Oleh Eka Kurniawan (Jawa Pos, 22 Oktober 2022)
SATU pertanyaan konyol tiba-tiba mengusik pikiran saya. Jangan-jangan tak pernah ada anak kucing di cerpen Ernest Hemingway yang terkenal itu, Cat in the Rain. Membaca kembali cerpen tersebut, kecurigaan saya semakin menjadi-jadi.
Buat yang belum pernah membaca cerita tersebut, intinya ada sepasang suami istri Amerika di sebuah hotel. Si istri melihat ke jendela dan melihat anak kucing berlindung di bawah meja dari hujan. Ia ingin memungutnya, tapi ketika turun, kucing itu sudah tak ada di tempatnya.
Kucing itu kabur? Entahlah. Atau memang kucing itu tak pernah ada. Hanya si istri yang pernah melihatnya. Ia mungkin cuma mengarang-ngarang, ingin membunuh kebosanannya, berharap menarik perhatian suaminya yang sibuk golar-goler di kasur membaca.
Membaca cerpen, seperti menonton film atau melihat pameran lukisan, pada akhirnya memang memberi kita keleluasaan untuk memberinya tafsir macam-macam. Tentu saja saya bisa menunjukkan sejenis “bukti-bukti” bahwa itu memang tentang “mencari perhatian”.
Ketika si perempuan akhirnya tak mendapatkan kucing itu, ia kembali dan merajuk-rajuk. Aku ingin kucing, katanya. Keinginannya bertambah-tambah. Ia ingin memanjangkan rambut. Ia ingin makan ditemani lilin-lilin. Ia ingin pakaian baru.
Kucing itu, tampaknya, memang alasan saja. Keinginan-keinginannya yang lain bisa juga dibuat-buat.
Semakin terasa kontras ketika di akhir cerita, pemilik hotel menyuruh pelayan membawakannya seekor kucing. Memang bukan anak kucing yang tadi, tapi tetaplah seekor kucing. Pemilik hotel, tentu saja didorong untuk melayani tamu, lebih perhatian terhadap si perempuan dibandingkan si suami yang malah menyahutinya, “Diam, ambil sesuatu dan baca saja!”
Apakah tafsir saya atas cerpen tersebut benar? Saya bisa menjawab: belum tentu.
Belum tentu Hemingway bermaksud demikian. Belum tentu pembaca lain akan menangkap cerita tersebut persis seperti saya. Lagi pula, siapa tahu kucing itu memang ada dan si perempuan tidak mengarang-ngarang.
Kalaupun ada kebenaran di sana, itu hanyalah kebenaran subjektif. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa, ya benar, saya berpikir seperti itu ketika membaca Cat in the Rain. Tak hanya subjektif, bahkan bisa juga temporer.
Enam bulan dari sekarang, jika saya membaca ulang cerpen tersebut, tafsiran saya bisa saja berubah. Katakanlah, ternyata cerpen itu sedang bercerita tentang satu benda yang dilihat dengan cara yang berbeda oleh empat orang berlainan.
Si perempuan menganggap kucing sebagai objek hasratnya. Ia ingin menolong, ingin memiliki, ingin menyentuh dan memangkunya. Bagi sang suami, kucing merupakan benda remeh-temeh. Boleh ada boleh tidak.
Bagi si pemilik hotel, kucing jadi sejenis komoditas. Memang bukan dalam konteks bisa diperjualbelikan secara vulgar, tapi tetap bisa menjadi alat transaksi. Ia tahu kebutuhan konsumennya, dan ia bisa menyediakannya. Sementara bagi sang pelayan, kucing tak lebih dari bagian yang harus diurusnya sebagai bagian dari pekerjaan.
Manakah yang lebih mendekati kebenaran di antara dua tafsir atas cerpen tersebut? Tak ada. Keduanya boleh jadi cuma mengarang bebas. Seperti perasaan, keduanya benar di ruang dan waktu tertentu. Seperti hari ini saya senang melihat hujan, enam bulan kemudian bisa saja saya benci.
Sifat sastra yang demikian, atau bahkan seni secara umum, sering kali dilihat sebagian orang sebagai tak ada gunanya. Tak memberi kebenaran objektif. Buat apa membaca sastra, ujung-ujungnya kamu bisa mengoceh satu hal tentang bacaan itu, dan orang lain mengocehkan hal berbeda? Siapa yang bisa dipegang?
Ya, justru menurut saya memang itulah fungsinya. Alih-alih mencari kebenaran objektif seperti yang digaung-gaungkan pengetahuan ilmiah, sastra ingin menawarkan pengalaman subjektif. Yang terpenting bukan apakah kucing itu ada atau tidak (bisa dibuktikan), tapi apa pandangan orang per orang tentang kucing.
Sastra membuat kita memahami pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan, cara pandang yang berbeda-beda ini. Tak hanya kita belajar keragaman itu melalui karakter cerita, pikiran-pikiran para penulis, tapi juga melalui respons para pembacanya. Bahkan bisa membuat kita sadar, kita sendiri bisa berbeda di ruang dan waktu yang lain.
Tapi, menurut saya, selain pandangan bahwa sastra tak berguna, ada juga kekonyolan lain. Yakni dorongan sebaliknya, hasrat membawa pengalaman subjektif semacam ini sebagai kebenaran objektif. Ekstremnya bagaikan mengatakan cerpen Cat in the Rain adalah tentang seorang perempuan yang bosan dan cari perhatian, setiap pembaca “harus” melihatnya demikian.
Jika itu terjadi, tak hanya ilmu pengetahuan, dunia mungkin akan semakin ruwet. Akan ruwet karena saya bisa mengarang bebas: meja berkaki empat merupakan simbol kucing, dan itu kebenaran. Kita harus memperlakukan meja sebagaimana kita memperlakukan kucing. Kalau Anda tidak sepakat dengan saya, Anda anti kebenaran. Yuk, ribut, yuk. ***
.
.
Eka Kurniawan. Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016.
.
Pelajaran Mengarang Bebas. Pelajaran Mengarang Bebas. Pelajaran Mengarang Bebas.
Leave a Reply