Cerpen De Eka Putrakha (Haluan, 23 Oktober 2022)
“ABO tidak ingin wa’ang ikut bermain di luar. Ayo ambil wudu dan masuk ke dalam masjid!”
Hari ini, untuk pertama kalinya kakek menegurku menjelang masuknya waktu salat Jumat. Aku memanggilnya ‘abo’, sama seperti kebanyakan panggilan untuk para lelaki lanjut usia di kampung sepanjang tepian danau Maninjau ini.
Aku langsung menuruti apa yang dikatakannya. Bagaimana tidak, perawakannya yang tinggi dengan warna kulit sawo matang terkadang membuatku tak bernyali untuk membantahnya. Apalagi beliau seorang pensiunan polisi dengan suara berat yang khas dan terkesan tegas.
Dari tempat wudu kulihat abo telah lebih dulu memasuki masjid bersamaan dengan jamaah lainnya. Hal itu bukan berarti aku kembali melanjutkan bermain di luar bersama teman sebaya, sebab yang kutakutkan sepasang mata aboku menoleh ke arah saf belakang demi mencari keberadaanku nanti. Aku tidak ingin membuatnya marah, atau lebih tepatnya kecewa dengan cucunya.
Segera kuambil saf paling belakang. Tempat yang mungkin diperuntukkan untuk para bocah sepertiku, atau orang-orang dewasa yang membawa kemalasannya pergi jumatan. Buktinya, saf inilah yang sering dipilih untuk bersandar atau malah sampai ketiduran. Sementara para tetua sudah mengisi saf depan. Dan, aboku berada di antara orang-orang yang berada di bagian pertama itu. Tubuhnya yang jangkung dengan mudah kukenali, bahkan dari arah belakang sekali pun. Ditambah cara duduknya yang tegap dengan kepala yang jarang sekali ditundukkan. Tidak berapa lama dirinya menoleh ke belakang. Benar saja dugaanku, pandangan kami beradu dari kejauhan. Kulihat segaris senyuman mengambang dari wajahnya yang keriput itu.
Suara azan menggema. Jemaah semakin memenuhi setiap barisan saf walaupun terlihat jarang-jarang, disebabkan adanya yang masih memilih berada di luar masjid. Tidak saja anak-anak, bahkan orang-orang yang berumur. Kali ini kuusahakan serius mendengarkan khutbah Jumat sambil sesekali mataku beralih memerhatikan kekhusyukan abo di depan sana, ayah dari ibuku itu.
***
“Ada orang-orang tanpa kepala wa’ang lihat selama jumatan tadi?”
Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan abo yang tidak biasa itu. Sejenak aku menggeleng, pertanda aku tidak melihat dan juga tidak mengerti dengan pertanyaannya. Kembali mata kuliarkan guna mencari keberadaan sandal abo di antara tumpukan sandal jemaah lainnya.
“Maksud abo, hantu?”
Tiba-tiba abo tergelak mendengar jawabanku. Baru pertama kali juga kusaksikan abo tertawa begitu lepas, apalagi di tengah keramaian seperti ini. Ah, kebiasaan orang tua selalu mempermainkan pikiran anak kecil. Sungutku sejurus kemudian. Beberapa orang tampak menyapa abo dengan ramah sambil sesekali berbasa-basi menanyakanku adalah cucunya.
“Makanya kalau pergi salat jumat duduk di dalam, jangan keluyuran di luar! Nanti wa’ang akan melihat orang-orang tanpa kepala itu.” Simpul abo masih dengan wajah ceria melihat gelagatku yang kebingungan.
“Ini sandal abo sudah ketemu!”
***
Perihal ‘orang-orang tanpa kepala’ yang ditanyakan abo pada hari Jumat sepekan yang lalu membuatku memutar otak. Apa benar ada? Atau abo mempunyai ilmu batin untuk melihat hal-hal yang tidak kasat mata itu? Atau pula ilmu batin itu mulai diturunkannya padaku? Tiba-tiba bulu kudukku meremang dan merasakan kengerian jika apa yang dikatakan abo memang dapat kulihat.
“Hah, bamanuang tengah hari. Cepat ambil wudu dan lekas masuk masjid!”
Aku terperanjat saat telapak tangan abo meraih pundakku dan menepuknya dengan lembut.
“Baik, Abo. Tapi, apa benar ada orang-orang tanpa kepala itu?”
Rasa penasaranku memuncak. Pertanyaanku yang antusias hanya dibalas dengan senyuman mengambang.
“Lihat saja nanti di dalam masjid!”
Jawab abo singkat sambil menaruh sandalnya. Aku membalas senyum abo dengan perasaan yang penuh keraguan. Lekas aku mengambil wudu dan segera memasuki masjid, dengan harapan dapat membuktikan perkataan Abo. Walau dalam hati masih dihantui rasa takut kalau-kalau kedua mataku dapat menyaksikan ‘orang-orang tanpa kepala’ itu. Namun, perasaan takut itu telah terkalahkan dengan rasa penasaranku yang tidak dapat dibendung lagi.
