Cerpen, Kompas, Kurnia Hadinata

Tatung

0
(0)

Ia menemukan sebuah kota/sebuah ruang tamu bagi leluhur/setiap orang memasang lampion/membuat altar di tubuhnya/ asap dupa membuka jalan/tetabuhan dimainkan/beras kuning ditaburkan/di atas vihara/angin bergulung/ [1].

Wajah kota San Khew Jong [2] sembab dihujat gerimis.

Lelaki bernama Lim Seo Ong itu berdiri di bingkai jendela. Sejurus tatapannya nanar. Di mata sipit itu tergambar banyak cerita hidup. Sesekali ia melepaskan pandangannya menyapu orang-orang lalu dan selanjutnya jatuh tercekik pada dinding losmen tua. Ia seperti terseret pada hari-hari berwarna dalam ratapan doa dan asap dupa yang menggulung di langit kuil. Pelan suasana kian tercelup pada indahnya pendar lampion yang tergantung di sepanjang gang kecil menuju kelenteng. Lim masih mematung.

Wajah kota kian tirus dalam gerimis. Tak terasa semuanya mengalir seiring air yang memenuhi pinggiran aspal, jalanan becek, dan terseok di pojok pada tembok pembatas jalan. Gerimis tidak meredupkan, namun sebaliknya membuat wajah kota itu kian hidup dan sibuk guna persiapan perayaan lima belas togel. Beberapa acara dan prosesi ritual akan digelar seperti atraksi naga, kilin, barongsai, dan parade para Tatung [3] dari berbagai Sinmiau [4]. Pada perayaan puncak, para Tatung akan berkumpul untuk melakukan puncak ritual sembahyang di altar yang sudah disiapkan. Selanjutnya mereka akan diarak menggunakan tandu yang beralaskan pedang tajam atau paku tajam keliling kota, sambil memamerkan atraksi debus dan kekebalan tubuh.

Lim menarik napas dalam, sedalam rabunya. Pikirannya melayang jauh ke langit yang kian kabur oleh jurai gerimis yang membentuk sebidang akuarel raksasa. Sungguh, tidak ada secuil pun amarah yang bersemedi di hatinya Ia tidak menyesali pekerjaan yang tak memberinya apa pun itu, bahkan harga mahal musti harus ditebusnya, ia harus kehilangan orang yang dicintainya. Sebab sudah kodrat baginya, kaum dan keluarganya secara turun-temurun untuk menjadi Tatung. Ia percaya roh para leluhurnya kelak akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih dari yang ada di dunia ini.

Masih segar di ingatannya peristiwa terburuk sewindu yang silam. Istrinya Sahati perempuan Melayu Banjar itu meninggal dalam sebuah musibah yang tak diduga-duga. Menjelang prosesi kelahiran anaknya itu, harusnya ia ada di samping Sahati, tetapi nyatanya tidak. Saat itu ia lebih memilih bersemedi dan menjalani ritual puasa dunia di kuil sebagai salah satu syarat menjadi Tatung.

Awalnya Sahati bersikukuh melarangnya sebab usia kandungannya sudah berat. Entah kenapa tiba-tiba saja Lim bersikeras juga. Selesai menyeruput sisa teh pahit kesukaannya, ia berangkat juga ke kuil. Hari naas itulah ia kehilangan istri berikut dengan anak yang di kandungnya. Perempuan itu jatuh terpeleset di belakang rumah hingga mengalami pendarahan hebat dan tak sadarkan diri. Esoknya seorang tetangga menemukan istrinya sudah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.

Baca juga  Rumah Tuhan

Ia seperti melihat istrinya tengah menghidangkannya menu sarapan pagi secangkir teh pahit pakai ampas, lalu tak lupa nasi dengan Mandai [8] kesukaannya. Raut wajah perempuan itu seperti nyata di pelupuk mata. Sekilas ia mengucek matanya dan kembali ke alam sadarnya. Ia sadar kalau perempuan itu telah pergi jauh meninggalkannya dalam kesendirian, tua dan menyepi di sini.

