Cerpen Ahimsa Marga (Kompas, 06 November 2022)
AKU tidak tahu kapan persisnya dia memasuki hidupku. Pada suatu hari bertahun-tahun lalu, setelah nyekar menjelang nyadran, aku mendapatinya duduk di amben di sudut ruang tamu rumah ibuku.
“Budhe, ini Mbah Diman,” ujar Pardi, anak tetangga yang dianggap mendiang ibuku sebagai cucunya. Aku menitipkan rumah ibu kepada Pardi dan keluarganya, untuk dijaga dan dirawat. “Saya minta maaf, lancang, tidak bilang sama Budhe dulu. Tapi boleh ya Mbah Diman tinggal di sini sekalian jaga rumah.”
Tubuh tua itu sedikit membungkuk, lalu kedua telapak tangannya ditangkupkan, memandangku dengan tatapan teduh.
Menurut Pardi, diizinkan tinggal di rumah itu adalah berkah bagi Mbah Diman, setelah beberapa tahun harus pindah dari tempat satu ke tempat lain di rumah-rumah mereka yang katanya kerabat. Ketika tak ada lagi yang mau menampungnya, Mbah Diman tidur di pos-pos ronda. Tapi bagiku, kehadirannya adalah berkah. Kuyakini tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
Mbah Diman berusia lebih 70 tahun, berperawakan kecil. Tubuhnya hampir tak berdaging, hanya kulit berbalut tulang. Meski demikian, dia terlihat sehat, wajahnya segar dan selalu terseyum. Dia hidup sendiri.
Aku tidak tahu bagaimana dan mengapa nasib melemparnya sedemikian keras. Tapi dari selentingan, dan kemudian secara sepintas-sepintas kudengar langsung, Mbah Diman menghuni beberapa penjara sejak tahun 1968. Dia memang tidak sampai dilempar ke Pulau Buru, tetapi kondisi penjara di mana pun waktu itu, untuk tahanan politik seperti dia, tetaplah jahanam.
***
Mbah Diman terlihat senang kalau aku datang, dan selalu mengucapkan terima kasih karena mau menjenguknya. Padahal aku cuma mampir dan tak ingin berlama-lama.
Tapi yang aneh, sejak dia tinggal di situ, rumah tampak bersih, mungkin memang dibersihkan setiap hari, tetapi juga karena sesuatu yang aku tidak tahu. Suasana rumah ibu yang semula dingin, muram, sekarang terasa lebih hangat, lebih bersenyum.
Mbah Diman berbicara dalam bahasa krama halus, atau krama inggil, kadang ngoko halus atau ngoko inggil, leksikon bahasa yang digunakan dalam strata sosial masyarakat tradisional Jawa untuk menghargai lawan bicaranya.
Suatu hari dia memberitahu, “Ndhuk, Mbah sering membersihkan kamar ibumu. Boleh kan….”
Ah… betapa lamanya tak pernah kusentuh kamar itu.
“Mbah berani masuk kamar itu karena ibumu yang minta kamarnya dibersihkan,” sambungnya sebelum sempat kujawab.
Aku tertegun.
Kupandangi wajahnya dengan mata berkaca-kaca, bukan karena urusan kamar ibu, tetapi karena dari wajah itu aku melihat kilasan gambar tentang hidupnya.
Dia seperti membaca pikiranku.
“Mbah tidak apa-apa, Ndhuk. Terimakasih sekali sudah boleh numpang di sini.”
Dia melanjutkan, “Hidup ini cuma harus dijalani, tidak usah banyak tanya karena banyak hal tidak butuh jawaban.”
Aaah… aku seperti mendengar suara ibuku.
Tapi aku bergeming, malah terus berusaha memenuhi rasa ingin tahuku.
“Mbah tidak marah pada nasib? Tidak benci pada mereka yang jahat pada Mbah?”
“Lha buat apa, Ndhuk…,” jawabnya, terkesan ringan dengan nada suara rendah. “Wong nandur, ngundhuh, utang, mbayar.” Yang menanam, menuai, yang utang harus bayar, katanya. “Mungkin, entah kapan, Mbah juga pernah nandur barang jelek, pernah utang tapi ngemplang, enggak pernah bayar… Semua harus dibayar, Ndhuk, kapan pun waktunya.”
Dia terkekeh….
Dialog kami tak langsung menyentuh masa lalunya, tetapi justru memasuki wilayah kedalaman dari berbagai peristiwa yang menguras seluruh dirinya, hingga tak satu pun tanya tersisa. Aku tak mau menyinggung derita fisik dan jiwa yang dia terima selama di penjara. Aku sudah membaca dan mendengar banyak hal tentang itu dari berbagai sumber.
“Mbah sedih?”
Pertanyaan tolol itu, entah kenapa, meluncur begitu saja dari mulutku.
“Senang-susah itu hanya istilah, Ndhuk. Seperti pagi dan sore, fajar dan senja, panas dingin… semua itu kelengkapan hidup, terus berputar, tidak ada yang tetap. Semua hanya ada pada satu kedipan mata. Jadi, mau direndahkan, dihina, dicerca, ibaratnya dilempar kotoran, ya wis, tak tampa wae, saya terima saja. Mbah hanya menjalani yang harus dijalani. Tidak kurang, tidak lebih.”
***
Entah mulai kapan terbersit keinginan untuk selalu menjumpainya. Secara perlahan, aku merasa menemukan ibuku dalam sosok renta itu.
