Cerpen Sriningsih Hutomo (Suara Merdeka, 13 Oktober 2022)
PETANG itu, rasaku campur aduk, dan tak mampu untuk mengungkapkan apakah sebenarnya maksud kedatanganku ke rumahnya yang tiba-tiba.
Perempuan paru baya berparas manis, pipinya sedikit tirus, kulitnya yang kecokelatan dan kerutan di bawah matanya memperlihatkan lebih tua dari usianya. Ia dengan sigap membukakan pintu untukku. Ekspresi takjub begitu mengenaliku, walau sedikit tidak yakin itu adalah aku, karena bertahun-tahun lamanya kami tidak bertemu. Pastinya dia kaget karena sama sekali tidak menyangka akan kedatanganku yang tiba-tiba ke rumahnya.
Dengan keramahannya, dipersilakannya aku untuk masuk dengan segera. Tanpa ragu-ragu dia memelukku sangat erat. Dengan suara khasnya yang lantang, ia pun kemudian mempersilakan aku untuk duduk. Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, ke pohon-pohon bakau yang berjajar di samping rumah. Sesekali terasa embusan angin laut yang kencang membawa goyang rumah di atas laut itu dengan struktur panggung yang terbuat dari kayu, dan tiap menit suara bising kayu yang bertempur dengan suara kendaraan menemani percakapan kami. Aku paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata, mungkin dia butuh pengalihan sejenak untuk menata kembali perasaannya dan untuk memulai perbincangan kami berdua sore itu.
Darma adalah sahabatku semasa kecil kala masih SMP. Sebuah kota kecil yang penuh dengan kenangan dan tak akan pernah terlupakan, Bontang, Kalimantan Timur. Saat itu aku tinggal di kawasan perumahan Bukit Sekatub Damai, sedangkan Darma lahir dan besar di Bontang Kuala, sebuah daerah yang saat ini dikenal dengan Desa Wisata. Desa itu merupakan salah satu destinasi wisata unggulan Kota Bontang, Kalimantan Timur, di bagian pesisir timur Bontang, dengan ciri khas permukiman nelayan di atas laut, yang memiliki beragam potensi wisata seni dan budaya, hingga kuliner yang terkenal, yaitu Gami Bawis.
Berharap mendapatkan maaf darinya, karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu, aku menceritakan kepindahanku ke Jakarta, karena orang tuaku dimutasi di kantor Pupuk Kaltim Jakarta. Aku melanjutkan SMA dan kuliah di Jakarta, menikah, menjadi ibu sekaligus bekerja di bank BUMN, yang telah memutasi aku kembali ke Bontang.
“Jadi, apa yang membawamu kemari?”
“Aku kangen pengen jumpa kamu, Dar.”
“Bohong!”
Aku tersenyum. Terjadi hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum beberapa obrolan meluncur bertubi-tubi bagai peluru magasin. Membagi cerita masing-masing, dan tanpa mengetahui suratan takdir, ternyata Tuhan menuliskan hal yang sama untuk hidup kita. Darma dan aku sama-sama hanya memiliki anak semata wayang dan usia anak kami tidak jauh beda.
Bertemu dengannya, mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia selalu lekat di ingatanku. Tentunya dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang dia simpan pedihnya lebih besar efeknya daripadaku jika kembali ke masa itu.
Kala itu, aku menyaksikan pesta laut di anjungan ujung bersama Darma dan bibinya. Anjungan tersebut adalah panggung tempat acara-acara adat masyarakat Bontang Kuala. Upacara adat pesta laut ini biasanya digelar akhir tahun, diawali dengan ritual Mencera Buluh atau menjamu kampung yang ditandai dengan meletakkan sesaji di area tertentu.
Acara Mencera Buluh ini dilakukan untuk memberitahukan kepada para ruh penjaga perairan kampung Bontang Kuala bahwa akan dilakukan tradisi pesta laut. Aku melihat beberapa dari mereka meletakkan sesajen di tempat-tempat tertentu. Ritual tersebut bernilai spiritual dan mistis yang dilakukan oleh pemimpin adat beserta beberapa masyarakatnya. Darma menceritakannya semua padaku. Ia menjelaskan, mendapat cerita itu dari ayahnya.
Selesai menyaksikan acara pesta laut, kami pun pulang jalan kaki, percakapan-percakapan ringan saya nikmati bersama Darma dan bibinya yang tinggal di gang sebelah, tidak jauh dari rumah Darma. Benar-benar hari yang sangat berarti bagiku.
