namun penderitaanku tetap tidak berkurang. Walau tidur berhimpitan di dipan kecil, dengan ibunya anak-anak, sudah sebulan aku tanpa keindahan—sesuatu yang selalu aku bangga-banggakan sebagai benteng milikku yang terakhir.

Tetapi menjelang malam takbiran. Hummer 3 milyar milik Bos berhenti depan rumah. Aku meloncat bagai chipansee menghampiri. Begitu kaca jendela menguak memuntahkan wajahnya yang segar-bugar, aku sudah menyapa:

“Sore Bos, minal aidin walfa izin. Maaf lahir batin!”

Dia membalas lalu tertawa.

“Jadi sudah pasti, besok?”

“Pasti Bos, sudah ketok palu.”

“Oke. Tapi kalian tidak ke mana-mana seminggu ini, tidak mudik kan?”

“Untuk apa harus mudik, Bos, kalau hati kami sudah di situ hambur-hambur duit aja!”

Dia tertawa lagi.

“Oke, kalau begitu tolong titip Eyang. Beliau tidak mau ikut tour ke China, katanya untuk apa ke sana, orang Tionghoanya malah banyak ke Jawa. Nginap di hotel nggak mau, dititip di super VIP Rumah Sakit bintang enam juga ogah. Maunya di rumah kalian ini yang sudah dikenalnya. Oke?!”

Aku belum sempat menjawab, pintu belakang terbuka. Eyang turun diiringi kopor besar perlengkapannya.

“Salam walaikum…”

Aku sampai lupa membalas sapa Eyang, kepalaku seperti kejatuhan batu. Gila, untuk makan sekeluarga saja masih pertanyaan! Bagaimana kalau mesti menjamu Eyang yang hanya doyan makan masakan Eropa dan buah-buahan impor itu?

Kesalahanku berikutnya, ini sulit aku maafkan. Ketika Bos merogoh sakunya untuk mengeluarkan dompet, menalangi biaya mengurus. Eyang, dengan sigap aku kunci sikunya, sambil senyum TST menunjukkan tak ada masalah:

“Beres Bos, jangan ragu-ragu, kami akan jaga beliau, Bos berangkat saja. Kapan?”

“Ini sekarang langsung ke Cengkareng!”

Aku masih bisa tersenyum. Bangsat memang. Aku selamanya terlambat memantau kemalangan. Barangkali memang itu bakat dasar pecundang. Tak mampu membaca proses, jadi semua harus dijalani. Baru setelah Hummer itu lenyap, dan istriku berbisik di telinga sembari senyum berarti: “Dikasih berapa?” Baru aku nyahok. Rasanya dunia kiamat.

Enak saja itu orang-orang besar berkoar: bahwa uang bukan segalanya. Nyatanya uang tiap detik tanpa harus dibuktikan lagi, adalah segala-galanya.

Tak paham bahaya apa yang sedang terjadi, istriku menyambut Eyang dengan hangat. Anak-anak semua dikerahkan untuk memanjakan Eyang. Orang tua yang berusia 90 tahun itu, diperlakukan sebagai berlian, layaknya seorang dewa.

Baca juga  Pengakuan

Dengan berbagai alasan aku menyelinap ke kamar. Setengah mati aku obok-obok almari, tapi sia-sia menemukan barang berharga yang bisa dijual.

Akhirnya aku terpaksa merelakan jam tangan Rolex, suvenir Bos sendiri, ketika ia studi banding ke Hong Kong.

Membawa Rolex itu, aku menyelinap ke pangkalan ojek. Aku bujuk si Kardi menjualnya cepat.

“Duit lhu sekarang ada berapa, Di?”

Kardi menguras tas pinggangnya, ada sekitar 60 ribu.

“Di kantung celana dalammu, Bro! Hayo bantu aku. Ini soal harga diri!!”

