Cerpen Kiki Sulistyo (Koran Tempo, 23 Oktober 2022)
DALAM foto yang dirilis sebuah harian Ibu Kota, Maret 2001, Sri Danil Kuni melihat dirinya sendiri.
Ia digendong neneknya, sambil memeluk buntalan kain, terimpit bersama orang-orang lain, menatap dengan mata sayu ke arah juru foto. Mereka sedang berada di sebuah truk yang akan membawa mereka menjauh dari perang antara para pendatang dari Pulau M dan penduduk yang lebih dulu bermukim di Pulau K itu.
Sri menghitung berapa orang yang tertangkap kamera foto. Ada 15, termasuk dirinya. Separuh di antaranya masih kanak-kanak. Rambut putih neneknya, yang membelakangi kamera, kelihatan terang. Mungkin karena foto itu hitam-putih. Di samping neneknya ada seorang laki-laki yang kelihatan seusia dengan neneknya. Kening dan punggung tangan keduanya sama-sama mengerut. Bukan cuma oleh usia tua, kerutan itu juga disebabkan oleh rasa takut, pikir Sri. Seorang anak laki-laki tak berbaju juga menatap ke kamera, wajahnya kelihatan cemas. Sri mengenalnya. Itu Solikin. Di mana ia sekarang? Semenjak mereka berpisah, Sri tak pernah lagi melihat Solikin. Ah, bukan cuma Solikin, ia bahkan tak pernah lagi bertemu dengan satu orang pun yang tertangkap kamera dalam foto itu. Termasuk neneknya.
Lembar koran tempat foto itu tercetak ia dapatkan sebagai pembungkus buku. Sebelumnya, ia melihat sebuah buku, yang sudah lama dicarinya, di akun Instagram toko buku Klandestin. Buku itu ditulis oleh Judith Herman MD; Trauma and Recovery, The Aftermath of Violence-from Domestic Abuse to Political Terror. Ia langsung memesan buku itu.
Sri datang sendiri untuk mengambil buku itu karena letak toko buku Klandestin tak begitu jauh dari rumahnya. Namun, Wulan Ema, pemilik toko buku itu, tak ada di tempat. Buku yang sudah dibungkus itu diserahkan oleh seorang laki-laki berkacamata dan, menurut penglihatan Sri, agak kurang waras.
Setelah itu, Sri mampir di kedai kopi Gardania, di belakang Islamic Center, dan membuka bungkusan tersebut. Tak banyak orang di kedai kopi Gardania. Keputusan mampir di kedai kopi Gardania diambil Sri karena, entah kenapa, ia ingin bertemu dan berbincang dengan Wulan Ema. Saat memesan buku, lewat direct message Instagram, ia dan Wulan sempat berbincang-bincang. Wulan mengaku telah membaca buku Judith Herman itu, dan ia tertarik membacanya karena suatu peristiwa di masa kecilnya; peristiwa pembakaran rumah seorang tetangga, yang mengganggu pikirannya sampai ia dewasa. Sri ingin mengajak Wulan Ema bertemu dan berbincang-bincang soal itu. Karena itu, ia mampir di Gardania, memesan minuman, dan mengirim pesan ke Wulan Ema, sebelum kemudian membuka bungkusan buku yang baru dibelinya.
Ketika membuka koran pembungkus buku itulah Sri melihat foto dirinya dua puluh tahun lalu; di sebuah truk, diangkut menuju tempat pengungsian. Suara-suara teriakan, orang-orang menangis, dan berlarian, asap dan api, luka-luka, dan darah. Semua menghambur tiba-tiba dari ruang kosong masa lalu, dari folder ingatan yang kerap disembunyikannya. Selama bertahun-tahun sistem kenangan dalam otaknya mengatur mana yang bisa dan tak bisa diingatnya. Semenjak Bunda Maria membawanya ke pulau kecil ini, sistem kenangan itu sering menyembunyikan semua data tentang peristiwa pada hari-hari pengungsiannya. Maria Hartini, yang dipanggilnya Bunda Maria, ialah orang baik hati yang kemudian merawatnya, menyekolahkannya, sampai ia dewasa, dan bergelar sarjana.
