Cerpen, Jawa Pos, Sunlie Thomas Alexander

Rumah Arwah

Rumah Arwah - Cerpen Sunlie Thomas Alexander

Rumah Arwah ilustrasi Budiono/Jawa Pos

4
(1)

Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Jawa Pos, 05 November 2022)

KEBAKARAN tengah malam di Jalan Panji itu hanya meludeskan sebuah rumah. Rumah tua milik mendiang Li Min Fuk yang ditempati oleh putra bungsunya, Li Jun Loi. Padahal jarak rumah kayu yang sudah berusia ratusan tahun itu dengan rumah tetangga di kiri-kanan cukup dekat, bahkan hampir berdempetan.

Api berkobar begitu besar, dengan rakus melahap bangunan yang dinding, tiang, dan rengnya telah banyak digerogoti rayap itu, sehingga dalam waktu singkat rumah itu pun ambruk. Orang-orang yang terbangun oleh jeritan hanya bisa terperangah melihat api mengamuk. Sebagian berlarian panik menenteng ember-ember kosong. Mobil pemadam kebakaran baru muncul menjelang dini hari, dan seperti biasa tak ada gunanya.

“Syukurlah Jun Loi selamat,” kata para tetangga. Ketika ditemukan kali pertama oleh orang-orang saat kepanikan mereda, ia sedang duduk di bangku teras warung otak-otak Kai Kung yang tertutup rapat—tiga rumah dari puing-puing rumah warisan orang tuanya—sambil mengunyah sepotong roti. Di sampingnya, di atas bangku panjang, tergeletak sebuah koper usang.

Tak ada yang menduga kalau kebakaran itu berawal dari mimpi.

***

Li Jun Loi bukanlah orang yang percaya pada mimpi. Bahkan di zaman kejayaan KSOB sampai SDSB, ketika hampir semua orang di kota kecamatan kecil itu saban hari sibuk mencari petunjuk dari buku Tafsir Mimpi, ia hanya percaya pada teori kemungkinan. Memang beberapa kali nomor yang ia pasang keluar dua atau tiga angka, tetapi itu sama sekali tak ada hubungannya dengan mimpi siapa pun. Malah ia lebih menganggap itu sebagai semata-mata keberuntungan ketimbang hasil dari usahanya mengutak-atik angka semalaman dengan sempoa.

Karena itu ia mencoba mengabaikan mimpinya bertemu dengan Li Min Fuk sang ayah selama tiga malam berturut-turut. Mimpi bertemu dengan orang tua yang sudah meninggal bukanlah hal yang luar biasa, banyak orang juga mengalami mimpi seperti itu, pikirnya. Mimpi tetap mimpi, hanya bunga tidur, meskipun orang-orang yang dikenalnya kerap mengaitkan mimpi seperti itu dengan rasa kangen. Demikian ia menyimpulkan dan pada malam keempat, kelima, dan keenam ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa bermimpi apa pun. Ia lega. Badannya terasa lebih segar saat berangkat ke pasar untuk berjualan ikan pagi-pagi. Terus terang mimpi itu tidak mengenakkan baginya.

Waktu lelaki itu meninggal dunia pada usia 82 tahun, ia belum lama tamat SMA. Belum juga bisa menghasilkan uang, justru menghabiskan banyak uang Li Min Fuk yang sempat jaya sebagai agen minyak tanah untuk berjudi dari rumah ke rumah bersama teman-temannya. Namun ketika terjaga selama tiga malam menunggui jenazah sang ayah yang terbaring kaku dalam perahu merah alias peti mati, ia menangis dan berjanji kepada dirinya sendiri takkan berjudi lagi sebelum mampu bisa menghasilkan uangnya sendiri. Kurang lebih dua minggu setelah peringatan setahun kematian Li Min Fuk, bersama A Kong teman karibnya sejak kecil ia pun hengkang dari kota kelahirannya.

Tetapi kisah sukses di Jakarta baginya memang seperti sebuah mimpi. Pada tahun pertama merantau, ia telah berpindah tempat kerja tiga kali. Tak ada satu pun pekerjaan yang cocok ia lakoni. Mulai pekerja pemasangan baja ringan, pengawai toko roti, sampai sales onderdil mobil. Yang terakhir ia bahkan tak berhasil mencari satu pelanggan baru pun. Pada tahun kedua setelah kehabisan uang untuk makan dan membayar kos, kakak ketiganya yang bekerja sebagai kepala gudang di perusahaan distributor cat kemudian menawarinya menjadi penjaga gudang. Awalnya semua berjalan dengan baik, ia cukup betah dengan pekerjaan tersebut karena tak membutuhkan keahlian pertukangan maupun kecakapan bicara. Tetapi suatu malam bersama seorang penjaga lain, ia nyaris membakar gudang cat itu dengan api puntung rokok akibat terlalu larut bertaruh domino sambil menegak anggur KTI.

