Cerpen Abyzada (Republika, 23 Oktober 2022)
SEGALANYA bermula dari Ahad pagi yang mengagetkan itu. Tanpa kabar terlebih dulu, Bapak muncul bersama Ibu. Meski menempuh perjalanan lebih dari delapan jam, kelelahan tak tampak di wajah mereka. Ibu langsung menyingkir ke halaman belakang, menyapa Leila, istriku, dan cucunya, dua anakku, Yasmin dan Yahya, sedangkan Bapak memilih duduk di ruang tengah bersamaku.
Di depanku, Bapak diam, mulanya. Bibirnya terkunci, tubuhnya terpaku. Hanya mata Bapak yang menatapku serupa burung hantu bertengger di pohon karet pada gelap malam. Aku jengah, direndam takut. Aku paham, apa yang ada di benak Bapak sehingga aku tak mengungkit kata. Bapak bicara akhirnya, menukik.
“Kamu terima tawaran Bapak?”
Aku tak tahu bagaimana menyikapi pertanyaan Bapak. Kalau aku terima, perkara selesai, Bapak senang. Tetapi, bila menolak, bisa-bisa Bapak menuduhku macam-macam. Bapak bahkan bisa mengata-ngataiku sebagai anak yang tidak lagi punya hormat, berani sama orang tua, atau semacamnya.
Jujur, batinku menolak tawaran Bapak. Tawaran itu akan merusak cita-cita yang aku rintis. Karena itu, dalam dua atau tiga hari belakangan, aku menghindar ketika Bapak menghubungi lewat ponsel. Suara, seperti “Pulanglah, Bapak perlu kamu”, atau “Kepada siapa lagi Bapak berharap kalau bukan kepada kamu?”, sengaja aku abaikan.
“Bagaimana? Kamu terima tidak, tawaran Bapak?”
Aku tersenyum kecut. Posisiku tersudut, tak kuasa bergerak ke depan ke belakang atau ke kiri ke kanan. Lidahku kelu, dirajam khawatir. Khawatir Bapak marah, khawatir Bapak tersinggung. Seperti arca yang tergeletak di pojok kompleks candi, aku tercenung. Sungguh, aku tak mampu berucap.
“Ya sudah kalau kamu menolak.”
Bapak paham posisiku. Tetapi, pernyataan Bapak yang diiringi dengan bangkitnya ia dari kursi yang diduduki dan pergi justru membuatku kian terombang-ambing. Apalagi setelah itu Bapak lebih banyak berdiam di kamar dan sorenya memaksa pulang. Meski Ibu dapat mencegah Bapak untuk menunda kepulangannya hingga esok hari, perasaan bersalah tetap menyelimutiku.
***
Leila keras membela Bapak. Di benak istriku hanya terpikir, siapa yang hendak mengasuh puluhan anak-anak penghafal Alquran yang kini tinggal di rumah belakang bila Bapak tidak ada nanti. Ibu? Tak mungkin. Jadi, Leila yakin, Bapak tidak sembarangan memintaku pulang. Bapak pasti memiliki alasan yang kuat.
“Bapak punya pengalaman segudang di medan dakwah. Separuh lebih usia Bapak dihabiskan di situ. Bapak paham, mana yang baik, mana yang buruk. Kalau Bapak meminta kita pulang, aku yakin, semua itu karena Bapak melihat ada yang tidak beres. Entah di sini, entah di sana,” dalih Leila.
Ibu senyum-senyum. Namun, aku mengerti arti senyum-senyumnya Ibu setelah ia membungkusnya dalam nada yang halus.
“Ibu senang kamu berhasil di sini, Ibu juga senang kamu pulang. Pikirkan masak-masak. Pokoknya, jangan remehkan Bapak.”
“Saya tidak meremehkan Bapak, Bu.”
“Kamu tidak meremehkan Bapak, tapi kamu meremehkan tawaran Bapak.”
Aku memang menolak halus tawaran Bapak untuk pulang. Aku menolak bukan karena membayangkan sulitnya jadi pendakwah di kampung di tengah terbatasnya sarana dan prasarana. Aku menolak juga bukan karena aku bingung menghidupi keluargaku nanti. Aku menolak karena aku melihat cahaya terang di balik peluh yang mengalir dari tubuhku sekarang ini.
Namun, Bapak tetap bersikeras. Sesudah makan malam, Bapak mengajak bicara lagi. Kali ini, ia ingin berbicara dari hati ke hati. Ketika mulai bicara, suara Bapak lirih, hampir tak terdengar. Selanjutnya, Bapak seumpama ombak.
“Bapak mungkin dianggap keliru memaksamu pulang. Tapi, Bapak tak menyesal. Bagi Bapak, usaha membawamu pulang sama saja dengan tugas yang Bapak emban selama ini, mengajak orang menuju jalan kebenaran.”
Aku tersindir, Bapak tak berhenti.
“Kamu boleh menertawakan Bapak. Namun, Bapak yakin, inilah jalan sebenarnya dakwah, jalan yang tidak diiming-imingi materi, tidak dibebani ketenaran, tidak dijejali kedudukan. Sekali lagi, Bapak berharap, pulang. Berdakwahlah di sana, di tempat kamu lahir. Siapa yang akan berdakwah di kampung-kampung kalau para dai dan mubaligh berebut Jakarta?”
Mata Bapak mencengkeram. Tapi, aku tak goyah. Bapak kecewa. Paginya, Bapak dan Ibu benar-benar kembali setelah usaha kerasnya memintaku pulang, gagal. Bapak tampak terburu-buru hingga melupakan kopiah berwarna hitam miliknya. Kopiah itu tergeletak di meja kamar sesaat Bapak keluar dan naik kendaraan.