Sri menelusuri lembar koran tempat foto tadi tercetak. Ada sebuah artikel, dan foto tadi dipakai untuk menyertai artikel tersebut. Meskipun artikel itu berlatar orasi menyambut Hari Perempuan Internasional, Sri terusik oleh kata-kata pertama artikel itu: Siapakah Korban?
Kata “Korban” dalam artikel itu memakai huruf awal kapital, sesuatu yang tak wajar. Sebab, kata itu adalah kata kedua dalam susunan frasa. Namun, bagi Sri, penggunaan huruf kapital itu seperti menuntut perhatian. Sri bertanya-tanya, apakah dirinya bisa disebut sebagai korban? Ia lahir di kawasan tempat perang itu terjadi. Keluarganya memang berasal dari pulau lain, dari suku lain, tapi sudah bertahun-tahun mereka tinggal di sana, berbaur dan bergaul dengan siapa saja. Ketika perang terjadi, dan ia harus mengungsi bersama ribuan orang lainnya, ia mungkin adalah korban. Sebaliknya, akibat dari peristiwa itu, ia sekarang ada di pulau kecil ini, hidup dengan baik sebagaimana yang dicita-citakan banyak orang. Nasib yang belum tentu bisa ia dapatkan apabila ia masih tinggal di tempat sebelumnya.
Saat merenungkan hal itu, Sri melihat dua orang masuk melalui gerbang kecil kedai kopi Gardania. Neon di gerbang itu menampilkan sisa-sisa promosi program kedai; karaoke dan nonton bareng. Musik blues mengalir dari sistem suara di sekitar kasir. Sri menandai salah seorang yang masuk tadi. Ia adalah laki-laki berkacamata dari toko buku yang disangkanya kurang waras itu. Di sebelahnya ada seorang perempuan berkaus merah—yang bagian lengannya seperti sengaja dirobek—dan bercelana putih dengan renda-renda di ujung bawahnya. Sri tahu perempuan itu Wulan Ema.
Ketika mata mereka bertemu, Sri melambaikan tangan, Wulan Ema juga melambaikan tangan. Sementara laki-laki berkacamata tak melakukan apa-apa, kecuali kemudian berjalan di belakang Wulan Ema.
“Testimoni,” kata Wulan Ema, setelah sejenak perkenalan, pertanyaan-pertanyaan ringan, dan memesan minuman, “itu kan salah satu yang dibicarakan di artikel ini. Soal testimoni itu juga dikutip dari buku yang kamu beli. Sebenarnya saya tidak berniat menjualnya. Tapi, kata si Nostradamus ini, buku ini rasanya diperlukan oleh seseorang, entah siapa. Intuisinya kadang-kadang memang tajam, atau mungkin ia bisa membaca masa depan. Makanya ia dipanggil Nostradamus,” ujarnya. Nostradamus yang dimaksudkan Wulan Ema adalah laki-laki berkacamata itu.
Nostradamus diam saja. Matanya menatap dengan teliti foto pengungsi tadi.
“Bagaimana kamu melakukan testimonimu? Peristiwa pembakaran rumah tetanggamu itu terjadi di dekat-dekat masa pengungsianku. Sepertinya kita seumuran,” ucap Sri.
“Aku menulis. Terus kusiarkan di media massa. Kalau terbit, aku pamerkan melalui akun media sosialku. Aku suka. Itu testimoniku. Memang bentuk tulisanku fiksi. Tapi, kata Nostradamus, fiksi lebih memungkinkan ketimbang bentuk lain,” jawab Wulan Ema.
“Betul. Fiksi harus terus dituliskan supaya kita lebih banyak melihat kenyataan,” ucap Nostradamus, lalu telunjuknya terarah ke salah satu sosok di dalam foto. “Siapa ini?”