Kardi sambil misuh-misuh terpaksa mengeluarkan simpanannya. Akhirnya aku bisa mengumpulkan 250 ribu. Itu cukup untuk malam itu. Besok soal besok.

Ketika kembali ke rumah, istri dan anak-anakku nampak kelimpungan. Aku jadi cemas.

“Eyang hilang, Bang!” kata istriku ketakutan, “Tadi lagi semua beres-beres untuk menetapkan kamar beliau, kami lupa memperhatikannya. Jangan-jangan beliau tersinggung. Setelah kamarnya siap, beliau kabur!”

“Padahal tadinya Eyang ikut membersihkan kamar,” lapor salah satu anakku. “Eyang bahkan ngelap meja sambil menyanyi, Apa Apanya Dong! Dia yang merancang bagaimana mengaturnya, di mana harus meletakkan kopornya. Tapi tiba-tiba hilang! Jangan-jangan dia sudah pulang lagi!”

Aku cepat ambi-alih kendali. Anak-anak disebar ke tetangga menyelusuri jejaknya. Ada yang mencari ke rumah Bos. Aku sendiri lapor ke kantor polisi. Istriku gentayangan bertanya-tanya pada siapa saja di jalanan. Hasilnya nol.

Dengan tangan hampa, pukul 22.00 WIB kami memutuskan kembali ke rumah. Malam takbiran sudah digelar. Lalu-lalang dan suara petasan heboh. Kami semua lelah, gerah, lapar dan cemas.

Seperti kalah perang, kami masuki rumah. Aku mencoba menghubungi Bos lewat SMS, berharap dia masih di bandara. Tapi seperti sudah kuduga, HP-nya dimatikan. Rasanya aku makin tolol saja.

Tiba-tiba dari ruang makan ada teriakan.

“Hee, ayo buruan! Nanti keburu dingin semua!”

Kami semua terkejut, lalu bergegas ke meja makan. Di situ menunggu Eyang dengan meja penuh makanan. Kami takjub. Bau sedap mengacau otak kami.

“Ayo serbu saja, kalian sudah 30 hari kelaparan, kan?!”

Tanpa menunggu komando kedua, kami menyerbu. Seperti piranha kami sikat habis yang ada di meja. Dalam sekejap, ludas tandas semua.

Eyang memperhatikan kami makan dengan kagum. Matanya yang bersinar itu berkaca-kaca. Ia kelihatan begitu terharu pada kerakusan kami.

“Eyang belum pernah melihat orang menghargai makanan seperti kalian,” kata Eyang sambil menepuk pundak anak-anakku, “Dada ini rasanya plong, hidangan tidak ada sisanya. Besok di samping dipesankan lagi yang lebih enak, Eyang juga akan masak resep tradisional warisan leluhur Eyang. Setuju?!”

Kami menjawab serentak, “Setuju!”

Habis makan, kami pindah ke ruang depan, nonton televisi. Atas usul Eyang, anak-anak memilih mata acara, kemudian dinikmati bersama. Itu terbalik dari kebiasaan. Biasanya aku atau istriku yang berperan.

“Eyang heran, kenapa kalian tidak masak menjelang buka, air juga merah mengandung larutan zat besi begitu! Ternyata tidak ada beras lagi di dapur. Eyang pikir kalian berkecukupan, habis pakaiannya keren-keren begitu, eee ternyata itu keliru, kalian ternyata kere, he-he-he! Tapi tak apa. Biasa! Semua orang begitu! Besok semua biaya tanggungan, Eyang!”

Baca juga  Ibu Pulang

Kami tercengang, tak percaya apa yang kami dengar. Eyang tak mencoba meyakinkan kami. Kelihatan jenis orang tak peduli. Tak suka basa-basi, ngomong hanya satu kali. Di mata kami, dia jadi seksi.

Lalu Eyang mengajak nonton siaran musik. Dan langsung ikut jingkrak-jingkrak edan. Tapi akhirnya, aku dan istriku ikutan joged. Rumah berubah jadi diskotik.