Seperti biasa aku mengambil saf paling belakang. Sambil menunggu azan berkumandang terus kuperhatikan kekhusyukan Abo. Setelah masuk waktu salah, khutbah pun dimulai.
Sesekali suara keriuhan dari luar masih terdengar. Aku meyakini suasana seperti ini tidaklah disukai, terutama bagi para tetua yang ingin khusyuk beribadah. Kuperhatikan beberapa orang dengan sikap duduknya masing-masing. Mungkin saja riuh-rendah suara dari luar memaksa beberapa orang lebih menajamkan pendengarannya—bukan lantaran suara khatib tidak terdengar—hanya saja bunyi pengeras suara yang lantang langsung berbaur dengan keriuhan sehingga terdengar tidak jelas.
Terlihat segelintir orang sekadar mendengar tanpa peduli, jadi wajar saja banyak yang menekurkan kepalanya. Ada yang sambil memainkan jemarinya di atas sajadah atau beberapa orang yang mulai memainkan ponsel yang seakan tidak lepas dari tangannya.
***
Salat Jumat pun usai. Beberapa jamaah mulai berpencar meninggalkan masjid. Sementara kulihat Abo tengah serius bercakap dengan pengurus masjid.
“Hari ini begitu riuh dari biasanya. Belum lagi suara-suara dari telepon genggam yang lupa dimatikan.” Begitu keluh Abo yang kudengar dan juga beliau berpesan untuk dibuatkan semacam peringatan agar mematikan atau mensenyapkan alat yang tidak seharusnya dibawa beribadah itu.
Aku yakin sikap disiplin beliaulah yang memberanikan diri melayangkan keluhan dan masukan kepada pengurus masjid. Syukurnya apa yang disampaikan Abo diterima dengan baik, terlebih beliau juga disegani. Hanya saja kali ini Abo tidak lagi menanyakan perihal yang menjadi beban pikiranku selama ini atau, jangan-jangan beliau lupa karena lebih fokus pada obrolannya dengan pengurus masjid.
“Abo senang wa’ang sudah melaksanakan apa yang disuruh. Tetaplah datang awal waktu!” ucapnya sambil mengelus lembut rambutku. Lagi-lagi rasa penasaran tentang ‘orang-orang tanpa kepala’ masih bersarang dalam kepalaku. Mungkin di lain waktu akan kutanyakan kembali sebab sepertinya Abo tidak berkeinginan membahas hal ini sekarang.
***
Suatu ketika sempat kutanyakan pada ibu mengenai apa yang diucapkan abo. “Karena dari Abo dapat cerita itu, jadi seharusnya tanyakanlah pada beliau.”
Begitu jawaban ibu yang tidak begitu membantu. Bertanya pada Abo perihal “orang-orang tanpa kepala’ itu artinya sama saja Abo tetap menyuruhku ke masjid awal waktu dan mendengarkan khutbah selama jumatan berlangsung.
Salat Jumat kali ini sedikit lebih tenang dari biasanya. Imbauan pengurus masjid untuk segera memasuki masjid ketika masuknya waktu salat juga mematikan alat komunikasi menjadi cara yang cukup efektif. Hanya saja harus diakui masih saja ada segelintir orang memilih berada di luar masjid.
Para tetua lebih terlihat khusyuk, sementara orang-orang dewasa lainnya menunduk sibuk memainkan ponsel di tangan. Meskipun suaranya dimatikan, tetap saja ada yang kelupaan di saat salat berlangsung ada bunyi-bunyian yang mengganggu ketenangan.
“Suatu saat nanti wa’ang akan mengerti apa yang Abo maksudkan….”
Begitu jawaban Abo untuk kesekian kalinya kutanyakan perihal ‘orang-orang tanpa kepala’ itu. Rasanya sudah jenuh juga kutanyakan. Sementara yang menyita perhatianku adalah banyaknya jemaah yang tengah asyik memainkan ponsel di tangan di saat khutbah berlangsung.
Hal itu sangat terlihat jelas dari belakang, menekurkan kepala seolah mendengarkan khutbah dengan serius. Satu hal lagi, kepala mereka seakan hilang oleh pundak yang terlalu menunduk. Sekarang aku paham dengan apa yang Abo maksudkan selama ini. ***
.
.
DE EKA PUTRAKHA. Berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat. Profilnya dapat dibaca dalam buku “Ensiklopedi Penulis Indonesia jilid 6” FAM Indonesia. Tulisannya dimuat lebih dari 100 judul buku antologi serta berbagai media cetak dan online (Indonesia, Malaysia dan Brunei). Terpilih sebagai Pemenang 10 Resensi Terbaik “Resensi Buku Peringkat ASEAN 2020” anjuran Persatuan Penyair.
.
.
Leave a Reply