Sri dan Wulan Ema serentak memperhatikan sosok itu. Seorang laki-laki yang wajahnya tertutup sosok lain di atas truk. Laki-laki itu sendiri berdiri di luar truk. “Ia sepertinya sedang menelepon,” lanjut Nostradamus. Wulan Ema yang beralih menatap Sri melihat perubahan di wajah Sri. Wajahnya pias, memucat, seakan terkejut oleh sebuah berita yang tak disangka-sangka.
Folder ingatan yang disembunyikan Sri terbuka, seakan Nostradamus telah memecahkan kata kuncinya. Suara-suara teriakan, orang-orang menangis dan berlarian, asap dan api, luka-luka dan darah. Mereka, sesungguhnya, tak pernah sampai di tempat pengungsian. Sekelompok orang mencegat mereka. Luka dan darah. Neneknya tumbang, Solikin terkapar di tanah, truk terjungkal, dan seorang laki-laki menyeretnya ke tepi jalan.
“Sri? Kenapa?” tanya Wulan Ema. “Minum dulu,” lanjutnya.
Wulan Ema cemas, dikeluarkannya minyak kayu putih dari tas. “Mau pakai ini?” tanyanya.
Sri meraih minyak kayu putih dan menghirupnya.
Orang-orang menangis dan berlarian, asap dan api. Laki-laki itu tumbang, mengerang-ngerang. Sri melihat Bunda Maria berdiri di depannya sambil menggenggam kapak yang matanya basah oleh darah. Perempuan itu membantunya berdiri, memeluknya, dan membawanya menjauh, melalui hutan kecil di tepi jalan.
“Saya tidak ingat. Mungkin dia tetangga kami. Banyak sekali yang saya tidak ingat. Kalau tadi saya tidak melihat diri saya sendiri di foto ini, mungkin saya tidak akan terlalu memperhatikannya,” ucap Sri.
“Tidak apa-apa,” kata Wulan Ema, kemudian dengan ringan ia membelokkan topik pembicaraan ke soal kopi dan makanan yang mereka santap.
Tengah hari, saat pengeras suara dari masjid di Islamic Center mulai terdengar, Wulan Ema berkata bahwa ia harus pergi, lantas disusulkannya sebaris pesan: “Oh ya, kalau mau belajar menulis, boleh kok datang ke toko buku kami. Nostradamus ini pasti mau melatihmu. Dia ini seorang penulis juga, lho.”
Meskipun dari tadi Wulan Ema seperti memuji Nostradamus, Sri tetap tak bisa menghilangkan kesan bahwa laki-laki itu kurang waras. Bibirnya selalu bergerak-gerak meski tak sedang berbicara. Bibirnya bahkan tetap bergerak-gerak ketika ia sedang berbicara, seakan-akan bibir itu mengucapkan kata-kata yang lain dari apa yang diucapkan Nostradamus.
“Bagaimana kalau Nostradamus yang menulis tentang saya?” tanya Sri. “Saya Sri Danil Kuni. Ini saya,” lanjutnya sambil menunjuk foto di koran yang tadi sudah dilipatnya, “di atas truk menuju tempat pengungsian. Saya melihat orang-orang menangis dan berlarian, asap dan api, luka-luka dan darah. Tulisan Nostradamus akan menjadi testimoni saya. Bisa, kan?” Sri menatap bergantian dua orang di depannya.
Wulan Ema dapat melihat dengan jelas wajah Sri tiba-tiba memerah dan, tak lama kemudian, basah. ***
.
.
Terima kasih untuk Daniel Cooney dan Maria Hartiningsih
.
.
Kekalik, April-Oktober 2022
Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Buku kumpulan cerpennya adalah Belfegor dan Para Penambang (2018), Muazin Pertama di Luar Angkasa (2021), dan Bedil Penebusan (2021). Ia juga dikenal sebagai penyair dan telah melahirkan sejumlah buku kumpulan puisi.
.
Testimoni Sri. Testimoni Sri. Testimoni Sri. Testimoni Sri. Testimoni Sri. Testimoni Sri.
Leave a Reply