Baca juga  “Pakiah” dari Pariangan

Tentu saja ia dan kawannya itu langsung dipecat secara tidak terhormat. Sang kakak yang menerima teguran keras dari atasan bukan saja mengusirnya dari rumah dan mencaci makinya habis-habisan, tetapi juga bersumpah takkan pernah membantunya lagi. Yang membuat Li Jun Loi semakin sakit hati adalah umpatan “thai ngong ku tak terobati” dari mulut kakak iparnya yang biasanya selalu bersikap lembut kepadanya. “Untung kau tidak diseret ke penjara!” bentak si kakak ipar. Akibat insiden itu, kakak ketiganya mesti mengganti separo kerugian perusahaan.

Selepas kejadian, Jun Loi masih mencoba bertahan selama lima bulan di Jakarta dengan membantu kakak sepupu temannya A Kong berjualan mi Bangka; sekadar mencuci mangkuk-piring dan menghidangkan mi ke meja pemesan. Saat itulah, pada suatu sore di warung mi, ia bertemu dengan seorang tetangga lamanya.

“Sudah berapa lama kau tak pulang?” begitulah awal obrolan, sekadar basa-basi pada mulanya lalu berkembang ke arah yang lebih serius. Dan Li Jun Loi pun berkeluh kesah tentang kesialan-kesialannya dalam pekerjaan. Si tetangga yang ia panggil A Khiu atau Paman mendesah kecil lalu menghabiskan kuah minya di mangkuk.

“Kita orang China percaya bahwa arwah orang-orang yang sudah mati, orang tua dan para leluhur akan selalu menjaga dan mendoakan kita selama kita masih mengingat mereka dan menunaikan kewajiban kita sebagai anak-cucu,” kata tetangganya itu sambil menatapnya. “Jika aku tak salah ingat, di rumahmu ada altar leluhur kan? Sekarang siapa yang membakar dupa?”

Jun Loi tidak menjawab, hanya merunduk menekuri meja warung. Itu sebulan sebelum perayaan Chin Min. Umurnya ketika itu baru 25 tahun.

***

Ia tidak menangis tetapi tak bisa menahan kemarahan kepada dirinya sendiri maupun saudara-saudaranya saat membersihkan makam ayah, ibu, dan kakek-neneknya. Betapa tidak, makam-makam itu benar-benar tak terurus, ditumbuhi oleh semak belukar lebat dan berlumut. Bahkan makam ayahnya yang baru sekitar lima tahun dibangun tak ubahnya sebuah makam tua. Tidak seperti makam-makam lainnya di kompleks Pemakaman Kung Bu Jan itu, yang tampak terawat baik dengan marmer mengilap dan huruf-huruf Hanyu berkilau.

Menyambut tibanya hari raya Chin Min yang bermakna bersih dan terang, ia pun menggunakan seluruh uang hasil kerjanya di Jakarta yang tak seberapa untuk membeli sesajen sembahyang kubur. Dan ia masih ingat betul bagaimana subuh itu, di tengah nyala ribuan lilin merah dan kepulan asap dupa Pemakaman Kung Bu Jan, ia menjura di depan makam ayah-ibu dan kakek-neneknya dengan perasaan seorang anak hilang. Tetap tak ada air mata yang meleleh, tetapi dadanya terasa begitu sesak.

Tak satu pun dari kakak-kakaknya yang mudik untuk sekadar melaksanakan bakti setahun sekali sebagai anak-cucu itu. Tak seperti para tetangga dan teman-temannya yang saban tahun hampir tidak pernah lalai pulang berziarah. Ia tak berani menghubungi kakak ketiganya yang pernah mengusirnya.

“Pendeta melarang kami sembahyang dengan dupa dan sesajen. Kalau kami mengirimimu uang untuk sembahyang Chin Min berarti kami menyetujui hal itu,” ujar kakak keduanya di telepon. Hanya kakak perempuannya di Palembang, kakak sulung yang ia panggil Thai Ce, yang menitipkan amplop untuknya lewat seorang tetangga yang mudik untuk membeli lilin, dupa, dan uang-uang arwah. Toh, alasan yang diberikan oleh Thai Ce sama saja dengan kakak keduanya: “Maaf, kami Kristen, tak bisa ikut sembahyang kubur. Kami hanya bisa mendoakan mama dan papa.”