***
Bapak mengalami kecelakaan, begitu kabar Ibu semalam, jelang dini hari. Tubuh Bapak terlempar ke tengah jalan setelah motor yang dikendarainya disenggol truk sehabis mengisi ceramah Maghrib di sebuah masjid. Bapak kini dirawat di rumah sakit dan dokter mengharuskan Bapak menjalani operasi akibat luka yang parah di kepala.
Paginya, bersama Leila dan anak-anak, aku pulang. Semua jadwal ceramah yang telah disusun terpaksa aku perbaiki. Untung, tampilan pertamaku di sebuah acara televisi sudah direkam kemarin dan siap ditayangkan. Kalau tidak, tentu rencana yang sudah aku buat untuk sekadar memberi kejutan kepada keluarga, termasuk Ibu-Bapak, bisa buyar.
Ya, namaku kini berkibar di Jakarta. Di jalan, nama dan fotoku bersanding dengan iklan produk minuman dan makanan, pakaian, dan perumahan. Aku kerap menjamu dan dijamu para jenderal, hakim, jaksa, pejabat pemerintahan, pengusaha, perusahaan bonafid, produser media, tokoh, atau utusan masyarakat yang hendak menghadirkanku.
Tidak hanya itu, aku juga mendirikan biro perjalanan ibadah haji dan umrah. Biro itu aku khususkan untuk orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah di Tanah Suci bersamaku. Aku yakin, dengan namaku yang berkibar, tak sulit untuk mengembangkan bisnis perjalanan ibadah haji dan umrah hingga membesar.
Jadi, terasa naif bila Bapak memintaku pulang. Sungguh, aku suka Jakarta. Jakarta memberiku segalanya. Nama, popularitas, kedudukan, uang. Aku bahkan telah menyiapkan jauh-jauh hari untuk bersaing bila wajah dai baru bermunculan. Aku paham, Jakarta keras. Siapa di atas disembah, siapa di bawah dijajah.
Malangnya, dadaku sering berdebar keras ketika mataku menancap pada kopiah hitam Bapak yang tertinggal itu. Entah bagaimana dan entah mengapa, aku melihat kopiah yang bentuknya mirip kapal terbalik itu seakan hidup. Ia seperti bermata. Sekali waktu, aku bahkan melihat kopiah itu menatap dengan pandangan yang mengancam.
Aku berkali-kali meminta Leila agar menyingkirkan kopiah hitam itu. Tapi, Leila berpikir lain. Ia malah meletakkan kopiah itu pada tiang gantungan yang berdiri gagah di pojok ruang tengah. Mau tak mau, setiap ke luar masuk rumah, aku selalu melihat kopiah itu.
Celakanya, kopiah itu menguntit ke manapun aku pergi. Ia muncul saat perkara genting dan penting. Ia hadir tatkala aku melakukan penandatanganan kerja sama safari dakwah dengan sebuah penyelenggara acara. Ia terlihat ketika aku asyik bernegosiasi untuk didaulat sebagai bintang iklan. Sungguh, kopiah hitam Bapak mengganggu hidupku.
“Bagaimana kondisi Bapak, Bu?” tanyaku kepada Ibu setelah kami tiba.
Ibu tak menjawab. Bibir Ibu bergetar. Tapi, mata Ibu tak menitikkan air mata. Ibu kehilangan air mata. Ibu lalu mengajakku menemui dokter jaga. Dari dokter jaga, aku memperoleh keterangan, kondisi Bapak belum stabil.
“Semoga beliau bisa melewati fase ini,” kata dokter jaga.
Ponsel di sakuku bergetar, tiba-tiba. Sebuah pesan muncul. Bersamaan itu seorang perawat masuk dengan wajah tegang dan membisikkan kata-kata di telinga dokter jaga. Dokter itu kaget. Ia buru-buru pergi bersama perawat itu setelah berpamitan.
Suasana sepi. Ibu dan aku hanya membisu. Aku memencet tombol ponselku untuk melihat pesan. Kabar dari produser televisi.
“Sebentar lagi, lihat di TV, Ustaz. Acara Ustaz ditayangkan. Semoga ayah Ustaz sembuh setelah menonton penampilan Ustaz.”
Aku tersenyum. Sungguh, ini kesempatan untuk membuktikan siapa aku sekarang. Kepada Ibu, istri, anak-anakku, dan terutama Bapak. Semua pasti senang melihat wajahku terpampang di televisi demi menggemakan kebenaran, ayat Tuhan, dan mewartakan jalan kebaikan. Tak sabar aku melihat. Dadaku bergetar, bangga.
Berbarengan dengan itu, pintu ruangan terbuka dan dokter jaga kembali masuk. Ia kemudian duduk dan berkata pendek.
“Maaf, Ibu. Tuhan ternyata punya kehendak lain.”
Ibu tertunduk, lemah. Aku berusaha setenang mungkin sembari menahan jatuhnya airmata. Tetapi, ketenanganku buyar ketika dari belakang muncul seseorang yang meletakkan kopiah tepat di kepalaku. Yahya bersama Yasmin dan istriku, Leila.
“Kopiah Eyang pas di kepala Ayah!” ***
.
.
Beringin Raya, 010/2022
Abyzada adalah seorang buruh media di Jakarta. Menghabiskan masa remaja di Jokja dan kini tinggal di Bogor. Pernah belajar di FISIP Universitas Indonesia. Beberapa karyanya, seperti puisi, esai, dan cerpen dimuat di media massa.
.
Kopiah Hitam Bapak.
Leave a Reply