Ujung-ujungnya Eyang dan anak-anak nonton pertandingan Barcelona mempermalukan Thailand 7-1.

Aku dan istriku tercengang melihat orang tua yang lanjut usia itu, berteriak dan misuh-misuh mengikuti larinya bola. Eyang seperti ornamen yang melempas dari pola yang telah lama menindasnya. Ia begitu lepas. “Makhluk apa ini?” bisikku. Tapi kemudian kuralat. “Makhluk dari mana sekarang aku ini?”

Esoknya dan esoknya, menjadi hari-hari baru. Ajaib, bagaimana Eyang menyulap rumah kami dalam sekejap, dari gelap, mendadak ceria dan bersemangat.

Di luar dugaan, Eyang ternyata berlapis-lapis di bawah keriputnya. Ia yang semula terasa sebagai fosil, monster masa lalu, jebulnya menyembunyikan, memiliki kepribadian lentur.

Tua bukan lagi tanda lapuk atau rapuh. Tapi dinamis terbuka, toleran, apa ya, pendeknya menyenangkan.

Tak sebagaimana yang kami duga, kekayaannya tidak menjadikan dia pongah atau egois. Eyang onderdil canggih yang dipasang di mana pun, klop.

Anak-anak terpesona. Awalnya bingung mengapresiasi, bagaimana mungkin mereka bisa luluh dengan produk zaman baheula itu. Ternyata kenyataan bertentangan dengan teori.

Aku tak habis pikir, bagaimana Eyang bisa aktif, gesit, spontan dan ringan menghampiri kami. Khususnya anak-anak yang sering kami cap liar, bablas?

Sama sekali tanpa jarak, tanpa terasa dibuat-buat. Eyang menghampiri menjemput dan membalut kami seperti kabut menelan gunung.

Anak-anak tenggelam, lupa daratan dalam pukau Eyang. Baru pertama kali kurasakan bahwa usia, latar belakang, kondisi sosial, tidak menjegal. Tak ada yang bisa menghalangi asal manusia mau menyatu.

Pada hari keenam, Eyang mengajak kami menyewa sebuah minibus pariwisata. Lalu semua kami keliling sekitar Jakarta, mengecap situs-situs bersejarah.

Perjalanan yang menelan waktu sepanjang hari itu sangat menarik. Meskipun juga melelahkan. Tapi tak seorang pun nampak menyesal.

Pukul 19.00, kami baru sampai di rumah. Terkuras tetapi puas. Hanya saja mobil Hummer itu, sudah menunggu di depan rumah. Sopirnya segera menghampiri kami.

“Bapak mendadak pulang karena dipanggil Presiden ke istana, dalam rangka perombakan susunan kabinet,” katanya kepada Eyang, “Saya diperintahkan menjemput Ibu.”

Eyang sama sekali tak menjawab, seakan-akan tak mendengar. Ia langsung mengerahkan anak-anak mandi, untuk kemudian nonton acara tv yang sudah mereka tunggu-tunggu.

Sopir agaknya sudah hapal watak Eyang. Ia tak mengejar Eyang, tapi mendesakku.

“Pak, tolong dibantu. Saya harus membawa Ibu pulang sekarang, Pak. Kalau tidak, Bapak nanti datang sendiri ke mari.”

Begitu dia selesai ngomong, HP-nya bunyi. Dia langsung menyodorkannya kepadaku.

“Untuk Bapak, dari Bapak.”

Aku menyambut HP.

“Halo Bos, selamat datang kembali ke Tanah Air!”

“Heee. Min! Tolong kirim sekarang juga Eyang pulang! Sekarang! Cepat!”

Aku tak sempat menjawab, karena sambungan diputuskan. Sopir mengangguk menerima HP-nya kembali. Aku merasa terjebak. Bukan jadi penting karena pegang kunci, justru sebaliknya, korban. Memang bedanya tipis.