Sahati ia kenal di malam puncak perayaan Gawai Dayak Naik Dango [5] puluhan tahun silam. Ia seorang gadis pelayan toko kelontong milik seorang Teo-Chew [6] di Pasar Bawal [7]. Waktu itu ia tengah nikmati perayaan bersama beberapa gadis seusianya. Sebagai acara tahunan, banyak para muda-mudi memadati festival Naik Dango sekaligus berharap mendapatkan jodohnya di situ. Termasuk ia, umurnya sudah lebih dari cukup sebagai gadis yang hendak kawin. Di situlah mulanya mata bujang dan gadis itu bertatap, hati mereka berkata dan cinta mereka pun berlabuh.

Awal perjalanan rumah tangga mereka terasa indah meski dibalut kesederhanaan. Sahati selalu setia menemani Lim jika hendak bersembahyang ke kuil, memanjatkan doa-doa agar mereka cepat dikaruniai seorang anak. Sementara itu Lim juga selalu mengingatkan istrinya untuk selalu menjalankan sholat dan ikut berpuasa di kala Ramadhan datang. Perbedaan keyakinan tidak menyurutkan cinta mereka. Bagi sebahagian orang perbedaan menjadi jurang pemisah, namun tidak bagi Lim dan Sahati, perbedaan etnis dan keyakinan membuat mereka semakin harmonis dan indah dalam warna perbedaan dan kesederhanaan.

Wajah kota San Khew Jong semakin pucat disapa gerimis.

Kali ini perayaan Imlek kian berdenyut di kota itu. Orang-orang sibuk menghias rumahnya dengan aneka warna. Tidak saja warga Tionghoa, semua warga Dayak, Melayu, Minang, Bugis, Jawa, dan Arab ikut melebur dalam perayaan itu. Semuanya seperti menyatu dalam warna-warni keramahan dan kedamaian Imlek yang telah menjadi milik semua orang di kota itu.

Lampion menyala, cahayanya membias berlarian ke mana-mana. Jalan-jalan kecil ke kuil semakin semarak dengan aneka hiasan dan sorak-sorai gempita. Sejenak suasana seperti membawanya ke masa silam. Lim seperti melihat senyum Sahati di awal benih-benih cintanya bersemi. Di akhir minggu lelaki Hokkian itu selalu mengajak gadisnya itu bersepeda menikmati keindahan kota dengan ratusan kuilnya yang mempesona.

Baca juga  Epilog

“Kapan Abang akan berhenti menjadi Tatung?” ujar Sahati tiba-tiba. Sekilas ada rasa kuatir yang menyeruak dari wajahnya. Tidak sepatutnya pertanyaan itu diutarakan. Ia takut kalau lelaki di depannya itu tersinggung. Perempuan itu mempererat rangkulan tangannya di pinggang Lim.

Lim sejenak diam. Pandangannya jauh ke depan. Ia terus menjaga keseimbangan dan mengayuh sepeda tua itu. Mereka larut dalam warna lalu lintas jalanan yang sembab.

“Selagi roh para leluhur Abang masih membutuhkan, selagi Abang masih sanggup, Abang akan terus menjadi Tatung,” napasnya sengau.

“Abang harap kau mau menerima Abang apa adanya termasuk itu.”

“Maksud Abang menjadi Tatung?”

“Ya, karena Abang sudah lebih dahulu jatuh cinta dengan Tatung, jauh sebelum Abang bertemu engkau. Abang harap kau bisa memahaminya!” perempuan itu tidak menjawab. Ia lebih menguatkan lagi pegangannya pada lingkar pinggang lelaki itu. Cintanya kiat berlipat.

Gerimis memutihkan langit. Dua sejoli itu kian larut dalam wajah kota yang tergadai. Sahati lagi-lagi hanya diam. Ia sudah maklum dan harus menerima bahwa cinta lelakinya itu memang sudah terlebih dahulu terpaut dengan Tatung sebelum cintanya berlabuh.