Bertahun-tahun berlalu, namun terlihat masih sama dengan suasana ruang tamu saat itu. Bedanya hanya warna gorden. Aku tak ingat jelas waktu itu apakah warna hijau atau biru, yang jelas tertinggal di dalam ingatan adalah warna terang tapi telah pudar dan mbeladus karena mungkin telah lama tidak ganti atau lama tidak dicuci. Hal Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup mereka. Ayahnya seorang nelayan yang hidupnya tak akan pernah kekurangan dengan lauk ikan, karena tiap pulang, ikan selalu menemani kedatangan ayahnya. Namun mereka terlihat bahagia, ia hanya hidup berdua dengan ayahnya, karena ibunya telah meninggal sejak usia Darma kelas V SD.
Sore itu kami melanjutkan hari dengan menyelesaikan tugas kelompok. Darma adalah anak cerdas yang mendapatkan beasiswa oleh Pupuk Kaltim dan dapat bersekolah di sekolah swasta unggulan di kota Bontang, yaitu SMP Yayasan Pupuk Kaltim dengan biaya gratis hingga lulus, sehingga ia dapat bersekolah yang sama denganku.
Selesai kami mengerjakan tugas kelompok sore itu, aku langsung menyatakan ikut dengan Darma menjemput ayahnya pulang dari mencari ikan, yang tak jauh dari rumahnya. Lokasinya di dekat jembatan, tempat berlabuhnya kapal-kapal ikan yang pulang melaut.
Sedikit mendesak, akhirnya aku pun diperbolehkan ikut, walau hari hampir Maghrib. Padahal, ayahku sudah mewanti-wanti untuk tidak pergi ke mana-mana jika keluarganya Darma pergi. Tapi sore itu aku nekat untuk ikut, Darma pun tidak kuasa menolaknya.
Kami berdua turun menyusuri tangga di samping kanan bawah jembatan. Petang adalah waktu yang ditunggu-tunggu dan paling menggembirakan Darma, karena itu adalah waktu menyusul ayahnya pulang melaut dan menjadi tugas wajib yang harus Darma kerjakan, walaupun dia anak perempuan satu-satunya.
Ayahnya adalah sosok yang baik dan ramah. Bahkan, kesahajaan dan keimanan dia terlihat sangat kuat. Hal itu terlihat sebelum kita dekat dengan jembatan tempat berlabuhnya kapal, Darma spontan teriak: “Itu bapakku, Fel!”
“Yang mana?” kataku.
“Itu yang lagi duduk shalat di atas kapal, Fel.”
Sungguh takjub aku melihatnya. Dan lebih membahagiakan lagi, sore itu ayahnya mampu menangkap banyak ikan, terlihat karung putih besar hampir penuh.
Senyum yang terlihat lebar, tergopoh memanggil Darma sambil membereskan sajadah shalatnya, “Dar, tangkapan Bapak banyak hari ini. Bantu untuk menali karungnya buat Bapak bawa ke sepeda ya, mau langsung Bapak angkut ke pasar. Kamu dengan siapa?”
“Ini Fely, Pak”, sahut Darma.
Aku pun tersenyum sembari menganggukkan kepala ke arah ayah Darma dan ia membalasnya dengan senyuman pula.
“Wow,” teriakku spontan, karena melihat ikan sekarung saat Darma hendak menali karung tersebut. Ayahnya menyela sejenak dan mengambilkan aku satu kresek hitam besar ikan untuk kubawa pulang.
Ayahnya menggendong karung ikan ke atas punggungnya melewati tangga-tangga naik ke jembatan, lalu cepat-cepat menaikkannya ke sepeda bututnya yang diparkir di dekat jembatan. Rasa tanggung jawab yang besar sepertinya memberinya kekuatan berlipat ganda untuk dengan cepat tanpa merasa berat sekarung ikan yang ia bawa sendiri telah sampai di sepeda. Sambil mengayuh pelan, ia menyuruh Darma segera pulang, karena takut habis waktu shalat Maghrib.
“Ajak Fely makan Gami Bawis!” katanya.
Satu jam sejak kepergian ayahnya Darma, malam pun menjemput kebersamaan kami berdua. Sembari menunggu ayah menjemputku, tiba-tiba terdengar banyak jeritan: “Tolong, tolong, kebakaran!”
Dan ketika kami keluar rumah, pemandangan mengerikan terlihat di kanan, kiri, dan belakang rumah Darma yang telah dilalap si jago merah. Malam yang aku bayangkan akan menyenangkan, justru berubah menjadi kesedihan yang luar biasa, bagian belakang ruang Darma pun telah terlahap. Api menjalarnya sangat cepat, karena bakau kering di sekeliling rumah hampir menyatu dengan rumah kayu, sehingga dengan mudah dilahap oleh api.