Baca juga  Ida Waluh di Lereng Gunung Agung

Aku yakin, nampaknya ada sesuatu yang sudah terjadi. Sesuatu yang tidak harus kuketahui. Aku samperin Eyang.

Di luar dugaanku, rupanya aku tidak perlu susah-payah mendesak Eyang. Meskipun itu tidak disukainya, Eyang sudah berkemas. Ia melemparkan barang-barangnya ke kopor.

Bahkan belum sempat aku buka mulut, Eyang sudah keluar kamar menyeret kopornya. Setelah bicara empat mata dengan istriku, ia menuangkan dirinya ke mobil.

Tanpa mengucap sepatah kata pun. Wajahnya tegang, dingin dan sunyi. Ia kembali memasuki perannya yang lama. Kami semua sedih melihat ia begitu saja hilang dari jangkauan.

Setelah Eyang pergi, rumah mati angin. TV tetap bising, tapi anak-anak terpaku beku. Aku dibakar lelah. Tiba-tiba aku menyadari begitu banyak yang sudah alpa kulakukan. Mengapa orang tuaku sendiri, nenek dan kakek asli anak-anakku tidak pernah kusikapi seperti Eyang?

Terbangun di tengah mimpi, tv masik heboh. Tapi anak-anak sudah kabur ke kamarnya. Di sampingku istriku sedang mengeluarkan duit dari amplop.

“Dari Eyang,” kata istriku menunjukkan uang itu.

Aku tidak tertarik.

“Abang tahu jumlahnya?”

Aku tidak peduli.

“Setengah milyar!”

Aku kaget.

“Berapa?”

“500.000.000!”

“Lima ratus juta?”

“Ya! Kata Eyang, ini duitnya sendiri yang dia tabung selama 20 tahun.”

Kantuk dan lelahku kontan hilang. Mataku terbelalak melihat mimpi itu.

“Tidak. Kita tidak bisa menerima itu!”

Istriku mengulurkan duit itu. Aku merasakan auranya panas. Itu perangkap. Aku pun mengelak.

“Tidak! Kita tidak boleh menerima itu! Jangan menipu orang tua. Dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Kembalikan, demi Tuhan jangan ikut bisikan setan!”

Istriku teranjat. Aku yakin dia menganggapku edan. Tapi keputusanku itu sudah final.

“Kembalikan!”

Aku terlalu capai. Tanpa daya aku tergeret ngorok. Baru ketika ada suara-suara bising keras di sekitarku aku mendusin.

Anak-anak kembali kumpul, depan tv. Mereka menonton pertandingan bola bersama Eyang.

Istriku menghampiri lalu berbisik:

“Eyang kembali lagi. Bos sendiri yang mengantarkan. Katanya Eyang merasa betah, diwongkan di sini!”

“Amplopnya?”

“Sudah aku kembalikan kepada Bos, seperti perintah Abang.”

“Bos sudah tahu berapa isinya?”

“Belum.”

“Mestinya dikasih tahu.”

“Tapi dia memberikan kita ini!”

Istriku menunjukkan 3 lembar ratusan ribu.

“Hanya 300 ribu untuk biaya ngurus Eyang seminggu?”

“Bukan seminggu. Eyang mau tinggal sama kita di sini sebulan!”

Aku terperanjat.

“Sebulan? Edan kenapa bukan seumur hidup!”

Aku banting 3 lembar ratusan ribu bangsat itu setelah BBM naik, itu hanya cukup untuk 4 kilo bawang.

Istriku menyabarkan, sambil menarik tanganku ke kamar.

“Sssstttt! Sudahlah, Bang, kan kata Abang biasanya, duit bukan segala-galanya!”

Aku terus berang ngedumel. Itu tak adil! Tak adil! Tapi tak menolak mengikutinya ke kamar. Malam itu dipan kami terasa makin sempit. Dan kami mencoba berjuang lagi membuktikan, duit bukan segala-galanya. ***

.

.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!