Lim benar-benar jatuh cinta dengan San Khew Jong dengan lanskap yang tersungkur di setiap dinding-dinding toko tua milik pedagang China dengan aneka ornamennya. Bahwa lelakinya itu telah terlebih dahulu cinta dengan setiap jengkal kesibukan di Bawal, orang lalu-lalang, aroma asap Bak-Pao, Cap-Cai berpadu dengan nasi padang atau aneka kuliner khas Kalimantan lainnya. Ia juga telah terlebih dahulu menambatkan pilihan hidupnya dengan menjadi Tatung. Melalui Tatunglah ia dapat bercakap-cakap dengan arwah leluhurnya, menjenguk masa lalu kaum keluarganya.

Dulu ayahnya juga seorang Tatung. Lim adalah anak seorang Tatung yang disegani di kota itu. Buyutnya seorang keturunan koloni penambang emas suku Hakka dari daratan Tiongkok yang hendak menuju Monterado. Mereka memutuskan untuk menetap di San Khew Jong karena keindahan alam dan kesuburan tanah kota itu. Sebahagian dari mereka kawin dengan warga setempat hingga berbaur dan bahu-membahu membangun sebuah kota nan indah dikelilingi altar bukit-bukit, sungai dan hamparan pantai. Namun demikian mereka tidak lupa dan tetap mempertahankan tradisi dan keyakinan dari tanah leluhur.

“Ingat Lim kita tidak boleh tercabut dari akar budaya kita. Walaupun tanah nenek moyang kita jauh dari seberang lautan sana, namun inilah sekarang tanah kita, kampung halaman kita, inilah sekarang budaya kita, darah dan nadi kita, negeri kita di tanah Borneo ini,” ujar Ayahnya suatu hari, ketika usai menjadi Tatung setelah perhelatan Cap Go Meh selesai.

Baca juga  Doa Arwah

Kata-kata ayahnya itulah yang menyulutkan semangatnya untuk menjadi Tatung. Pada akhirnya memang Lim telah menjatuhkan pilihannya. Ia telah melanjutkan jalan yang telah ditempuh oleh ayahnya itu.

Wajah kota San Khew Jong pias dielus gerimis yang menjelma hujan.

Lim masih membungkam di jendela. Angin semilir berhembus menusuk tulang. Dari ujung jalan samar-samar ia melihat istrinya tengah tersenyum sambil melambaikan tangannya. Hujan membuat semuanya terlihat kabur. Ia mengusap matanya. Bermimpikah ia? Benarkah itu Sahati?

“Sahati… Sahati!” teriak Lim setengah langis. Secepat kilat tubuh lelaki itu berlari menembus hujan menuju ujung jalan itu. Sesampai di sana ia tak menemukan apa-apa, ya hanya hujan yang kian lebat. Ia sadar dalam napas yang sengal, kalau ia tengah berhalusinasi. Sahati memang telah pergi jauh. Ia hanya memelihara angannya sendiri. Dengan gontai Lim membalikkan tubuhnya lalu kembali ke rumah. Perasaannya hampa, tubuhnya pasi dipalut air hujan.

Wajah kota San Khew Jong tergadai dalam serinai hujan.

Esok Lim akan memulai lagi prosesi itu. Perayaan tahun ini kembali memanggilnya. Jauh di lubuk hatinya Ia berharap ritual Tatung akan mempertemukannya dengan Sahati. Pelan hujan masih setia membayangi sesuatu yang tumbuh dan tergenang. Di sinilah ia membuat altar di tubuhnya/langit turun memberi restu/mempersilakan setiap tubuh/Ia biarkan roh leluhur turun meminta badannya. ***

Catatan kaki

[1] Puisi Ahda Imran dengan judul Singkawang.

[2] San Khew Jong, bahasa Hakka kota Singkawang.

[3] Tatung adalah prosesi penyediaan tubuh untuk dimasuki oleh roh orang dari zaman lampau.

[4] Sinmiau merupakan kata lain dari kelenteng.

[5] Upacara Naik Dango adalah kegiatan ritual syukuran hasil panen pada masyarakat Dayak.

[6] Teo-chew adalah salah satu suku China yang menetap di Singkawang.

[7] Bawal merupakan nama jalan di Singkawang.

[8] Mandai, masakan khas Kalimantan Selatan yang terdiri atas daging cempedak yang dibumbui.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!