Di sejumlah makam ia melihat buket dan taburan bunga dengan lilin-lilin putih, tanpa sesajen dan asap dupa. Setidaknya mereka mau pulang untuk meletakkan kembang, pikir Jun Loi. Jelas sudah baginya bahwa ketiga kakaknya juga tidak bakal peduli pada altar leluhur yang bertahun-tahun dipelihara oleh mendiang ayah mereka di rumah. Karena itulah selepas Chin Min, ia memutuskan untuk tak lagi kembali ke Jakarta.

Baca juga  Ikan yang Lupa Jalan Pulang

“Biarlah aku tungguin rumah tua ayahku saja. Meski sulit untuk kaya, aku tidak bakal kelaparan di kampung halaman sendiri. Dupa-dupa di altar itu mesti terus menyala. Aku tidak mau jadi anak-cucu durhaka,” ujarnya kepada A Kong menatapnya dengan pandangan kasihan.

Ya, dari empat bersaudara hanya ia satu-satunya yang tidak tertarik masuk Kristen maupun Katolik. Padahal sejak SD ia disekolahkan di sekolah pastor.

“Semua gara-gara Fa Liung!” teriak Li Min Fuk gusar ketika Li Jun Hiung putra keduanya enggan memegang dupa di depan meja sembahyang pada hari raya Chit Ngiat Pan setelah beberapa kali diajak nyanyi-nyanyi oleh Fa Liung di gereja. Itu nama ayah Fa Khin teman sekelas Jun Hiung, seorang pendeta Protestan yang rajin membagikan sembako dan buku Yesus di perkampungan China di Parit-Parit.

Jun Loi sudah tak ingat persis bagaimana ketiga kakaknya itu satu per satu dibaptis oleh Pendeta Fa Liung. Saat itu ibunya masih hidup dan berusaha keras menenangkan ayahnya yang naik pitam. Tak lama kemudian terjadi ribut-ribut antargereja, konon diduga ada perebutan jemaat. Beberapa keluarga China yang kurang mampu ketahuan mengikuti kebaktian di dua gereja yang berbeda secara bergantian.

Thai Ce pernah mencoba membujuknya ikut dibaptis di gereja Pendeta Fa Liung, namun ia bergeming. Ia juga tak berkenan masuk Katolik meskipun ikut berdoa Bapa Kami dan Salam Maria setiap hari di sekolah. Ibunya sebetulnya tak keberatan jika ia menjadi Katolik karena pastor—seperti kata seorang bibinya yang Katolik—menghargai tradisi orang China dan tidak melarang orang bersembahyang untuk leluhur dengan dupa dan sesajen.

Toh, Jun Loi lebih tertarik pada kesaktian Nacha, Sun Gokong, Erl Lang, dan dewa-dewa China lainnya ketimbang penebusan Kristus. Ayah A Kong temannya adalah seorang Thung Se, perantara dewa yang melakoni ritual tatung, pandai bercerita dan mengisahkan kepadanya banyak cerita tentang dewa-dewa itu.

“Kalau saja dulu Fung Siu Chion berhasil mendirikan Taiping Tianguo, habislah sudah kita!” tukas ayahnya penuh kemarahan. Ketika itu ia belum tahu siapa Fung Siu Chion dan apa itu Negara Langit Taiping yang memberontak melawan Dinasti Qing untuk mendirikan negara China Kristen.

***

Lelaki tua itu kembali datang kepada Jun Loi pada malam ketujuh. Masih mengenakan setelan pakaian yang dibakarkan untuknya pada perayaan Chit Ngiat Pan tahun lalu seperti pada kedatangan sebelumnya. Sedikit berbau arak, mungkin itu sisa dari dua botol arak yang dituangkan oleh Jun Loi ke makamnya menjelang perayaan Tahun Baru Imlek.

“Papa?” Li Jun Loi terkejut saat melihat orang tua itu berdiri di sisi tempat tidurnya. Terburu-buru ia bangkit dari pembaringan dan mendapati orang tua itu sudah duduk di kursi kayu di depan meja kamarnya. Sebelum sosok Li Min Fuk membuka mulut pun, ia sudah tahu apa yang hendak dikatakan mendiang ayahnya itu. Dan benar saja perkiraannya, seperti yang sudah-sudah lelaki tua itu mengeluhkan makamnya yang tak pernah dipugar.

“Sudah bertahun-tahun aku mati, tapi kalian tak kunjung memperbaiki makamku, juga makam ibu kalian. Atau, tidakkah kalian bisa kirimkan untuk kami sebuah rumah arwah seperti yang dilakukan anak-anak orang lain? Yang kami terima darimu setiap tahun hanyalah pakaian kertas murahan dan uang arwah yang tak seberapa. Malu aku punya anak-anak seperti kau dan kakak-kakakmu!” kata orang mati itu dingin.