Kami berdua ikut lari menjauhi api menuju rumah bibinya di gang sebelah tanpa berpikir membawa apa pun, bahkan tasku pun tertinggal di dalam rumah itu. Ketika kami telah keluar, hanya bisa melihat dari kejauhan rumah Darma bagian belakang telah dilahap api. Warga sekitar berusaha menolong semampunya, sedangkan persediaan air di masing-masing rumah tidak banyak. Air bersih untuk mandi pun harus membeli air jurigen dari kota.
Hampir 30 menit kebakaran itu terjadi, dan ayah Darma datang hampir berbarengan dengan ayahku menjemputku. Sebuah pemandangan yang memilukan. Sambil memegang sepedanya, ayah Darma justru teriak mencari Darma, bukan menyelamatkan barang-barang di rumahnya.
Aku langsung dibawa ayah tepat di tengah hiruk-pikuknya suasana kebakaran yang belum usai. Aku dipaksa pulang oleh ayah dan di tengah perjalanan aku melihat pemadam kebakaran telah membawa selang panjang mendekati rumah Darma. Aku pun menangis sepanjang jalan, namun sedikit lega karena api terlihat telah hampir padam dari kejauhan ketika aku menoleh ke belakang. Ayah sempat sedikit bernada marah kepada ayah Darma ketika menjemputku karena merasa takut terjadi sesuatu denganku.
Itulah masa SMP kami, yang sempat diwarnai dengan sedikit pilu. Lulus SMP, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Darma.
“Kamu harusnya tidak datang hari itu!” kata dia.
Seakan-akan kami kembali pada masa itu, sebuah kejadian yang akhirnya menjadi pengingat, betapa hal itu adalah pengikat persahabatan kami berdua.
Ayah Darma kini sudah meninggal. Tapi sebuah masalah berat kini menjerat Darma. Dia bercerita, sertifikat rumah peninggalan orang tuanya justru tergadaikan di bank oleh suaminya.
“Ulahnya tidak ada habisnya, dan tak tahu di mana keberadaannya sekarang. Anaknya saja tidak diurusnya.”
“Kamu tahu, rumah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Kalau tidak demi anakku Latifah, aku tak sudi bersama dia.”
“Kami akan bertahan melalui semua ini,” katanya tersenyum, saat melepasku setelah hari beranjak Maghrib. Ada kesungguhan dalam suaranya. Demi anak semata wayangnya, yang masih kelas 4 SD.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku tidak pernah lepas dari sahabatku itu. Aku merasa sedih sebagai sahabatnya, belum pernah aku sesedih ini dan aku belum dapat membalas kebaikannya.
Kebaikan mereka terhadapku kala itu, sungguh membuat pedih rasaku. Kebaikan mereka terhadapku, sepenggal kisahku dengan Darma dan ayahnya, membuatku meneteskan air mata tanpa kusadari.
Mataku tertuju pada tumpukan berkas di meja kerjaku, salah satu berkas yang tak bisa kulepas sejak 10 menit yang lalu adalah copy surat SP3 atas kredit macet sahabatku itu.
Dan sebentar lagi, aku mewakili bank tempatku bekerja akan mengadakan penyitaan aset rumahnya untuk diamankan sebagai jaminan kredit. Artinya, rumah Darma sebentar lagi akan menjadi milik bank, dan akan dipasang plang pemberitahuan bahwa rumah tersebut adalah milik bank. ***
.
.
—Sriningsih Hutomo lahir 28 Oktober 1984. Bekerja sebagai ASN sejak 2009 di SMAN 3 Bontang. Founder Ayo Kaltim Menulis, Ketua Forum Penulis Bontang Kalimantan Timur, anggota komunitas Penyair Perempuan Indonesia, anggota Jaring Penulis Kaltim, anggota Pustaka Bergerak Indonesia.
.
Plang untuk Rumah Darma. Plang untuk Rumah Darma. Plang untuk Rumah Darma. Plang untuk Rumah Darma.
Firo
Cerpen “Plang untuk Rumah Darma” sangat mirip dengan cerpen karya Aris Kurniawan Basuki yang berjudul “Seragam” yang di muat koran Kompas tahun 2012 lalu. Hanya nama dan jenis kelamin tokoh dan sedikit setting yang di ganti.
Hutomo Dwi
Latar belakang masyarakat Kaltim kental terlihat, kisah yang haru, sepertinya diangkat dari kisah nyata, seperti kejadian kebakaran disebuah wilayah yang jika dicek digoogle kejadian kebakarannya memang ada diBontang Kuala Kalimantan Timur