Meski dadaku selalu berpasir setiap kali menyimaknya, mata batinku semakin terang benderang.
Tak pernah kutanyakan padanya tentang kehidupan pribadinya. Namun, menilik tata krama dan olah kata yang digunakan, tak sulit menengarai, dia bukan orang biasa.
Pernah suatu saat, tanpa memberitahu, aku datang begitu saja. Ketika wajah sejuk itu muncul dari balik pintu, kudengar denting piano dari sepotong Spring Waltz-nya Chopin, sebelum dia buru-buru minta izin masuk ke kamarnya, dan… musik lembut itu segera disapu denyut sepi di ruang tamu.
“Kok dimatikan Mbah? Saya suka….”
Mbah Diman hanya tersenyum.
Saat itu, entah mengapa, dia mau berkisah tentang pengalamannya menjadi tukang sapu halaman di sebuah biara tua. Seorang romo mengajaknya bekerja di situ dan memberinya tempat tinggal karena Mbah Diman tidak tahu harus pergi ke mana setelah menyelesaikan ‘hukuman’ tanpa pengadilan itu. Dia tidak mau kedatangannya menjadi bahaya bagi keluarganya.
“Cukup lama, Ndhuk,” gumamnya, ketika kutanya berapa lama dia bekerja di sana. Kubiarkan telingaku menangkap gema dari derak seikat lidi yang menyentuh tanah, menyapu daun-daun kering yang terus berguguran dari pohon-pohon besar.
Mbah Diman dengan tekun melakukan pekerjaan itu dari hari ke hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun; seperti menjalani meditasi panjang tanpa jeda dalam lelaku. Bagi dia, waktu bukanlah hitungan, atau pagar pembeda kemarin dan sekarang, tetapi langkah.
Mbah Diman hidup dari bekerja membantu orang-orang yang membutuhkan tenaganya. Dia tak pernah minta bayaran, tetapi banyak tetangga mengiriminya ubi kayu, gembili, kimpul, karena Mbah Diman hanya makan umbi-umbian dan dedaunan tanpa garam. Dia tidak merokok, tidak minum kopi, teh, gula, hanya air panas. Dia jengah ketika kusebut pilihan itu sebagai ‘puasa’ atau ‘tirakat’.
“Cuma kebiasaan, Ndhuk. Ngleremaken ingkang wonten ngriki,” ujarnya sambil menaruh kedua telapak tangannya ke dada. Menenangkan yang di dalam sini, katanya.
Aaahhh… ternyata ‘perang besar’ itu terus berlangsung di dalam dirinya entah sudah berapa puluh tahun. Aku tak mampu merabanya lebih jauh.
Semalam aku bermimpi, menjumpainya di suatu padang yang sangat lapang.
Dia tampak segar. Wajahnya bersih, berseri. Aku lupa dia bicara apa, kecuali, “Ndhuk, gaman hidup ini hanyalah tekad untuk terus berjalan ke depan, menempatkan yang sudah lewat, di belakang. Ilmunya pasrah, berserah. Mantranya keadilan dari Sang Pemberi Hidup, Pangeran Ingkang Paring Gesang.” **)
Sebuah kereta sudah menunggunya.
“Terimakasih sekali sudah bersedia menampung Simbah. Simbah berangkat ya. Andum slamet, Ndhuk….”
Kereta melesat. Aku tergeragab bangun, subuh. Mataku basah.
Selama beberapa pekan ini tak kudengar kabar Mbah Diman. Semoga dia baik-baik saja. “Bulan depan aku datang, Mbah…,” bisikku.
Pagi itu, seperti biasa, kubuka Whatsapp.
Dari Pardi, “Budhe, Mbah Diman sampun kondur, semalam, pukul 23.55.” ***
.
.
Tangerang Selatan, 14 Oktober 2022
.
Catatan:
*) Judul ini terinsipirasi oleh Mazmur Tanggapan Kitab Ayub
Nyadran, ritual menjelang puasa dalam tradisi Jawa
Ndhuk adalah panggilan dari orang tua kepada anak atau cucu yang dikasihi
**) Diadaptasi dari piwulang RM Sosrokartono
.
.
Ahimsa Marga adalah Maria Hartiningsih, wartawan senior yang pada masanya dikenal gigih memperjuangkan hak asasi manusia, terutama bagi anak, perempuan, dan kelompok yang dimarjinalkan. Tahun 2003, ia menerima penghargaan Yap Thiam Hien, sebuah penghargaan di bidang edukasi HAM yang pertama diterima oleh wartawan di Indonesia.
Laksmi Shitaresmi. Lahir di Yogyakarta, 9 Mei 1974, aktif pameran di dalam dan luar negeri sejak masih usia remaja hingga sekarang. Pameran pertama kali tahun 1988 di Jepang dan Chile. Mengenyam pendidikan di ISI Yogyakarta Fakultas Seni Rupa & Desain, UGM Yogyakarta dan Pascasarjana ISI Yogyakarta. Pameran tunggal sebanyak 14 kali berupa karya lukis, patung, instalasi, video. Selama 5 tahun terakhir ini aktif workshop dan riset limbah sampah plastik.
.
Mbah Diman Terbang Bersayap Malam. Mbah Diman Terbang Bersayap Malam. Mbah Diman Terbang Bersayap Malam.
2,857 total views, 1 views today
Leave a Reply