Jun Loi hendak membuka mulut untuk menjelaskan bahwa ia tak pernah memiliki uang yang cukup, bahwa penghasilannya mengambil upah berjualan ikan di pasar hanya pas-pasan untuk hidup, dan bahwa ketiga kakaknya sudah tak peduli pada tradisi orang China. Atau, hendak pula ia menanyakan apakah lelaki tua itu sudah mengunjungi anak-anaknya yang lain dan mengeluhkan hal yang sama? Namun seperti yang lalu-lalu, sebelum ia berhasil mengeluarkan sepatah kata pun, orang mati itu telah lenyap tak berbekas dan ia terbangun dari mimpinya dengan sekujur tubuh ngilu. Yang tersisa samar-samar di kamar tidurnya yang pengap itu hanyalah aroma arak.

Baca juga  Tersandar di Sialang Pasung

Begitulah, semenjak malam itu mendiang ayahnya kembali datang berulang ke dalam mimpinya dan mengeluhkan—setengah menuntut—hal yang itu-itu saja. Dan ini membuat perasaan dan pikiran Li Jun Loi jadi kacau balau: antara marah, sedih, dan putus asa. Betapa tidak, untuk memesan sebuah rumah arwah dari para pembuatnya seperti A Cung dan Kwet Siauw sungguh tidak murah, bisa hampir menyamai biaya pemugaran makam.

“Ternyata ongkos pembuatannya sama dengan harga motor aslinya!” kata-kata A Kong sekitar dua tahun silam terngiang lagi olehnya. Ketika itu A Kong bermaksud memesan sebuah sepeda motor arwah dari A Cung untuk dibakar pada perayaan Chin Min buat seorang keponakannya yang meninggal muda.

Jun Loi tidak tahu apakah sahabat karibnya itu akhirnya jadi atau tidak membuatkan sepeda motor arwah, ia tidak pernah bertanya. Namun sudah dapat ia bayangkan apa yang akan dikatakan oleh kakak-kakaknya apabila ia berani meminta bantuan uang untuk memesan sebuah rumah arwah: “Itu takhayul kuno”, “Hal seperti itu musyrik menurut pendeta kami”, atau “Orang sudah meninggal harusnya dikirimi doa, bukan dikirimi uang arwah, pakaian kertas, apalagi rumah kertas!”

Kalau saja ia punya sedikit keterampilan dalam hal pertukangan atau kerajinan tangan, batin Jun Loi sambil menatap nanar dupa-dupa menyala dalam guci di hadapan foto kedua orang tuanya di altar ruang depan rumah. Angin dari jendela sisi kiri yang terbuka membuat asap dupa itu meliuk-liuk seperti tarian seekor naga di matanya. Tetapi mendadak nyala salah satu lilin merah di altar itu padam oleh embusan angin kencang.

Jun Loi menghela napas panjang tatkala beranjak untuk mengambil korek api di atas meja kecil di samping altar. Rasa kantuk dan lelah membuatnya begitu tersiksa. Sudah tiga malam ia tidak berani tidur karena takut didatangi lagi oleh arwah ayahnya. Ketika sedang menyalakan api lilin itulah, sekilas ia seolah-olah melihat mulut sang ayah dalam foto hitam putih di altar bergerak-gerak seperti sedang mengucapkan sesuatu. Li Jun Loi tertegun. Nyaris saja tangannya merobohkan lilin di atas altar itu.

Ah, ini kurang lebih lima jam sebelum kobaran api menghanguskan rumah tua Li Min Fuk di Jalan Panji. ***

.

.

Jogjakarta, awal Oktober 2022

Untuk kawan-kawan Perlima

.

Catatan:

Rumah Arwah: diterjemahkan secara harfiah dari “Lin Buk” (bahasa China Hakka). Lin Buk adalah rumah-rumahan yang dibuat untuk keperluan sembahyang, dengan tujuan dipersembahkan kepada arwah sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Biasanya dibuat dari berbagai bahan seperti kertas, kardus, bambu, dan kayu. Ukurannya bermacam-macam, bergantung pada keinginan para pemesan. Para pembuat Lin Buk juga mengerjakan pesanan-pesanan replika sepeda motor, mobil, sampai kapal laut dan pesawat terbang, bahkan boneka pengantin (yang terakhir ini untuk arwah orang yang “mati bujang”).

.

.

SUNLIE THOMAS ALEXANDER. Lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Sudah menerbitkan lima buku kumpulan cerpen. Bukunya Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu memperoleh Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kemendikbud tahun 2020 untuk kategori kritik sastra/esai.

.

Rumah Arwah. Rumah Arwah. Rumah Arwah.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!